Filsafat Jawa
Penyatuan Antara Hamba dengan Tuhannya
Setiap peradaban, di belahan dunia
manapun pasti mengenal hidup dan kehidupan. Hidup dan kehidupan dalam
ilmu pengetahuan dikenal sebagai pandangan hidup atau yang lebih populer
dengan istilah falsafah. Dalam perkembangannya, falsafah ini menjadi
sebuah disiplin ilmu yang sering disebut dengan filsafat.
Filsafat muncul karena didasari adanya
perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya. Maslow (dalam Farozin,
2004: 85) mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang berbeda dengan
hewan apapun sehingga penyelidikan dengan hewan seperti halnya pada
sebagian besar penyelidikan perilaku yang dilakukan oleh pengikut aliran
behavioristik tidak relevan lagi bagi upaya memahami tingkah laku
manusia karena hal itu mengabaikan ciri-ciri khas pada manusia seperti
adanya gagasan, nilai-nilai, rasa malu, rasa cinta, semangat, humor,
rasa seni, cemburu, dan sebagainya. Dengan semua ciri yang dimilikinya
manusia bisa menciptakan pengetahuan, puisi, musik, dan
pekerjaan-pekerjaan manusia lainnya.
Demikian juga dengan masyarakat Jawa.
Dengan gagasan-gagasan dan akal budinya mereka menciptakan sebuah
tatanan kehidupan. Tatanan ini telah mereka kenal sejak zaman batu.
Zaman sebelumnya sulit dilacak karena tidak ditemukannya peninggalan
yang dapat dijadikan bukti otentik. Dari berbagai bentuk batu dengan
berbagai macam fungsinya diketahuilah bahwa ribuan tahun sebelum masehi
manusia Jawa telah mengenal peradaban.
Dalam kaitannya dengan prinsip hidup dan keyakinan. Masyarakat purba telah mengenal adanya animisme dan dinamisme. Mereka meyakini ada kekuatan-kekuatan luar biasa di luar dirinya dan meyakini pula bahwa benda-benda tertentu dan tempat-tempat tertentu ada yang menunggu atau menguasainya.
Perkembangan selanjutnya, manusia mulai
menciptakan simbol-simbol baik berupa simbol verbal ( bahasa) serta
gambar baik dua dimensi maupun tiga dimensi.
Gambaran tentang simbol-simbol masyarakat Jawa yang akhirnya menjadi filsafat Jawa dapat kita simak dari berbagai hal, antara lain nyanyian Macapat dengan berbagai jenisnya, dunia wayang (baik wayang kulit maupun wayang orang), dan wejangan (nasihat yang dapat menjadi pelajaran) dari tokoh-tokoh penting (raja, resi, pujangga, dan sejenisnya) di kalangan masyarakat Jawa. Muara dari semua ajaran itu menurut Huda (2002: 49) adalah terwujudnya ”Manunggaling Kawula-Gusti” atau penyatuan antara hamba dengan Tuhannnya.
Benarkah manusia dengan Tuhannya dapat menyatu? Kalau memang benar, bagamana bentuk penyatuan itu?
Manusia pada dasarnya adalah makhluk
spiritual. Kita dilahirkan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tuhan
adalah pengetahuan yang tercetak yang dapat terlupakan/disangkal, tetapi
tidak dapat dihapuskan (Karasu, 2003: 194).
Dari penjelasan Karasu tersebut, penulis
teringat kisah tentang sang Presiden Uni Soviet era tahun 80-an Michael
Gorbacev, presiden dari sebuah negara adidaya yang berhaluan komunis dan
merupakan musuh bebuyutan Amerika Serikat. Ketika sang presiden
memimpin rapat kabinet dan rapat mengalami kebuntuan, di bawah alam
sadarnya sang presiden memegang keningnya sembari berucap ”Oh, my Good”.
Pemimpin tertinggi negara pengingkar Tuhan di depan para pemimpin
lainnya menyebut-nyebut nama Tuhan. Selang beberapa tahun dari peristiwa
itu pengaruh Uni Soviet mulai memudar dan akhirnya hancur
berkeping-keping.
Gorbacev beserta para pengikutnya bahkan
para pendahulunya berusaha menyangkal atau mengingkari keberadaan Tuhan,
namun di saat mereka berada dalam situasi yang terjepit, naluri
spiritualnya tidak dapat dicegah untuk lari kepada Tuhannya.
Ilustrasi di atas senada yang diungkapkan
oleh Juraid Abdul Latif dalam bukunya ”Manusia, Filsafat, dan Sejarah”
(2006: 79) bahwa semua manusia mempunyai jati diri. Bahwa kemudian jati
diri manusia berada dalam wujud plus-minus itu adalah soal nanti,
termasuk ketika pada akhirnya muncul kecenderungan untuk hanya menerima
jati diri positif dan mengingkari refleksi kedirian yang bernuansa
negatif. Akan tetapi, pada konteks inilah sebenarnya manusia diuji jati
dirinya. Justru, penolakan atau keengganan untuk mengakui totalitas
kedirian mencerminkan keterpecahan jati diri manusia. Manusia ragu-ragu
atas drinya dan masa lalunya. Manusia kehilangan keseimbangan. Kesadaran
untuk menerima jati diri seutuhnya mendeskripsikan ”apa adanya saya”.
Dari penjelasan Latif di atas, sekilas
dapat dianalogikan bahwa pengakuan tentang adanya Tuhan adalah jati diri
yang tergolong bernuansa positif. Pengigkaran terhadap salah satu
nuansa dalam jati diri baik yang bernuansa positif maupun negatif akan
membawa kehancuran jati diri yang sekaligus kehancuran diri manusia
tersebut. Nuansa positif dalam diri kita seperti ketuhanan, budi pekerti
yang mulia, sopan santun, dan sebagainya bukan untuk diingkari; namun
untuk ditaati, diaplikasikan, disebarluaskan, dan diyakini akan membawa
kebaikan baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Begitu juga
sebaliknya, nuansa negatif seperti berkata kotor, mencuri, sombong,
angkuh, dan sebainya tidak perlu kita ingkari karena hal ini juga
sebenarnya ada pada diri setiap manusia; tetapi yang kita lakukan adalah
menahan atau menekannya agar hal tersebut tidak muncul pada diri kita.
Lebih lanjut Latif menjelaskan bahwa dengan
mengetahui terutama mengenal siapa manusia, kita menjadi sadar tentang
kedirian kita. Bukan itu saja, mengenal diri (manusia) penting artinya
dalam membebaskan manusia dari keterasingan, paling tidak terbebas dari
kerasingan diri sendiri. Oleh sebab itu, sepanjang sejarah kemanusiaan,
selalu muncul kreativitas sadar membebaskan diri dari keterasingan.
Karena hakikatnya manusia dapat menemukan ”hakikat” ketika pikiran telah
keluar dari manusia (Latif, 2006:15).
Yang dimaksud sejarah kemanusiaan oleh
Latif salah satunya adalah perjalan hidup putra mahkota Kerajaan Cirebon
yakni Pangeran Ali Hasan yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan
Syekh Siti Jenar. Huda (2002: 50) menuliskan bahwa filsafat Siti Jenar
ada kesamaan bahkan identik dengan filsafat Jawa. Surga berada di dalam
jiwa manusia, untuk mendapatkannya tidak perlu menunggu setelah mati. Di
dalam kehidupan pun kita dapat menemukan surga. Jiwa yang telah
terbebas dari beban raga dan beban dunia menurut Siti Jenar adalah jiwa
yang telah menemukan kebahagiaan dan kedamaian. Bahagia dan damai adalah
ciri suasana surga. Jadi, menurutnya manusia yang sudah dapat
berperilaku seperti ini pada hakikatnya sudah menemukan surga.
Manusia yang masih terikat oleh kebutuhan
balas budi, menurut Siti Jenar bukanlah manusia penghuni surga karena
masih dikungkung oleh orang lain dan menurutkan nafsu untuk menyenangkan
orang lain. Hal ini agak berseberangan dengan etika jawa yang ditulis
oleh Sujamto (2000: 45) yang menyatakan bahwa tekad dan sikap membalas
budi sebagaimana sikap Raden Karna membela Kurawa melawan Pandawa
(adik-adiknya sendiri) serta sikap tanpa ragu-ragu menjalani takdir
termasuk sikap terpuji dalam etika Jawa.
Orang yang masih memperturutkan keinginan
seperti ini menurut Siti Jenar akan sulit menyatukan diri dengan
Tuhannya karena jiwanya belum terbebas dari himpitan keduniaan. Hal ini
juga berseberangan dengan teori filsafat secara umum seperti yang
dikemukakan oleh Abraham Maslow bahwa hirarki kebutuhan meliputi:
kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan berkelompok, dan
beraktualisasi. Dalam beraktualisasi diri secara terus-menerus, manusia
acapkali dihanyutkan oleh realitas di sekitarnya. Kecenderungan manusia
untuk berubah dalam kenyataannya merupakan suatu proses untuk menjadi
yang lain, suatu proses pembentukan kepribadian. Pada dasarnya
pembentukan kepribadian adalah suatu proses pembentukan diri, suatu
proses yang tidak pernah berakhir. Seseorang yang berkeinginan
menampilkan identitas pribadi baru biasanya akan menanggalkan kebiasaan
masa lalunya, kemudian tampil dengan sikap dan perilaku berbeda, bahkan
terkadang secara sadar atau tidak –demi perbedaan yang diinginkan- ia
tidak malu-malu untuk memanipulasi diri (dalam Soedarsono, 2000: 27 28).
Pernyataan seperti di atas sangat
bertentangan dengan prinsip ”Manunggaling Kawula-Gusti” ala Syekh Siti
Jenar. Sangat jelas pendapat Maslow tersebut, manusia masih dibebani
dengan berbagai macam kebutuhan. Sedangkan dalam ”Manunggaling
Kawula-Gusti” kebutuhan-kebutuhan semacam itu sudah dibuang jauh-jauh.
Kebutuhan utama mereka adalah menghadirkan Tuhan di dalam jiwanya.
Dengan sudah menyatunya Tuhan dalam dirinya, secara otomatis kebutuhan
apapun sudah tercukupi, atau sama saja dengan sudah tidak membutuhkan
apapun.
”Manunggaling Kawula-Gusti” sperti di atas
sudah membutuhkan lagi adanya ibadah atau bentuk persembahan lainnya,
sudah tidak dibutuhkan lagi sholat, puasa, zakat, dan sebagainya karena
Tuhan sudah bersamanya. Bentuk seperti ini jelas sudah tidak diterima
lagi oleh agama apapun. Dalam Islam masih harus dilaksanakan rukun
Islam, dalam Nasrani masih tetap harus dilakukan kebaktian, dalam Hindu
masih harus diakukan bentuk persembahan, dan sebagainya.
Dalam konsep agama apapun dan di manapun,
”Manunggaling Kawula-Gusti” memang bagus tetapi tetap harus melaksanakan
kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya.
Bentuk ibadah agama apapun tujuannya
adalah menyerahkan diri kepada Tuhan. Idealnya, orang mnyerahkan diri
berarti ada yang dihadapi yaitu orang yang akan menerima penyerahan itu.
Begitu juga berserah diri kepada Tuhan, manusia harus bertemu dengan
Tuhan mestinya, seandainya tidak dapat bertemu setidak-tidaknya merasa
yakin bawa Tuhan mengetahui kita, sehingga ada komunikasi langsung
antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dalam agama Islam meskipun
seseorang sudah dapat menghadirkan Allah dalam kehidupannya, tetap saja
seorang muslim harus melaksanakan sholat, puasa, zakat, dan haji bagi
yang mampu. Begitu juga agama yang lain, tetap harus melaksanakan
rutinitas ibadah sesuai petunjuk dalam kitab suci.
Literatur
1. Farozin, Muhammad. 2004. Pemahaman Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.
2. Huda, Nurul. 2002. Siti Jenar Sang Subversif. Surabaya: Dua Putra.
3. Karasu, T. Bryan. 2003. Seni Berdamai dengan Hati (The Art of Serenity). Jakarta: Prenada Media
4. Latif, Juraid Abdul. 2006. Manusia, Filsafat, dan Sejarah. Jakarta: Bumi Aksara.
5. Soedarsono, Soemarno. 2000. Penyemaian Jati Diri. Jakarta: Gramedia.
6. Sujamto. 2000. Sabda Pandhita Ratu. Semarang: Dahara Prize.
Sumber: http://yonmujiyon.blogspot.com