Tiket masuk ditetapkan 500 perak suatu harga yang menurut saya pribadi teramat murah. Mobil pun segera parkir di sebuah area terbuka yang cukup luas untuk menampung kendaraan roda dua dan empat. Keluar dari mobil tentu hal yang pertama kali dicari adalah dimana lokasi keberadaan api mrapen. Sekilas mata memandang tidak ditemukan sama sekali kobaran api di area ini, dan ketika ditanyakan kepada salah seorang pengunjung, ia menunjuk pada setumpuk batu berwarna putih yang tersusun rapi membentuk kerucut.
"Mana apinya ?" ujar saya ketika melihat bagian atas batu yang sedikit berongga namun tak nampak
sedikitpun kobaran api. Seorang perempuan tua menghampiri dengan setumpukan daun kering dalam genggaman tangganya. Daun tersebut dengan hati-hati diletakkan di dalam rongga dan tak lupa meniupnya.
Sepintas sebuah jilatan api nampak membakar daun-daun kering tersebut. Rupanya api yang ada terlalu kecil untuk langsung dilihat, perlu ada "bahan bakar" terlebih dahulu agar tampak lebih berkobar. Dari sebuah koran online diperoleh info bahwa kecilnya kobaran Api Alam Mrapen disebabkan karena banyak penduduk sekitar menyalurkan api abadi tersebut untuk kepentingan rumah tangga. Warga mengambil api tersebut dengan cara mengebor tanah dan memasang pipa. Gas api abadi itu kemudian dialirkan ke rumah untuk memasak. Pemda setempat merasa kesulitan menertibkan pengambilan api abadi tersebut. Hal itu karena lokasinya bukan tanah milik pemda kabupaten melainkan milik perorangan. Pemda Kabupaten Grobogan pernah berupaya membeli lahan tersebut, namun itu urung dilakukan, diperkirakan karena belum ada kesepakatan harga.
Tak jauh dari lokasi berkobar api terdapat sebuah batu bobot, yang menurut penduduk setempat diyakini akan mampu mengabulkan semua permintaan siapa saja yang bisa mengangkat batu tersebut sambil duduk. batu itu sendiri terletak dalam sebuah cungkup dan terkunci rapat. Dari luar kita masih bisa melihat batu tersebut dari jendela kaca yang tersedia. Waktu saya mencoba melihat kedalam, nampak sekali batu tersebut dikeramatkan, terlihat dengan adanya taburan bunga setaman pada batu tersebut dan bau wangi-wangian yang masih perlahan tercium dari luar pintu.
batu Bobot yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar diletakkan
didalam ruangan tertutup dan dikunci dari luar
Disamping batu bobot, di lokasi wisata Api Abadi Mrapen juga terdapat kolam kecil dengan air berwarna hijau beserta gelegak air di tengahnya. Meskipun air tersebut tampak seperti mendidih, namun tidaklah panas karena gelembung-gelembung udara tersebut berasal dari gas yang berada dalam tanah. Letupan gas/gelembung-gelembung air itu akan menyala bila terkena api, mungkin gas tersebut adalah merupakan gas yang sama dengan yang ada pada Api Alam Mrapen. Dari hasil penelitian di laboratorium terbukti air Sendang Dudo mengandung banyak mineral mulai dari kalsium, besi hingga magnesium. Karena kaya kandungan mineral air Sendang Dudo kerap digunakan untuk mengobati berbagai penyakit di kulit seperti gatal-gatal atau eksim.
Api Alam Mrapen pernah digunakan untuk menyalakan obor dalam kegiatan pesta olahraga international (Ganefo I) pada tanggal 1 November 1963 di Jakarta demikian pula untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) X tahun 1989, dan PON XIV tahun 1996. Selain untuk kegiatan penyalaan api olahraga juga digunakan pula untuk upacara hari raya waisak.
Sendang Dudo dengan gelembung air ditengahnya
Legenda,..
Menurut legenda, konon api abadi itu muncul setelah Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya ke dalam tanah. Saat itu, Sunan Kalijaga bersama pengikutnya sedang melakukan perjalanan panjang dan menginap di Desa Mrapen. Malam itu, banyak pengikutnya merasa kedinginan. Karena merasa kasihan, pemuka agama Islam itu kemudian menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika tongkat dicabut, keluar api yang ternyata tak pernah padam. Karena berasal dari kata prapen yang berarti perapian, api abadi itu disebut mrapen.
Dilain hari Sunan Kalijaga minta dibuatkan sebilah keris pusaka pada Empu Supa yang tinggal tak jauh dari Sendang Dudo. Sebagai bahannya Sang Wali menyerahkan butiran besi sebesar biji kemiri. Melihat bahan sekecil itu Empu Supa tertawa geli karena mana mungkin besi sekecil itu bisa untuk dijadikan sebilah keris pusaka. Rupanya Empu Supa lupa bahwa yang dihadapi adalah Seorang Sunan Kalijaga yang sakti. Besi kecil yang dibakar diatas api alam mrapen untuk ditempa itu ternyata mengembang makin lama makin besar. Empu Supa cepat-cepat membawa besi membara itu ke Sendang Dudo untuk dicelupkan ke dalamnya agar dingin.
Begitu besi panas dimasukkan ke sendang air Sendang Dudo yang tadinya tanang dan jernih tiba-tiba menggelepak seperti mendidih dan berubah menjadi keruh. Entah apakah itu karena panasnya besi yang membara itu atau karena ampuhnya calon keris pusaka yang kelak setelah jadi bernama Kiai Sengkelat tersebut.
Sejak peristiwa itu air Sendang Dudo terus bergolak seperti mendidih kendati tetap dingin.
Sumber: www.navigasi.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar