Di dalam jilid 1 kitab
Fi Dhzilalil Qur’an, Sayyid Qutb
rahimahullah menjelaskan makna kata
thaghut. Penjelasannya ditemukan dalam pembahasan surah Al-Baqarah ayat 256. Uraian beliau mengenai
thaghut adalah sebagai berikut:
“Thaghut” adalah variasi bentuk kata dari “thughyaan”, yang
berarti segala sesuatu yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran dan
melampaui batas yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-hambaNya, tidak
berpedoman kepada aqidah Allah, tidak berpedoman kepada syariat yang
ditetapkan Allah. Dan yang termasuk dalam kategori thaghut adalah juga
setiap manhaj ‘tatanan, sistem’ yang tidak berpijak pada peraturan
Allah. Begitu juga setiap pandangan, perundang-undangan, peraturan,
kesopanan, atau tradisi yang tidak berpijak pada peraturan dan syariat
Allah.
Di dalam karya fenomenalnya yang berjudul “Kitabut Tauhid” Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah menyebutkan bahwa pentolan thaghut ada lima. Dan salah satunya ialah
penguasa yang zalim. Siapakah penguasa yang zalim itu? Dalam bahasa Arab kata
zalim berlawanan dengan kata
adil. Di dalam bahasa Arab kata adil bermakna:
وضع شئ في مكانه
“Menempatkan sesuatu pada tempatnya.”
Sedangkan kata
zalim bermakna:
وضع شئ غير مكانه
“Menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.”
Dalam hal ini yang dimaksud dengan menempatkan sesuatu bukan pada
tempatnya ialahHukum Allah سبحانه و تعالى . Para penguasa zalim tidak
menempatkan Hukum Allah سبحانه و تعالى pada posisi tertinggi. Mereka
senantiasa meninggikan hukum selain hukum Allah سبحانه و تعالى . Hukum
bikinan manusia lebih mereka muliakan daripada hukum Allah سبحانه و
تعالى . Kalaupun hukum Allah سبحانه و تعالى diakui di dalam lingkungan
wilayah yang dipimpinnya, namun ia tidak diletakkan sebagai hukum
tertinggi. Hukum Allah سبحانه و تعالى hanya menjadi salah satu sumber
dari sekian banyak sumber hukum lainnya. Hukum Allah سبحانه و تعالى
hanya sekedar bagian dari khazanah sumber hukum di wilayahnya. Oleh
karenannya para penguasa zalim yang seperti ini disebut
thaghut.
Mereka memperlakukan hukum Allah سبحانه و تعالى seolah setara dengan
hukum bikinan manusia, bahkan seringkali diletakkan lebih rendah
daripada itu.
Seorang penguasa —atau lebih tepatnya pemimpin— yang adil ialah orang
yang ketika memiliki otoritas memimpin di suatu wilayah maka ia
meletakkan hukum Allah سبحانه و تعالى sebagai acuan tertinggi dan utama.
Semua aturan, perundang-undangan dan hukum yang berlaku di wilayah
otoritasnya dia pastikan merupakan
derivat (turunan alias
breakdown) dari hukum Allah سبحانه و تعالى . Dan ia hanya mau
memberlakukan hukum Allah سبحانه و تعالى tersebut mengikuti cara yang
telah dilakukan oleh teladan utamanya yaitu Rasulullah Muhammad صلى الله
عليه و سلم . Oleh karena itu, pemimpin yang adil dikatakan sebagai
fihak yang bilamana terjadi perselisihan, senantiasa mengembalikan
urusannya kepada Allah سبحانه و تعالى (Al-Qur’an) dan RasulNya صلى الله
عليه و سلم (As-Sunnah An-Nabawiyyah). Persis sebagaimana termaktub di
dalam surah An-Nisa ayat 59 yang nanti akan dijelaskan. Para pemimpin
yang adil sangat sadar bila mereka tidak menjadikan wahyu Allah سبحانه و
تعالى sebagai sumber utama dalam memutuskan berbagai perkara yang
muncul, maka dirinya dipandang Allah سبحانه و تعالى sebagai termasuk
kaum yang zalim.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5] : 45)
Salah satu contoh figur yang diabadikan Al-Qur’an sebagai representasi
thaghut penguasa zalim yang paling ekstrim dalam sejarah kemanusiaan ialah sosok
Fir’aun.
Allah سبحانه و تعالى dengan jelas menggambarkan bahwa Fir’aun merupakan
penguasa yang di dalam perilaku berkuasanya mempertontonkan sikap
melampaui batas.
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
"Pergilah kamu kepada Firaun, sesungguhnya dia telah thoghoo (melampaui batas).” (QS. An-Nazi’at [79] : 17)
Dalam mensikapi kekuasaan, Fir’aun menjadi lupa diri. Aturan bahwa
rakyat wajib mentaatinya tanpa reserve, menyebabkan Fir’aun memandang
dirinya berada di atas rata-rata manusia biasa. Ia memandang dirinya
sebagai
super-human (manusia luar biasa). Bahkan ia meyakini dirinya adalah tuhan seru sekalian alam.
Subhaanallahi ‘amma yashifuun (Maha Suci Allah dari segala bentuk pensifatan yang batil)...!
فَكَذَّبَ وَعَصَى ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى فَحَشَرَ فَنَادَى فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الأعْلَى
“Tetapi Firaun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling
seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan
(pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata:
"Akulah tuhanmu yang paling tinggi". (QS. An-Nazi’at [79] : 21-24)
Kecenderungan orang yang berkuasa untuk berlaku melampaui batas merupakan hal biasa jika tidak bisa disebut
aksiomatik
(suatu keniscayaan). Kecuali bila yang menerima otoritas adalah seorang
mukmin sejati. Mukmin sejati sadar bahwa ketika dirinya memperoleh
otoritas kepemimpinan, maka saat itu juga sebenarnya dirinya terbebani
suatu beban berat. Ia dibebani amanah untuk memastikan bahwa di bawah
kepemimpinannya seluruh pengikutnya, rakyat, anak buah atau konstituen
berjalan menuju keridhaan Allah سبحانه و تعالى. Artinya, di bawah
kepemimpinannya ia harus selalu berusaha menegakkan kebenaran. Dan
kebenaran hanya satu, yaitu kebenaran yang bersumber dari Allah سبحانه و
تعالى .
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 147)
Oleh karena itu, sejak awal Islam mengharuskan ketaatan rakyat kepada
pemimpin sesudah mentaati Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya Muhammad
صلى الله عليه و سلم . Dalam mentaati Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya
صلى الله عليه و سلم Al-Qur’an tidak memberikan syarat apapun kepada kaum
muslimin, selain kewajiban mereka beriman bahwa apapun yang datang dari
Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم sepenuhnya
merupakan kebenaran. Namun begitu Allah سبحانه و تعالى memerintahkan
kaum muslimin —sebagai rakyat— untuk mentaati pemimpin mereka, maka
Allah سبحانه و تعالى mensyaratkan bahwa ketaatan menjadi wajib hanya
ketika para pemimpin tersebut senantiasa menjadikan Allah سبحانه و تعالى
(Al-Qur’an) dan RasulNya صلى الله عليه و سلم (As-Sunnah An-Nabawiyyah)
sebagai
marja’ (rujukan atau referensi) utama penyelesaian berbagai perkara kehidupan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an)
dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisa [4] : 59)
Ad-Dajjal merupakan representasi
thoghut (penguasa batil yang
melampaui batas) di Akhir Zaman menjelang tibanya Hari Kiamat. Ia
merupakan Fir’aun modern di penghujung berakhirnya perjalanan dunia.
Ketika ia hadir ia akan mengaku dirinya merupakan Rabb semesta alam.
Persis sebagaimana Fir’aun dahulu kala. Dan sebelum keluarnya puncak
fitnah Ad-Dajjal, maka dunia akan diselimuti oleh aneka fitnah yang
menjadi mukaddimah kedatangan fitnah Ad-Dajjal, sang
thaghut penguasa zalim paling fenomenal sepanjang zaman. Maka sebelum Ad-Dajjal keluar akan bermunculan para
thaghut penguasa zalim menghiasi panggung kekuasaan dunia di berbagai negara sebagaimana yang disaksikan dewasa ini.
ذُكِرَ الدَّجَّالُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَأَنَا لَفِتْنَةُ بَعْضِكُمْأَخْوَفُ
عِنْدِي مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ وَلَنْ يَنْجُوَ أَحَدٌ مِمَّا
قَبْلَهَا إِلَّا نَجَا مِنْهَاوَمَا صُنِعَتْ فِتْنَةٌ مُنْذُ كَانَتْ
الدُّنْيَا صَغِيرَةٌ وَلَا كَبِيرَةٌ إِلَّا لِفِتْنَةِ الدَّجَّالِ
Ad-Dajjal disebut-sebut di dekat Rasulullah,
lalu beliau bersabda, "Sungguh fitnah sebagian dari kalian lebih aku
takutkan dari fitnah Ad-Dajjal. Dan tiada seseorang dapat selamat dari
aneka fitnah sebelum fitnah Ad-Dajjal melainkan pasti selamat pula
darinya (fitnah Ad-Dajjal) sesudahnya. Dan tiada fitnah yang dibuat sejak adanya dunia ini —baik kecil ataupun besar— kecuali untuk menyambut fitnah Ad-Dajjal." (Hadits Shahih Riwayat Ahmad No. 22215)
Barangsiapa sanggup bersikap tegas menghadapi berbagai
thaghut penguasa zalim sebelum keluarnya Ad-Dajjal, maka Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم menjamin ia bakal selamat menghadapi sang
thaghut
penguasa zalim paling dahsyat di akhir zaman yakni Ad-Dajjal. Atas
dasar inilah Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم menganjurkan ummat Islam
untuk mengingkari para penguasa zalim di era penuh fitnah di akhir
zaman. Barangsiapa yang mengingkari mereka niscaya selamat. Dan
barangsiapa yang malah mentaati mereka, maka Nabi Muhammad صلى الله عليه
و سلم berlepas diri dari mereka.
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَوَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
Rasulullah shollallahu’alaih wa sallam bersabda, “Akan muncul
pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak
menyetujuinya.Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan
dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan(dari tanggungan dosa).” (Hadits Shahih Riwayat Muslim No 3445)
Barangsiapa yang menyetujui para
thaghut penguasa zalim
tersebut, niscaya ketika Ad-Dajjal keluar orang-orang tersebut bakal
dengan mudahnya masuk dalam perangkap tipu-daya sang
thaghut
paling dahsyat sepanjang zaman Ad-Dajjal. Sebab, bagaimana mereka akan
sanggup mengingkari Ad-Dajjal, sedangkan menghadapi para
thaghut penguasa zalim yang levelnya lebih rendah dari Ad-Dajjal saja mereka sudah masuk dalam perangkap ketaatan
taqlid
(membabi-buta) yang tercela. Mereka bakal menyesal di akhirat kelak.
Sebuah penyesalan yang sangat terlambat sehingga tidak berguna.
Wa na’udzubillaahi min dzaalika.
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ
يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولا
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّاأَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا
فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ
وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka
berkata, "Alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat
(pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata, "Ya Rabb kami, sesungguhnya
kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu
mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami,
timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan
kutukan yang besar." (QS. Al-Ahzab [33] : 66-68)
Saudaraku, jelas sekali bahwa mengingkari
thaghut penguasa zalim menjadi suatu perkara yang sangat penting dan wajib. Sebab kelalaian seorang muslim untuk mengingkari para
thaghut
penguasa zalim berakibat fatal bagi kehidupannya yang abadi di akhirat
nanti. Tidak cukup seorang muslim merasa aman bahwa dirinya telah
beriman kepada Allah سبحانه و تعالى tetapi pada saat yang sama dia tidak
rela dan yakin untuk menjauhi dan mengingkari
thaghut. Inilah dua sisi dari aqidah tauhid sejati seorang mukmin.
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul
tali yang amat kuat yang tidak akan putus. (QS. Al-Baqarah [2] : 256)
www.eramuslim.com