Tanah Ampilan
Bertolak dari sejarah, berdasar catatan dalam Kitab Pengging Teracah, setelah selesai mendatangi undangan Raja Brawijaya, penguasa Mojopahit, Sunan Ampel mendapat ganjaran Ampilan tanah untuk menyebarkan agama Islam di sisi utara tanah Jawa Timur.
Perjalanan Sunan Ampel kala itu dibarengi beberapa pengikut, diantaranya Ki Wirosaroyo. Wirosaroyo sebelumnya beragama Hindu. Setelah masuk Islam, ia menyatakan ingin ikut perjalanan Sunan Ampel ke Surabaya. Kebetulan ia punya anak gadis bernama Karimah (yang kemudian disunting Sunan Ampel). Sesuai tradisi Jawa, orang tua kadang dipanggil dengan nama anak pertamanya. Jadi Ki Wirosaroyo sering dipanggil dengan nama Pak Karimah, atau lebih populer lagi dengan sebutan Mbah Karimah.
“Sesampai di Surabaya, Sunan Ampel lebih dulu membangun tempat ibadah di Kembang Kuning. Nama Kembang Kuning konon berasal dari gebang kuning atau palm kuning yang waktu itu banyak tumbuh di kawasan ini. Versi lain menyebutkan, nama Kembang Kuning berasal dari hewan kumbang kuning,” jelas Amien.
Tempat ibadah yang didirikan Sunan Ampel bersama Ki Wirosaroyo ini, lanjutnya, berbentuk musholla kecil berukuran sekitar 12x12 meter dan sekilas mirip cungkup. Lantainya menyerupai siti inggil yang menurut kepercayaan sangat pas untuk munajat pada Ilahi. Setelah itu, Sunan Ampel melanjutkan perjalanan dan sempat pula membangun tempat ibadah di kampung Peneleh. Baru setelah itu, Sunan Ampel membangun masjid di Ampel Dento yang bertengger megah dan kian ramai hingga kini.
Jika mengunjungi masjid yang terletak di Jl. Ampel Suci 45 atau Jl. Ampel Masjid 53 ini, kita bisa melihat menara setinggi 30 meter di dekat pintu masuk sisi selatan. Di kompleks masjid, terdapat pula sumur dan bedug kecil peninggalan Sang Sunan, serta 16 tiang setinggi 17 meter (lengkap dengan ukiran kaligrafi bertuliskan Ayat Kursi) yang menyangga atap masjid seluas 800 meter persegi. Tak kalah menarik, kita bisa menyaksikan hiasan lambang Kerajaan Majapahit di bagian atas pintu yang mengelilingi Masid Ampel. Dipakainya rangkaian lambang itu, bisa jadi merupakan bentuk penghormatan Sunan Ampel pada Raja Mojopahit yang sudah berbaik hati memberi Ampilan tanah di Surabaya.
“Hingga sekarang, bangunan Masjid Ampel relatif masih sesuai aslinya. Ini sangat berbeda dengan Langgar Tiban di Kembang Kuning yang sudah berubah dari bangunan awalnya. Langgar itu sudah direnovasi total jadi Masjid Rahmat,” katanya. Renovasi total itu dilakukan, konon, untuk menghindarkan dari pengkultusan dan kesirikan yang bisa saja dilakukan oleh umat Islam.
Meski demikian, tak dipungkiri bila citra Masjid Ampel berselimut keagungan dan keajaiban. Termasuk cerita tentang Mbah Sholeh yang konon memiliki sembilan nyawa. Mbah Sholeh, kata sebuah riwayat, adalah pengikut setia Sunan Ampel, yang semasa hidupnya rajin membantu membangun dan membersihkan masjid.
Suatu ketika, Sunan Ampel tanpa sengaja berdesah, “Ah, seandainya Mbah Sholeh masih hidup, tentu pekarangan masjid tidak kotor begini”. Seketika itu, Mbah Soleh yang sudah meninggal, mendadak muncul dan segera membantu Sunan Ampel membersihkan masjid. Keajaiban itu berulang kali terjadi sampai sembilan kali, hingga wafatnya Sunan Ampel pada tahun 1478 di Ampel.
Mbah Sholeh pun yang meninggal tak lama kemudian dimakamkan di kompleks makam Masjid Ampel lama sebelah utara. Di sini, kita bisa melihat sembilan batu nisan yang berjejer rapi, sebagai tanda Mbah Sholeh pernah hidup dan mati sembilan kali. Di sisi barat masjid, ada makam Mbah Sonhaji atau juga dikenal dengan sebutan Mbah Bolong.
Menurut cerita, Mbah Bolong adalah orang yang berjasa menentukan arah kiblat dengan cara melubangi (mbolongi, jawa) dinding menggunakan jarinya untuk melihat Ka’bah di Mekkah. Selain makam Mbah Bolong, ada beberapa makam syuhada dan para santri Sunan Ampel. Beberapa meter dari makam-makam ini, terdapatlah makam Sunan Ampel, berdampingan dengan isteri pertamanya, Dewi Condrowati, salah satu putri Raja Brawijaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar