Sangat mengejutkan, jika kita melihat angka kemiskinan negara Indonesia tahun 2009 yang mencapai angka 33, 7 juta jiwa. Menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) angka itu dapat terjadi jika ekonomi cuma tumbuh 4,5% dan inflasi lari sampai 9%. Meski angka ini dibandingkan dengan tahun 2008 tidak jauh berbeda yakni 34, 96 juta jiwa1.
Sebenarnya persoalan pengentasan kemiskinan merupakan cerita klasik yang dihadapi setiap negara, tidak terkecuali dengan Indonesia. Kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks dan sulit ditemukan benang merahnya meski generasi kepemimpinana telah berganti beberapa kali. Sangat mudah menemukan wajah kemiskinan di negeri yang konon memiliki hasil pribumi melimpah ruah. Di sudut ibu kota (Jakarta) ratusan bahkan ribuan warga miskin berjuang hidup ditengah kemegahan ibukota. Kolong jembatan, pinggir kali hingga emperan sebuah ruko merupakan tempat strategis untuk bisa menemukan mereka.
Wajah kemiskinan ini justru semakin terlihat dengan adanya program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dikucurkan oleh pemerintah selama kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Ribuan orang tiba-tiba muncul sebagai keluarga yang tidak mampu (miskin) dengan harapan tercatat sebagai penerima bantuan langsung tunai yang dianggarkan tiap orang mendapatkan dana kucuran Rp. 300.000. Belum cukup sampai disitu, potret warga miskin justru akan terlihat dengan adanya proses kampanye yang dilakukan puluhan calon wakil rakyat yang akan melangkah ke kursi pemerintahan.
Potret kemiskinan dinegeri ini ternyata tidak hanya sebatas pada elit politik yang menjadi kemiskianan menjadi obyek, namun kemiskinan ini juga dilirik oleh produsen media massa sebagai seni yang menarik untuk dikaryakan di televisi. Pemilik media, mencoba mewujudkan adanya nilai seni dengan citra tinggi di balik rendahnya selera hidup orang-orang miskin. Akhirnya satu persatu program berbau kemiskinan dikemas oleh produsen media sedemikan rupa dengan harapan mampu meningkatkan rating. Belakangan, lahirlah acara yang berseliweran di televisi saat ini seperti ‘Minta Tolong’, ‘Bedah Rumah’, ‘Duit Kaget’, dan ‘Dibayar Lunas’ yang ditayangkan oleh RCTI, ‘Tukar Nasib’ dan ‘Pemberian Misterius’ di Stasiun SCTV, atau ‘Tangan di Atas’ dan ‘Jika Aku Menjadi’ yang tayang di Trans TV.
Acara-acara tersebut, umumnya menampilkan kehidupan orang-orang miskin. Harapannya dapat memancig rasa iba hingga tetesan airmata para penonton televisi. Meski ada juga acara yang sekedar menampilkan bagaimana bila si miskin ini “dikerjai”. Dalam sebuah acara, misalnya (uang kaget) orang miskin diberi uang jutaan rupiah untuk dibelanjankan harus dibelanjakan dalam hitungan menit saja. Saat itu juga, layar kaca pemirsa pun mempertontonkan wajah berkeringat dan tangan gemetaran si miskin saat memiliki setumpuk uang yang mesti dihabiskannya dalam hitungan waktu yang sesingkat-singkatnya pula. Dan situasi inilah yang menjadi hiburan tersendiri dan tidak menutup kemungkinanan penononton bisa sambil tertawa saat melihatnya.
Tontonan semacam itu (reality show) semakin menarik perhatian dengan permainan gambar yang diambil camera person, seperti rekaman kegaduhan atau keramaian disekitarnya, raut muka-mimik muka yang diambil secara dekat (close-up) dengan guratan-guratan muka, bibir yang gemetata dan matanya yang nanar ketika setumpuk uang diberikan kepadanya dan harus dibelanjakan barang apapun dengan waktu yang telah ditentukan. Tayangan tersebut dalam pandangan penulis bukan tidak ada yang positif, namun posisinya menyedihkan karena orang miskin kerap menjadi objek. Televisi sebagai media massa yang dianggap paling sempurna diantara media massa lain menjadikan kemiskinan sebagai obyek yang bisa dijual kepada khalayak bahkan pada awal-awal program semacam ini muncul mampu menaikkan rating. Tidak ada yang tahu, maksud dalam pembuat program reality show kemiskinan seperti saat ini namun yang bisa dilihat adalah program acara ini mampu mendatangkan keuntungan berlipat-lipat bagi pemilik media. Iklan yang masuk disela-sela acara reality show inilah yang membawa keuntungan yang menggiurkan bagi pemilik media.
Jika pemerintah tengah berupaya mencari penyelesaian untuk membantu mengurangi angka kemiskinan, namun televisi menjadikan kemiskinan melakukan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya dipasar. Contoh diatas, merupakan salah satu betapa persoslan kemiskiaan sekalipun mampu menjadi obyek para pemeliki media untuk bisa menghasilkan keuntungan. Program acara reality show ‘kemiskinan’ hingga saat ini masih menduduki rangking tertinggi untuk dijadikan komoditas segala kepentingan individu. Dari suatu potret tentang kemiskinan timbul berbagai macam hal yang mampu menarik perhatian masyarakat mulai dari kelucuan-kelucuannya, simpati, perenungan hingga keuntungan yang lebih bersifat materi dan popularitas.
Televisi Dalam Bingkai Komodifikasi
Persoalan kemiskinan yang diangakat dalam kotak ajaib (televisi) merupakan salah sebuah bentuk komodifikasi yang mendominasi program acara televisi di negeri ini. Komodifikasi disini dapat diasumsikan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1996). Nilai tambah produksi berita akan sangat ditentukan oleh kemampuan berita tersebut memenuhi kebutuhan sosial dan individual
Menurut perbendaharaan kata dalam istilah Marxist komodifikasi adalah suatu bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil. (http://www.marxists.org/glossary/terms/c/o.htm). Dalam artian bahwa hubungan sosial ter-reduksi menjadi hubungan pertukaran. Komodifikasi (commodification); juga merupakan istilah yang hanya ada dalam konsep jual-beli di tahun 1977, namun mengekspresikan konsep fundamental atas penjelasan Karl Marx tentang bagaimana kapitalisme terbangun.
Komodifikasi ini merupakan salah satu cara yang bisa melakukakan pendekatan atau pintu masuk mempelajari media massa dalam pendekatan ekonomi politik. Menurut Mosco (1996), pengertian ekonomi politik bisa dibedakan dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit berarti kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, yang bersama-sama membentuk produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya termasuk sumber daya komunikasi. Dalam pengertian luas kajian mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Selain komodifikasi ada 2 dua aspek yang bisa dilakukan untuk melakukan pendekatan seperti spasialisasi (spatialization); dan strukturasi. strukturasi (structuration).
Sebenaranya banyak cara untuk menentukkan bentuk komodifikasi di media massa. Iklan yang ada ditelevisi merupakan bentuk komoditas lainnya. Penenulis mengambil contoh iklan yang menempatkan komoditas ke dalam hubungan keluarga (versi televisi) yakni teh sariwangi yang menggambarkan bahwa hangatnya teh sariwangi sehangat keluarga. Hal ini menggantikan konsep nilai tukar dalam komodifikasi tadi, menjadi representasi dari moment kasih sayang dalam keluarga.
Ketika periklanan menggerakkan kekuatan dari komoditas untuk mempertinggi hubungan, sebaliknya periklanan sendiri menyembunyikan proses produksi dengan meniadakannya, membuatnya menjadi abstrak, atau menyisipkan estetika di dalamnya. Sebagai khalayak, kita hanya tahu tampilan luar dari suatu komoditas dalam sebuah iklan, tanpa pernah tahu bagaimana komoditas itu diproduksi.
Seperti dicontohkan diatas, industri media yang dibangun dengan semangat kapitalisme tentu akan menghasilkan pesan atau produk media yang berorientasi pada bertambahnya modal. Bukti untuk produk media berorientasi modal adalah banyaknya iklan komersial dan besarnya pengaruh iklan dalam penentuan suatu program. Mungkin sebagian besar isi media tidak secara eksplisit menunjukkan keberpihakannya. Tetapi secara halus pesan-pesan kapitalisme yang menuntun pada perilaku konsumtif masyarakat disisipkan melalui tayangan sinetron, acara gosip, kuis berhadiah, polling sms dan lain sebagainya.
Mosco dalam bukunya, The Political Economy Of Communicatin- Rethingking and Renewal menyatakan rumusan tentang politik ekonomi adalah kajian tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang bersama-sama dalam interaksinya menentukan aspek produksi, distribusi, dan konsumsi dari sumber-sumber yang ada. Jika diletakkan dalam lingkup komunikasi khsusnya industri media massa, maka yang dimaksud dengan produksi adalah surat kabar, buku, video, film dan sebagainya. Produk-produk inilah yang menjadi sumber (resources) yang distribusikan dan kemudian dikonsumsi oleh massa. Rangkaian produksi, distribusi, dan komsumsi dalam sebuah industri media ditentukan oleh relasi yang melibatkan pihak pengelola media, pihak pemodal atau kapitalis (penguasa dalam arti ekonomi bisnis) dan negara atau lebih tepatnya pemerintah (penguasa dalam arti politis).
Perspektif Ekonomi Politik Dalam Bingkai Mosco
Sebenarnya pendekatan ekonomi politik sendiri merupakan bagaian dari disiplin ilmu yang berkembang sejak abad 18 terutama sebagai respon terhadap akeselarasi kapitalis. Ekonomi politik kritis adalah varian studi ekonomi politik yang mencoba bersikap kritis terhadap proses-proses liberal dengan mengedapankan aspek-aspek moral dan etika sosial. Untuk bisa melihat ekonomi politik dalam media, Golding Murdok melakukan dengan pendekatan pada tiga karakter sentral. Pertama, pendekatan ekonomi bersifat holistik.
Holistik disini lebih menekankan pada hubungan antara dinamika sosial, politik dan budaya dalam masyakat serta menghindari kecendrungan untuk mengabstraksi relasitas sosial kedalam toeri ekonomi atau teori politik. Kedua, pendekatan kritis ekonomi politik bersifat historis. Bukan hanya berkaitan dengan fokus perhatian terhadap proses dan dialektik sejarah melainkan secara memadai bagaimana perubahan dan dialektika yang terjadi berkaitan dengan posisi dan peranan media komunikasi dalam sistem kapitalis global. Ketiga, pendekatan kritis eknomi politik bersifat praksis. Pendekatan praksis memadang pengetahuan dalah produk dari interaksi dan dialektika antara teori dan praktik secara terus menurus.
Sementara Mosco dalam bukunya The Political Economy Of Cummunication (1996: 13) merumusan tiga karakter dalam pemahaman eknomi politik yakni realis, inklusif dan kritis. Dalam pemahanam realisme ini dapat dijelaskan pengaruh eknomi politik kritis sangat menghindari ketergantungan ekslusif terhadap teori abstak dan deskrpsi empiris (ekonomi politik dalam hal ini memberikan bobot yang sama terhadap pertimbangan teoritis dan empiris). Sementara inklusif berasal dari kesadaran bahwa kehidupan sosial yang tidak dapat dirangkum kedalam suatu teori. Tidak ada pendaketan yang paling tepat dan paling mendekati ideal dalam studi ekonomi politik komunikasi. Studi ekonomi politik sangat terbuka terhadap perdebatan-perdebatan multi perpektif dan lintas disiplin. Sementara watak atau sifat kritis ekonomi politik mewujud pada kepekaan terhadap berbagai bentuk ketimpangan ketidakadailan. Ekonomi politik memberi perhatian besar terhadap faktor ideologis dan politis yang pengaruhnya bersifat laten terhadap masyrakat.
Moscow juga menjelaskan, usaha untuk memahami proses relasional antara ideologi, media massa dan ekonomi politik media termasuk dalam kategori perspektif ekonomi politik. Vincent Mosco menyebutkan bahwa:
”…Ekonomi politik komunikasi berupaya menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian, dengan konsentrasi lebih diarahkan pada kajian mengenai keterkaitannya dengan ekonomi, politik dan faktor-faktor lainnya. Menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian berarti memandang sistem komunikasi sebagai terintegrasi dengan proses ekonomi, politik, sosial, dan budaya fundamental dalam masyarakat.”
Sebenarnya, perhatian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik. Karakter utama pendekatan ekonomi politik adalah produksi media yang ditentukan oleh: pertukaran nilai isi media yang berbagai macam di bawah kondisi tekanan ekspansi pasar dan juga ditentukan kepentingan ekonomi-politik pemilik modal dan pembuat kebijakan media. Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun horisontal.
Semantara itu secara makro, Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15 – 32) menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik komunikasi massa bisa dibedakan menjadi dua macam paradigma yaitu perspektif ekonomi politik dalam paradigma liberal; dan perspektif ekonomi politik dalam paradigma kritis.
Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.
Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.
Dalam perspektif ekonomi politik kritis, perspektif ekonomi politik mengikuti Marx untuk memberikan perhatian pada pengorganisasin properti dan produksi pada industri budaya ataupun industri lainnya, bukannya pada proses pertukaran sebagaimana dilakukan liberalisme. Perspektif ini tidak mengabaikan pilihan-pilihan yang dibuat oleh produsen maupun konsumen industri budaya, akan tetapi apa yang dilakukan oleh produsen dan konsumen itu dilihat dalam struktur yang lebih luas lagi.
Golding dan Murdock menempatkan perspektif ekonomi politik media pada paradigma kritis. Golding dan Murdock berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public goods).
Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan “dominasi” perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar (dalam penelitian ini terlihat faktor militer yang menentukan makna dan isi pasar). Proses komodifikasi justru menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih dan menyaring informasi.
Dalam konstatasi di atas, maka tidak mengherankan apabila peran media di sini justru menjadi alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias karena dibutnuk oleh kelompok kepentingan baik secara politik maupun ekonomis. Perjuangan kelas biasanya didasarkan pada antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi dan merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut. Ideologi dimanfaatkan untuk menghapus dan mengeliminasi perjuangan kelas. Kontrol atas kelas dibuktikan dengan mencocokkan ideologi yang tersirat dalam pesan media dengan kepentingan kelas yang dominan.
Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada.
Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.
Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian utama. Ketiga varian tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme, dan strukturalisme. Dalam penelitian ini, varian yang digunakan adalah perspektif instrumentalisme. Perspektif ini memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya - untuk kepentingan apapun - dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya.
Dengan melihat kondisi diatas, revolusi perkembangan teknologi media massa mampu menunjukkan bahwa media massa pada akhirnya mencapai puncak perkembangan sebagai lembaga kunci dalam masyarakat modern. Media massa dapat tampil mempresentasikan diri sebagai ruang publik utama yang mampu menentukan dinamika sosial, politik dan budaya baik dalam lingkup lokal maupun secara global. Media massa yang dinyatakan lahir dari sebuah kapitalis modern ini tidak hanya digunakan sebagai medium untuk mengantarkan pesan antara pengirim dan penerima (komunikan) tetapi dapat berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsesus oleh kelompok secara ekonomi dan politik dominan. Media massa juga turut menyebarkan atau memperkuat struktur eknomoi politik tertentu selain menjalankan sebuah ideologis tertentu. Melalui kepemilikan dan produk-produk yang disajikan inilah, media menjadi sebuah perangkat ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakukan sebagai konsumen semata dan terhadap pemegang kekuasaan untuk memuluskan lahirnya regulasi-regulasi yang pro pasar (Sudibyo: 2004)
Seperti dijelaskan diatas, hadirnya media massa ternyata tidak hanya dimanfaatkan sebagai media penghantar pesan saja tetapi, media massa juga dipergunakan sebagai medium efektif pengiklan utama yang secara signifikan mampu mendorong penjualan produk dan jasa. Bahkan media massa juga mampu menghasilkan surplus dengan menjalankan peran penghubung antara produksi dan konsumsi. Media massa disini, tidak hanya memiliki fungsi sosial dan ekonomi, tetapi juga menjalankan fungsi ideologis sehingga diperlukan berbagai pendekatan tidak hanya dari sisi ekonomi tetapi juga politik atau biasa disebut dengan pendekatan ekonomi politik.
Selain dikemukan diatas, untuk bisa mempelajari dalam ada 2 hal yakni spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media (Mosco, 1996). Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.
Semantara, strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1996). Strukturasi mengandung tiga dimensi penting diantaranya, pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara agen memahami sesuatu; moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan; kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan.
Tiga dimensi strukturasi tersebut mempengaruhi tidakan agen. Tindakan agen diperkuat oleh struktur pemahaman, moralitas, dan kekuasaan. Dalam hal ini agen menggunakan aturan-aturan untuk memperkuat tindakannya. Dalam satu kelompok yang telah terbentuk strukturnya, masing-masing individu saling membicarakan satu topik tertentu. Dalam strukturasi, hal ini tidaklah direncanakan dan merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan dari perilaku anggota-anggota kelompok. Norma atau aturan yang ada diinterpretasi oleh tiap individu dan menjadi arahan tingkah laku mereka. Kekuatan yang mereka miliki memungkinkan mereka untuk mencapai tujuan dan mempengaruhi tindakan orang lain.
Kesimpulan
Kritikan terhadap acara televisi saat ini adalah tidak adanya siaran yang mendidik. Mulai dari sinetron hingga reality show, meski sedikit yang memberikan nilai pendidikan. Kemiskinan sebenarnya tidak layak dijadikan alat untuk mencari keuntungan segelintir orang, apalagi jika menimbulkan efek pengharapan orang miskin lain yang membuat mereka tidak produktif dan akhirnya bisa mengalami stress karena pengharapan yang tak kunjung datang tersebut. Menikmati siaran yang mengangkat kemiskinan mungkin baik jika hasilnya adalah tumbuh empati dan rasa ingin membantu. Namun jika tidak, tentu tetap tidak perubahaan pada bangsa ini. Kemiskinan kurang pantas dijadikan komoditas mencari keuntungan. Dan menjadi tidak pantas jika hanya sekedar menikmati tanpa timbul rasa empati atau keinginan untuk menolong.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dimungkinkan sekali turut melakukan pengawasan tentang program acara yang di televisi. Selama ini KPI baik yang dipusat atau Daerah dianggap lalai untuk melakukan kritik terhadap media massa yang terlalu berlebihan disuguhkan kepada masyarak tidak hanya kemiskinan tapi juga pada sejumlah program acara yang cukup berlebihan seperti kriminal dan acara pada bulan ramadhan yang terlalu ‘over acting’. Tidak hanya itu, pemilik televisi saat ini juga jauh lebih mementingkan keniakan rating dan keuntungan sebesar-besarnya daripada manfaatkan yang bisa diambil untuk masyrakat. Kepentingan ekonomi masih menjadi prioritas para pemilik media massa.
Noning Verawati,
akrab dipanggil dengan sapaan Vera, lahir di Lampung, 5 Mei 1986. Lulus S1 pada program Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik tahun 2008 di Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta. Dua (2) tahun terakhir (2008-sekarang) berkarya di Radio UNISI 104.5 FM Yogyakarta. Selain berkarya di Media Massa, penulis juga tengah menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana di UGM Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Daftar Pustaka
Mosco, Vincent. The Political Economy of Communication. Sage Publication:New York, 1996.
Curran, James and Michael Gurevitch. Mass Media and Society . Edward Arnold:London, 1991.
Sudibyo, Agus dkk, Ekonomi Politik Penyiaran, Lkis: Yogyakarta, 2004.
Sumber: kompasiana.com