
Sejarah Masjid Demak
| ||||||
Rumah Makan Soto Kudus Pak Ramidjan | ||
![]() Kendati ada desakan kuat dari masyarakat untuk membubarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), pemerintah pusat masih belum melakukan apa pun. Sementara potensi konflik sosial antara umat Islam dan JAI kian besar. Untuk mengatasi masalah ini, beberapa pemerintah daerah seperti Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Kalimantan Barat, dan banyak lagi Pemda di bawahnya, mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah) dan Pergub (Peraturan Gubernur) yang melarang aktivitas Ahmadiyah di daerahnya. Perda-perda itu bertujuan melindungi JAI dari amukan massa seperti yang terjadi di Cikuesik, Banten, beberapa waktu lalu, yang mengakibatkan tiga anggota JAI tewas. Dan menenangkan umat Islam yang resah dengan ajaran Ahmadiyah yang menyimpang dari ajaran Islam. Ahmadiyah mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu Mirza Ghulam Ahmad asal India, dan kitab sucinya adalah Tazkirah, yang mereka yakini merupakan kumpulan wahyu yang diterima Mirza dari Tuhan. Bagaimanapun, tokoh LSM yang bergerak di bidang hukum dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), menganggap pelarangan, pembubaran, atau membatasi aktivitas Ahmadiyah bertentangan dengan konstitusi dan HAM. Pandangan ini nampaknya dipegang oleh pemerintah yang takut dikecam oleh komunitas internasional yang kini sedang menyorot masalah ini. Juga untuk menjaga citra Indonesia sebagai negara Muslim paling toleran terhadap pluralitas agama dan kepercayaan. Terkait dengan sikap LSM bidang hukum dan aktivis HAM yang mendukung eksistensi Ahmadiyah, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi mengatakan, orang yang mendukung penyebaran Ahmadiyah disebabkan mereka tidak merasa memiliki Islam. Orang Islam tidak mungkin membiarkan saja kalau dalam Islam diangkat nabi baru selain Muhammad SAW. Menurut Hasyim, yang mendukung dibiarkannya penyebaran ajaran Ahmadiyah itu hanyalah Jaringan Islam Liberal (JIL) atau LSM yang mengatasnamakan hak asasi manusia. Hasyim meminta agar penyebaran ajaran Ahmadiyah harus segera dihentikan agar tidak terus-menerus jadi sumber konflik di masyarakat, termasuk menjadi ajang politisasi pihak-pihak tertentu yang ingin mendompleng isu ini. Kritik terhadap sekelompok orang yang berkedok HAM dalam membela Ahmadiyah juga disampaikan mantan ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. Menurutnya, tidak etis kalau keberagaman selalu disandingkan dengan kebebasan berpendapat. Orang-orang yang membela keberagaman itu selalu berlindung di bawah UUD 1945 pasal 28 A dan E. Padahal, sebenarnya, persoalannya bukan kebebasan beragama, melainkan adanya penistaan terhadap Islam oleh JAI. Melihat terbelahnya masyarakat dalam isu ini, pemerintah mengambil sikap mengambang. Para pembantunya mengeluarkan pernyataan yang bertentangan satu sama lain. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan pemerintah tak bisa melarang sebuah kepercayaan. Sedangkan mengenai munculnya peraturan-peraturan daerah tentang pelarangan aktivitas JAI, ia mengatakan, aturan-aturan tersebut harus mengacu pada dua landasan, yakni UUD 1945 serta SKB Tiga Menteri. Di pihak lain, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menilai Pergub No 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan Aktivitas Ahmadiyah yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat sudah sesuai dengan konstitusi dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. Gamawan menilai ada tiga fakta yang menunjukkan Pergub Pelarangan Aktivitas JAI adalah turunan dari SKB. Pertama, aspek pembinaan; kedua, pelarangan untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah; dan ketiga, aspek pengawasan. Sementara Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung Edwin Pamimpin Situmorang menegaskan, hasil kajian Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Masyarakat menunjukkan JAI tidak patuh pada SKB Tiga Menteri. Padahal, SKB sudah sesuai dengan peraturan di atasnya, yakni UU No 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Jaksa Agung Basrief Arief juga mendukung kepala daerah yang mengeluarkan peraturan pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Ia mengatakan, kepala daerah lebih mengetahui situasi keamanan di wilayahnya sehingga mengeluarkan peraturan tersebut. Keluarnya peraturan pelarangan Ahmadiyah di daerah, menurut Basrief, merupakan kewenangan pemerintah daerah untuk menjaga ketertiban masyarakat di wilayahnya. Kalau Perda-perda pelarangan aktivitas Ahmadiyah saja sudah dianggap konstitusional dan sesuai dengan peraturan di atasnya, yakni UU No 1 PNPS Tahun 1965, tentu lebih mudah bagi pemerintah mengambil keputusan yang konstitusional. Tapi mengapa hal mengapa hal ini tidak dilakukan? Menghadapi sikap mengambang pemerintah ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta agar pemerintah bersikap tegas dalam menyikapi Ahmadiyah. Tanpa ketegasan pemerintah justru dikhawatirkan akan membuat masyarakat berbuat sendiri-sendiri. Karena itu, Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf menyatakan, pihaknya sepakat terhadap inisiatif sejumlah pemerintah daerah yang mengeluarkan larangan beraktivitas terhadap Ahmadiyah. KH Hasyim Muzadi malah menyatakan pemerintah pusat perlu meniru Pemprov Banten dan Jawa Timur, yang telah melarang aktivitas Ahmadiyah di wilayahnya. Ketua PB NU Said Aqil Siradj juga mendesak pemerintah untuk bertindak tegas membubarkan Ahmadiyah. Muzadi menilai, pemerintah masih bersikap maju mundur untuk membubarkan Ahmadiyah. Padahal, Ahmadiyah harus segera dibubarkan. Jangan dibiarkan menggantung seperti sekarang. Sedangkan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Jatim, Sudarto Hadi, berpendapat, akibat belum adanya tindakan konkret pemerintah pusat terhadap Ahmadiyah maka daerah mengambil keputusan sendiri di daerahnya masing-masing. Pemerintah seperti lepas tangan, lari dari tanggung jawab. Apakah sikap tidak jelas pemerintah ini, yang tidak segera membuat aturan yang tegas terhadap aktivitas JAI, tersembunyi agenda politik yang akan dilakukan di kemudian hari? Sepertinya pemerintah sengaja mengambangkan isu ini karena suatu saat Ahmadiyah bisa saja digunakan untuk menutupi isu besar yang menyerang pemerintah. Seharusnya pemerintah berani mengambil sikap tegas seperti yang dilakukan sejumlah kepala daerah. Dalam keputusan pasti ada pro dan kontra, tetapi para kepala daerah itu berani mengambil keputusan karena selain mencegah timbulnya keresahan masyarakat yang berujung pada konflik sosial yang tinggal menunggu waktu saja, juga disebabkan para ulama sedunia, termasuk NU dan Muhammdiyah, sudah menegaskan bahwa Ahmadiyah itu sesat. Untuk menghindari prasangka buruk itu, bahwa pemerintah sengaja mengambil sikap mengambang untuk tujuan lain di kemudian hari dan agar energi bangsa ini tidak terkuras secara tidak produktif dalam polemik kasus Ahmadiyah yang berkepanjangan, pemerintah pusat harus bersikap tegas. Hanya sikap demikianlah yang segera akan mengakhiri persoalan Ahmadiyah yang sudah begitu banyak menguras energi pemerintah dan pemerintah dapat berkonsentrasi pada penyelesaian masalah-masalah lain yang begitu banyak dan rumit. Dengan membiarkan masalah ini terus menggantung, konsentrasi pemerintah justru terpecah dan terpeliharanya hubungan tegang antara umat Islam dan JAI, yang sewaktu-waktu dapat meledak lagi menjadi kerusuhan sosial. Smith Alhadar Sumber: www.faktapos.com |
![]() Pada Senin (21/03), televisi Aljazeera yang berbasis di Qatar memberitakan isu kontroversial mengenai adanya jenderal purnawirawan yang mendukung kelompok Islam garis keras di Indonesia untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasannya: ketidak becusan Yudhoyono mengurus pemerintahan, kasus Bank Century, kriminalisasi pimpinan KPK, kemiskinan, dan kasus korupsi. Mereka juga sudah bosan dengan kebohongan Yudhoyono dan sikapnya yang terlalu reformis. Laporan itu ditulis oleh wartawan Aljazeera di Jakarta, Step Vaessen, yang diberi judul dalam bahasa Inggris, “Persekongkolan untuk Melemahkan Presiden Indonesia.” Vaessen mengaku, awalnya ia ingin membuat laporan investigasi mengenai insiden Ahmadiyah di Cekuesik, Banten, yang menewaskan 3 anggota Ahmadiyah ketika mereka diserang oleh ratusan kaum Muslim. Dalam perkembangannya, dia menemukan keterkaitan antara kelompok jenderal purnawirawan dan ormas Islam yang hendak menggulingkan pemerintah. Isu Ahmadiyah dijadikan pintu masuk untuk menggoyang Presiden setelah isu korupsi gagal memobilisasi rakyat. Kebetulan isu Ahmdiyah ini direspons oleh seluruh Muslim. Kelompok Islam garis keras yang dihubungi oleh jenderal purnawirawan adalah Gerakan Reformasi Islam (Garis) pimpinan Chep Hernawan. “Dia memberikan support saja,” kata Hernawan, seperti dikutip dari laporan investigasi Aljazeera. Chep Hernawan yang kemarin, Rabu (22/03) dimintai konfirmasi, membenarkan adanya dukungan dari purnawirawan itu. “Sekitar satu atau dua bulan lalu bertemu, mereka memberikan dukungan moril dan siap membantu,” katanya. Namun, rencana itu belum bisa dipastikan kapan bisa dilakukan. Pihaknya tengah melakukan berbagai persiapan. “Uang miliran juga kami siapkan dari dana infak umat Islam, bukan dari luar negeri,” katanya. Menurut dia, apabila Presiden bersikap tegas dengan membubarkan Ahmadiyah, akan lain ceritanya. “Kami siap mengawal Yudhoyono kalau ia membubarkan Ahmadiyah. Tapi, kalau tidak, dia harus turun,” katanya. Isu Ahmadiyah ini memang menjadi persoalan besar bagi Presiden, dilemma yang sulit diatasi. Bila membubarkan organisasi ini, ia khawatir akan dituduh melanggar konstitusi yang memberi peluang bagi pihak-pihak yang tidak menyukainya untuk menjatuhkannya. Memang para aktivis HAM dan ahli hukum senior seperti Adnan Buyung Nasution dan Mulya Lubis menganggap Presiden tidak dapat membubarkan Ahmadiyah karena itu bertentangan dengan Konstitusi yang menjamin kebebasan beragama. Pembubaran Ahmadiyah juga akan mencoreng citra Indonesia sebagai negara Muslim yang paling toleran dan dikecam oleh, terutama, negara-negara Barat. Tetapi di lain pihak, bila membiarkan eksistensi Ahmadiyah, ia akan berhadapan dengan umat Islam. Terkait dengan isu ini, memang nyaris seluruh kelompok Islam di Indonesia mengecamnya dan menuntut pemerintah membubarkannya. Ahmadiyah adalah sempalan Islam yang menganggap pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad asal India, sebagai nabi dan kitab sucinya adalah tazkirah, yang diyakini pengikutnya sebagai wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Mirza. Muhammad SAW tidak dianggap sebagai Nabi terakhir sebagaimana diyakini oleh seluruh aliran Islam di dunia. Organisasi Konperensi Islam (OKI) menolak Ahmadiyah sebagai bagian dari umat Islam. Arab Saudi melarangnya, bahkan melarang anggotanya menunaikan ibadah haji. Pakistan membiarkannya hidup di negeri itu, tapi mengeluarkannya dari kelompok Islam. Ahmadiyah dianggap agama tersendiri di luar Islam. Di Malaysia dan Brunei aliran yang bermarkas di London ini dilarang. Ahmadiyah masuk ke Indonesia sejak 1920-an. Tapi ditentang sebagai aliran sesat. Pada 1930-an Majlis Tarji Muhammdiyah menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Sebenarnya ada UU No 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama dan SKB Tiga Menteri yang bisa dipakai Yudhoyono untuk membubarkan sekte yang telah meresahkan masyarakat Islam ini. Namun, tetap saja Yudhoyono khawatir karena, bagaimanapun, dua hal itu masih berada di bawah konstitusi. Dalam keadaan terjepit, Yudhoyono tertolong dengan kebijakan-kebijakan daerah yang mengeluarkan Perda dan Pergub, yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Lampung, dan sejumlah daerah lain mengeluarkan Perda yang terbukti berhasil menenangkan masyarakat. Setidaknya, untuk sementara ini. Lepas dari masalah konstitusi, UU, dan Perda tentang agama, pertanyaan yang muncul: mungkinkah kaum Muslim Indonesia, khususnya yang beraliran keras, bersama-sama dengan jenderal purnawirawan mengambil alih kekuasaan di Indonesia? Apakah hal ini rasional dan realistik? Rasanya tidak realistik dan irrasional. Jangankan kelompok Islam radikal, seluruh kaum Muslim – dalam hal ini Islam santri – bersatu untuk mendirikan Negara Islam pun merupakan hal yang mustahil. Apalagi gagasan mendirikan Negara Islam di tanah air sudah mati. Dari partai-partai berbasis Islam (PKB, PPP, PKS, PBB, PAN) yang ada sekarang, hanya PPP yang berasaskan Islam. Sementara mereka semua kini berada di barisan Setgab Koalisi Partai-partai Politik Pendukung Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Boediono. Jumlah suara mereka di parlemen pun tidak sampai 30 persen. Terkait dengan Ahmadiyah, mereka yang di parlemen tidak mendesak Presiden membubarkan Ahmadiyah. Pada tataran organisatoris, Muhammdiyah tidak meminta pembubaran Ahmadiyah. Jadi, siapa pendukung Islam garis keras untuk mengambil alih kekuasaan? Jenderal purnawirawan pun tidak punya pengaruh di masyarakat. Ide mendirikan Negara Islam di tingkat nasional maupun internasional memang sudah surut. Masyarakat Islam Iran, yang 32 tahun lalu melakukan revolusi Islam, yang berujung pada pendirian Republik Islam Iran, kini mulai berubah. Sebagian masyarakat mulai memberontak ingin mendirikan negara demokrasi. Di negara-negara Arab, mulai dari Maroko di Barat hingga Bahrain di timur, kini bergejolak menuntut penggantian rezim dan reformasi. Rezim Mesir pimpinan Hosni Mobarak dan rezim Tunisia pimpinan Presiden Zein el-Abidin Ben Ali telah jatuh oleh revolusi menuntut pendirian negara demokrasi. Dari gejolak yang sedang berlangsung di Bahrain, Arab Saudi, Yordania, Yaman, Suriah, Libya, Aljazair, dan Maroko, tidak sekali pun kelompok Islam menuntut pendirian negara Islam. Mereka menyadari globalisasi tidak memungkinkan lagi ide ini diterapkan. Demokrasi adalah sistem politik yang terbaik di antara sistem yang terburuk. Maka kemakmuran dan kehidupan yang lebih beradab hanya dimungkinkan oleh berdirinya negara demokrasi yang membuka lebar-lebar pintu kebebasan yang memungkinkan setiap individu mengaktualisasikan dirinya dan mengekspresikan gagasannya. Pendirian Negara Islam hanya akan menghambat pertumbuhan sebuah negara menuju kemakmuran dan kemajuan dan menodai dan mengungkung Islam itu sendiri. Timur Tengah, tempat lahirnya agama Islam dan peradaban yang gemilang, sudah lama mengalami stagnasi peradaban karena dihambat oleh rezim diktator yang korup. Negara Timur Tengah yang maju hanya Israel dan Turki, yang merupakan negara demokrasi. Jadi, menunggangi isu Ahmadiyah untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah hanya angan-angan kosong. Apalagi hal ini dilakukan oleh Islam garis keras yang minoritas dari mainstream Islam Indonesia. Kalau mau berkuasa, dirikan partai politik untuk bersaing dalam pemilu. Untuk menjatuhkan Presiden, silakan tunggu sampai tahun 2014. Ini prosedur demokrasi. Presiden bisa dijatuhkan di tengah jalan kalau ia benar-benar telah melanggar konstitusi atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membahayakan kedaulatan negara, Pancasila, dan NKRI. Di alam demokrasi selama 12 tahun terakhir sejak runtuhnya Orde Baru, kaum Muslim mendapat keuntungan besar. Mereka bisa mengaktualisasikan dirinya dan mengekspresikan aspirasinya secara terbuka, secara individu maupun partai politik yang tumbuh di mana-mana. Mulai dari kelompok konservatif radikal hingga kelompok liberal boleh hidup di negeri ini tanpa halangan apa pun. Bahkan bisa mendeklarasikan Dewan Revolusi Islam yang berniat mengambil alih kekuasaan bila terjadi kekosongan pemerintahan. Semua ini tidak mungkin dilakukan pada zaman Orde Baru. Jadi, mempertahankan demokrasi berarti membela Islam dan kepentingan kaum Muslim. Smith Alhadar |