Selasa, 26 Oktober 2010
A. Mustofa Bisri, Seorang Ulama yang Juga Penyair
KH.A. Mustofa Bisri. Seorang ulama. Seorang penyair. Maka dia memandang dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin seorang penyair. Pandangan-dunianya adalah pandangan-dunia seorang ulama sekaligus seorang penyair. Seorang ulama memandang dunia dari sudut-pandang agama; pandangan-dunianya merefleksikan kesadaran relijiusnya. Sementara, seorang penyair memandang dunia dari intuisi kepenyairannya; pandangan-dunianya merefleksikan bangunan intuitifnya.
Keduanya bertemu pada satu titik: baik ulama maupun penyair berbicara tentang hal-hal yang sangat pribadi dan personal, yang sepintas tak ada hubungannya dengan apa pun selain dirinya sendiri; pada saat yang sama keduanya berbicara tentang masalah sosial. Pada tingkat praktis, seorang ulama secara teguh melakukan ibadah yang sangat personal dan individual, dan pada saat yang sama melakukan layanan sosial keagamaan; sejurus dengan itu, seorang penyair menulis puisi sunyi, pada saat yang sama menulis juga puisi sosial yang hiruk-pikuk.
Bukan maksud tulisan ini mendikotomikan ulama dan penyair. Mustofa Bisri jelaslah seorang ulama sekaligus seorang penyair. Keduanya, ulama dan penyair, dipilah semata-mata sebagai kategori dan strategi untuk membantu kita mendekati puisi-puisi Mustofa Bisri. Sudah tentu kita bisa mendekati puisi-puisinya melulu sebagai karya seorang penyair, tanpa mempedulikan sosok penulisnya sebagai seorang ulama. Namun pendekatan seperti itu akan membuat puisi-puisinya tercerabut dari tanah tempat dia tumbuh dengan subur, tanah yang bisa menjelaskan banyak hal tentang puisi-puisi itu sendiri —dan Mustofa Bisri pertama-tama adalah seorang ulama. Namun sebaliknya, mendekati puisi-puisinya melulu sebagai karya seorang ula¬ma bisa membuat kita meragukan kesungguhannya mengeksplorasi bahasa.
Kemunculan K.H.A. Mustofa Bisri atawa Gus Mus dalam blantika sastra Indonesia memberikan angin segar, tidak saja bagi puisi Indonesia melainkan juga bagi masyarakat Indonesia secara umum. Betapa tidak. Puisi-puisinya adalah suara kritis dari pedalaman pesantren, terdengar nyaring, keras, relijius, namun juga jenaka. Di tahun 1980-an, kebanyakan puisi protes sosial bernada marah, seakan diucapkan dengan tangan mengepal dan mata mendelik. Nah, Mustofa Bisri muncul dengan puisi protes sosial yang amat keras namun dengan wajah tersenyum. Puisi-puisinya membuat kita geram namun juga tersenyum. Senyum pahit, tentu saja.
Di tahun 1980-an, rezim Orde Baru berada pada puncak kekuasaan otoriternya. Tidak mudah menyampaikan suara kritis apalagi ditujukan kepada pemerintah waktu itu. Suara kritis pasti ditindas bahkan dilibas. Dalam situasi itu, ada dua cara yang dilakukan orang untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Pertama, melakukan kritik keras dan lugas dengan risiko dilarang aparat keamanan untuk tampil di mana-mana. Kedua, me¬lakukan kritik secara jenaka, terutama dengan cara menertawakan diri sendiri. Puisi-puisi Mustofa Bisri adalah suara kritis dengan cara kedua.
Tetapi, puisi Mustofa Bisri bagaimanapun pertama-tama adalah karya seorang ulama. Dalam perspektif ini, hal-hal yang bersifat individual dan sosial merupakan satu-kesatuan, bukan saja karena individu merupakan anggota sosial, melainkan terutama karena individu harus mengekspresikan dan merefleksikan dirinya secara sosial. Demikianlah maka ibadah yang paling personal pun harus memberikan dampak sosial secara konkret. Secara teknis keagamaan sering dikatakan, iman hendaklah diikuti oleh amal saleh, dan shalat sejatinya mencegah seseorang dari maksiat apa pun.
Itulah kiranya yang bisa menjelaskan kenapa pada puisi-puisi Mustofa Bisri yang paling sunyi sekalipun, kita toh tetap merasakan ada dimensi sosial, meskipun samar-samar. Puisi “Sajak Putih Buat Kekasih” dan “Seporsi Cinta”, misalnya, sebenarnya merupakan puisi sunyi, namun ia tetap merefleksikan aspek sosial, setidaknya melibatkan “orang lain” dalam situasi psikologis “aku-lirik” yang sesungguhnya sangat pribadi. Dengan kata lain, puisi sunyi Mustofa Bisri bukanlah puisi yang teramat sunyi hingga jauh dari hiruk-pikuk kehidupan bersama. Puisi sunyi Mustofa Bisri adalah puisi sunyi yang dengan caranya sendiri bertalian dengan kehidupan sosial yang nyata.
Sajak Putih Buat Kekasih
Aku datang pergi berharap dan kecewa
Berharap dan kecewa
Tapi biarlah
Kasih,
Biar kebersamaan kita dengan demikian
Abadi.
Seporsi Cinta
Seporsi cinta
Tak habis dimakan
Berdua, sayang
Seporsi cinta
Bila tak habis dimakan
Dibuang sayang.
