Adanya
Artikel Ini supaya orang orang yang mampu bisa sadar dan membantu
mereka orang miskin seperti: fakir miskin, yatim piatu, anak jalanan,
pengamen dll tentang orang yang tiada daya upaya untuk
hidup…..Pernahkan terlintas di pikiran Anda, Lebih hebat manakah kita
dengan anak jalanan / pengamen? Apakah kita yang lebih hebat? Bagi Anda
yang menjawab demikian Anda SALAH BESAR …tahukah apa yang membuat
comment kita tersebut salah?.
Mungkin bila kita melihat orang jalanan / pengamen yang
selalu yang ada di benak kita adalah anak kita yang kotor, kumuh, dan
nakal. Memang semua itu benar, tapi ada suatu hal yang lebih berharga
di balik semua itu. Anak jalanan /pengamen mempunyai suatu keistimewaan
yang tidak kita miliki. Apa keistimewaannya? Tiap hari mereka mampu
melawan kekejaman kehidupan hanya untuk 1 tujuan yaitu mencari uang
untuk hidup 1 hari. walaupun yang didapat sedikit namun mereka tetap
bersyukur dan tak mengenal kata “putus asa” untuk kembali berjuang pada
hari-hari selanjutnya. Namun bagaimana dengan kita? Kita tidak tiap
hari merasakan kekejaman dunia, hanya pada waktu tertentu saja namun
lebih parahnya kita selalu gampang berputus asa bila mengalami
kegagalan dan yang lebih parahnya lagi kita tidak pernah mensyukuri apa
yang kita punyai saat ini. Sekarang lebih hebat manakah ?kita atau
anak jalanan?
Anak jalanan pada umumnya adalah kaum muda yang sebenarnya
adalah aset negara yang berharga. Sebagai modal kekuatan bangsa kaum
muda ini harus disiapkan sedini mungkin dan ini menjadi tugas orang
dewasa. Penyiapan-penyiapan yang terpenting adalah usaha agar mereka
bisa melalui masa transisinya menuju dewasa. Di sinilah terlihat adanya
perbedaan yang jelas antara penyiapan masa muda dengan masa dewasa.
Pada hakikatnya masyarakat telah menempatkan anak-anak sepenuhnya di
bawah kontrol orang tua. Para orang tuapun memiliki kekhawatiran jika
masa transisi anak-anak mereka menjadi masa yang kritis sehingga
berakibat kurang baik. Kekhawatiran itulah yang kini tidak hanya
sebagai sebuah ketakutan tetapi sudah menjadi bukti dalam kehidupan
masyarakat ketika ini dan di antaranya adalah kehidupan anak jalanan.
Persoalannya yang terpenting bukanlah mencari kesalahan
siapa yang menyebabkan semua ini terjadi. Agaknya terlalu dini untuk
menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini, sebab masalah anak jalanan
merupakan hal yang rumit dan beraneka ragam. Bisa saja latar belakang
kehadiran mereka di kota ini bukanlah karena kekeliruan orang tua dan
keras kepalanya sang anak. Tetapi bisa saja karena korban dari
perjalanan sejarah yang tidak adil. Kisah anak jalanan yang terpaksa
harus hidup menderita di jalanan karena tanah dan rumahnya dicaplok
oleh penguasa dan pengusaha; merupakan contoh ketidakadilan itu. Dengan
kekalahan itu akhirnya keluarga ini harus mengalami sejarah yang
pahit, sehingga satu diantara mereka harus hidup menderita di jalanan.
Di sini terlihat kekejaman penguasa dan pengusaha yang menjadikan
mereka harus hidup menderita di jalanan.
Diakui atau tidak, kehidupan anak jalanan sudah menunjukkan
keberadaannya sendiri di tengah hiruk pikuknya Kota Medan ini. Orang
mau terima atau tidak yang pasti anak jalanan sudah menjadi suatu bagian
dari sebuah kebudayaan yang mapan di kota ini. Berbagai macam respon
terhadap kehidupan anak jalanan ini pun sudah menjadi reaksi soiologis
dan kukltural baik secara negatif, positif, ataupun netral. Dan yang
paling sering muncul adalah reaksi negatif. Anak jalanan telah
meninggalkan masa lalunya di rumah dan kini mereka berada di jalanan.
Mereka sebenarnya ingin diakui eksisensinya, walaupun mereka harus
berhadapan dengan sanksi sebagai pelanggar hukum dan pandangan negatif
sebagai sampah masyarakat.
Namun harus disadari, tindakan dan perilaku sosial dan
budaya mereka hanyalah untuk mempertahankan diri dan mendapatkan
pengakuan sehingga mereka menentang kultur dominan dan memperkuat
solidaritas mereka. Pola kejiwaan yang terlihat dalam diri mereka
adalah sikap tidak peduli (cuek) menghadapi kehidupan sehari-hari
sebagai upaya agar eksistensi mereka diakui melalui penciptaan
kultur-kultur baru dengan makna yang lebih spesifik. Gaya kehidupan
inilah yang merupakan sebagai sebuah subkultur yang khas dari sebuah
kehidupan anak jalanan. Bagi anak jalanan, jalanan merupakan arena
untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan
rumusan strategi bagi keberadaaan mereka. Di sisi lain anak jalan
berupaya melakukan penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak
lain, sehingga jalan raya bukanlah sekedar tempat untuk bertahan hidup
tetapi untuk mempertahankan harga diri dan kemuliaan kemanusiaan
mereka.
Apapun alasannya anak jalanan telah meninggalkan rumah dan
menghidupi dirinya di jalanan atau bahkan menetap tinggal di jalanan.
Dalam kehidupan anak jalanan terdapat dua fenomena sosial yaitu anak
jalanan yang hanya bekerja di jalan dan anak jalanan yang memang hidup
di jalan. Anak yang bekerja di jalan (misalnya penjual rokok, pengamen,
penjual koran, penjual air minum dan lainnya) jauh lebih beruntung
ketimbang anak jalanan yang hidup di jalan. Mereka memiliki tempat
tinggal dan menjadikan jalanan hanya ebagai tempat berusaha. Sedangkan
anak jalanan yang hidup di jalan menumpukan kehidupannya pada jalanan
itu. Mereka memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap jalanan.
Sedihnya dalam situasi dan kondisi yang demikian mereka juga harus
menghadapi dishamoni, tindakan ilegal untuk mempertahankan hidup.
Mereka
menentang permintaan orang dewasa sebagai bagian dari indentitas diri
untuk menolak anggapan bahwa mereka hanyalah anak kecil. Di dalam
kehidupan jalanan yang liar, proteksi terhadap diri mereka seringkali
rapuh oleh hal-hal yang terkadang ringan dan iseng. Menentukan jalan
hidup yang sendiri sering membuat mereka tidak memiliki tempat untuk
berbagai rasa. Dalam kekecewaan itulah tidak jarang terjadi pelarian ke
titik negatif yang dirasakan bisa menghilangkan kekalutan. Jerumusan
inilah yang mengikat anak jalanan akan menjadi korban sepanjang umurnya.
Bahkan dalam situasi yang demikian mereka masih mengalami berbagai
tekanan yang datang dari orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan.
Dalam tekanan itu pula mereka harus bekerja dalam jam kerja yang cukup
panjang tanpa batas waktu.
Keadaan ini telah
menempatkan mereka sebagai sampah masyarakat akibat pandangan yang
negatif. Bahkan secara hukum keberadaan mereka sering dibenturkan
dengan pasal - pasal hukum yang berlaku. Betapa tidak mereka
menghilangkan rasa malu dengan cara mabuk untuk memenuhi kebutuhan di
tumpukan sampah, mengemis, ataupun melakukan pekerjaan yang berat dan
di luar batas malu. Selain sebagai strategi ekonomi, mabuk itu akhirnya
menimbulkan sikap tidak peduli dengan aturan hukum. Jadi dalam
kehidupan sehari-hari sebenarnya mereka mengalami tekanan batin yang
luar biasa dan merasa tidak pernah merasa nyaman dan aman. Setidaknya
dari sebuah keterpaksaan mereka telah meresapi makna sebuah kehidupan
yang sesungguhnya. Walaupun kehidupan anak jalanan tidak memiliki
kekuatan besar, namun hal itu adalah ekspresi dirinya dan reaksi
terhadap kultur dominan masyarakat. Kalau mau jujur dapat dikatakan,
keadaan yang mereka alami sebenarnya akibat dari perilaku orang dewasa.
Kontrol atas diri mereka yang berlebihan sehingga ekspresi
kebebasan dan kreatifitas mereka terbatas sampai dengan tindakan
ketidakadilan orang dewasa di rumah, di masyarakat, di sekolah, di
kantor, di pemerintahan, dan di luar ruas jalanan itu luar jalanan
telah menimbulkan kekecewaan pada diri mereka. Akhirnya mereka
menjadikan jalanan sebagai ajang pemberdayaan diri dan penaklukan
terhadap tindakan orang dewasa di. Anak-anak jalanan memilih kehidupan
jalanan sebagai jalan keluar dari frustrasi sosial. Memang kehidupan
anak jalanan ini merupakan sumber terciptanya sub-kultur baru anak muda
perkotaan, tetapi keadaan ini tetap akan menempatkan anak jalanan di
pinggir bahkan di luar tatanan sosial masyarakat yang dalam banyak hal
selalu diabaikan oleh orang dewasa.
http://roiszuhuda78.blogspot.com/