Merry Effendi, warga Cina Muslim di Palembang tengah bersiap
shalat di rumahnya yang sederhana
Sejarah kehadiran komunitas Tionghoa di nusantara boleh dibilang serupa dengan negara-negara lainnya. Hanya ada tiga kata yang dapat menggambarkan perjalanan komunitas Tionghoa di Indonesia yakni panjang, berliku dan penuh cerita.
Di setiap tempat yang mereka singgahi segera memunculkan ciri khas. Sebuah bentuk akulturasi yang segera memperkaya kearifan budaya lokal. Kekhasannya semakin lengkap ketika Islam masuk ke nusantara. Jadilah tiga premis yang terbentuk yaitu China, Islam dan Indonesia.
Ketiga premis ini yang kemudian berusaha ditangkap oleh Zhuang Wubin, fotografer dan penulis asal Singapura. Wubin boleh bilang merupakan sosok yang yang peka terhadap sejarah penyebaran bangsa Han ke segala penjuru Asia Tenggara.
Tercatat sudah dua buku yang berisikan pengalamannya menelusuri keberadaan komunitas China di negara-negara Asia Tenggara. Buku pertama ia publikasikan tahun 2009 dengan judul Chinatowns in a Globalizing Southeast Asia. Selang setahun, Wubin melanjutkan pendalaman pengetahuannya soal komunitas China di Asia Tenggara dengan meluncurkan buku berjudul Ten Chinatowns of Southeast Asia.
Kedua buku itu dibuat Wubin dengan konsep yang sangat sederhana. Dia kunjungi tempat-tempat yang berkaitan erat dengan tujuannya. Selanjutnya dia abadikan dengan jepretan kamera dan secarik keterangan ilmiah yang merupakan hasil observasinya.
Metode itu yang kemudian Wubin lanjutkan dalam buku ketiga yang berjudul Chinese Muslims in Indonesia. Khusus buku yang terakhir, secara resmi diperkenalkan kepada masyarakat Jakarta, Kamis Malam di Galeri Foto Antara, Jakarta.
Dalam karya terbarunya itu, Wubin seperti buku sebelumnya coba menelusuri komunitas Muslim Tionghoa di Indonesia. Mengapa Indonesia? Wubin mengatakan faktor sejarahlah yang mengantarkan dirinya ke Indonesia.
Selama dua tahun yakni 2007-2009 Wubin menjelajahi Indonesia dari Bangka Belitung hingga Makassar. Dari Pesisir Jawa hingga pedalaman Bangka Belitong. “ Sejak 2007 sampai 2009, saya sering mengunjungi Bangka, Palembang, Jawa dan Madura dalam rangka memahami sejarah Cina Muslim di Indonesia dan kehidupan yang mereka jalani dewasa ini,” kata dia.
Wubin mengatakan sebagai keturunan Hokkian, dia ingin mengetahui bagaimana komunitas China di Indonesia memeluk Islam. Dia percaya bila saja kakeknya menikahi seorang pribumi maka dirinya akan menjadi seorang Muslim.
“Saya sempat diberitahu bahwa sejarah komunitas China di Indonesia begitu kompleks. Karena itu perlu sekali untuk mencari dokumen sebanyak-banyaknya guna mendapatkan satu benang merah tentang komunitas China di Indonesia.,” ujarnya.
Sekian banyak data dan fakta yang dibutuhkan, Wubin membaginya menjadi tiga garis besar yakni Mualaf, Peranakan, Masjid keramat. Ketiga hal itu dipaparkan melalui catatan ilmiah yang merujuk pada hasil observasi Wubin berikut penjelasan visual hasil jepretan dirinya.
Wubin dalam pemaparannya begitu sederhana namun tajam. Dia coba paparkan bagaimana kehidupan kaum peranakan. Lalu menyambung apa yang terjadi salah satu keturunan peranakan memutuskan masuk Islam. Dipaparkan pula bagaimana seorang Alm Gus Dur secara tegas bahwa dirinya adalah keturunan Tionghoa.
Sumber: republika.co.id