Di sisi lain, Mustofa Bisri lebih banyak menulis puisi sosial tinimbang puisi sunyi. Dia mengangkat tema relatif luas tentang masalah sosial, dengan nada menyindir atau protes, dengan nada melucu atau ironis. Hal ini sekali lagi dapat dijelaskan dengan posisinya sebagai ulama: al-Quran lebih banyak berbicara tentang muamalah tinimbang ‘ibadah mahdhah, lebih banyak berbicara tentang hu¬bung¬an sosial-horisontal tinimbang hubungan vertikal. Dan lagi, hubungan vertikal haruslah terefleksi dalam hubungan sosial-horisontal. Puisi “Sujud” dan “Selamat Idul Fitri” dengan baik menggambarkan kemungkinan tersebut.
Kita baca kritik keras penyair di bait pertama puisi “Sujud”:
bagaimana kau hendak bersujud
pasrah
sedang wajahmu yang bersih
sumringah
keningmu yang mulia
dan indah
begitu pongah
minta sajadah
agar tak menyentuh
tanah.
Puisi “Sujud” akhirnya menggambarkan sisi lain kehidupan seorang ulama: kesadaran tasawufnya. Dari awal puisi itu menghancurkan kau-lirik sehancur-hancurnya, bahkan hampir meniadakannya, guna mengembalikan kau-lirik sendiri pada posisinya sebagai manusia lemah di hadapan kemahabesaran Tuhan. Di situ, kecongkakan kau-lirik dicampakkan; dan kepasrahan total diagungkan. Dan dengan cara itu kau-lirik menjelma jadi kekasih yang akan terbang, kembali ke keagungan dunia asalnya:
Singkirkan saja sajadah mahalmu
Ratakan keningmu
Ratakan heningmu
Tanahkan wajahmu
Pasrahkan jiwamu
Biarlah rahmat agung
Allah membelaimu
dan terbanglah, kekasih.
Itulah puisi seorang ulama. Tetapi, sebagaimana dikatakan di atas, puisi Mustofa Bisri bagaimanapun adalah juga karya seorang penyair. Kalau keulamaan menyediakan “isi” pada puisi-puisinya (sebagai telah ditunjukkan), kepenyairan mengolah dan mengelaborasi “isi” tersebut lebih jauh, dengan memberinya “bentuk” —yaitu bahasa puisi— gu¬na memperkuat “isi”, sehingga “isi” lebih impresif, lebih tajam, dan membuatnya mengandung makna lebih luas dan dalam.
Puisi “Selamat Idul Fitri” dapat menjelaskan hal tersebut dengan baik. Kita baca dulu puisi tersebut selengkapnya:
Selamat Idul Fitri
Selamat idul fitri, bumi
Maafkan kami
Selama ini
Tidak semesa-mena
Kami memperkosamu
Selamat idul fitri, langit
Maafkanlah kmai
Selama ini
Tidak henti-hentinya
Kami mengelabukanmu
Selamat idul fitri, mentari
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak bosan-bosan
Kami mengaburkanmu
Selamat idul fitri, laut
Maafkanlah kami
Selama ini
Kami mengeruhkanmu
Selamat idul fitri, burung-burung
Maafkanlah kami
Selama ini
Memberangusmu
Selamat idul fitri, tetumbuhan
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak puas-puas
Kami menebasmu
Selamat idul fitri, para pemimpin
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak habis-habis
Kami membiarkanmu
Selamat idul fitri, rakyat
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak sudah-sudah
Kam mempergunakanmu.
Dalam puisi “Selamat Idul Fitri” di atas, kami-lirik (kami dalam puisi) adalah subjek yang seolah tetap namun ternyata berganti-ganti —kadangkala sebagai sekelompok manusia, kadangkala sebagai rakyat, kadangkala sebagai pemimpin. Tapi siapa pun kami-lirik itu, penyair memposisikannya sebagai subjek yang merasa bersalah. Kami-lirik tampil secara konstan sebagai subjek yang berbeda-beda dan berganti-ganti dan semuanya merasa bersalah.
Yang segera terasa adalah rasa bersalah yang sungguh-sungguh dan rasa bersalah yang seakan-akan. Sebagaimana kami-lirik yang seolah tetap namun berganti-ganti, rasa bersalah kami-lirik pun seolah tetap namun ternyata berubah-ubah, dari rasa bersalah yang tulus ke rasa bersalah sebagai ironi. Pada taraf ini, puisi “Selamat Idul Fitri” adalah sebuah ironi. Ia tidak saja menyatakan rasa bersalah dan mohon maaf, melainkan juga mengungkapkan sinisme sebagai bentuk kritik sosial. Ironi semacam ini memberikan efek lebih tajam pada kritik sosial yang dikandungnya.
Dalam pada itu, repetisi dalam puisi di atas, yang digunakan penyair dari awal hingga akhir puisi, memberikan efek tersendiri pula. Yaitu memperdalam rasa bersalah kami-lirik, sekaligus memperkuat ironi sosial yang dikedepankannya.
Yang juga penting diperhatikan dari puisi “Selamat Idul Fitri” sebagai hasil kerja seorang penyair adalah lawan bicara, atau kepada siapa ucapan selamat idul fitri dialamatkan. Dari puisi tersebut lawan bicara jelas adalah bumi, langit, mentari, laut, burung-burung, tetumbuhan …. Semua lawan bicara tersebut pertama-tama tentulah mengacu pada pengertian harfiahnya. Namun dalam puisi, semua lawan bicara tadi dapat juga dibaca sebagai metafor. Dengan cara itu, ia tidak hanya mengacu pada pengertian leksikalnya, melainkan juga pada pengertian konotatifnya, pada makna kontekstualnya. Pada tataran ini, sebagai hasil kerja kepenyairan puisi “Selamat Idul Fitri” membuka berbagai kemungkinan makna. Dalam arti kata lain, di sini makna memiliki kemungkinan untuk memperluas cakupan yang dikandungnya.
Demikianlah, kerja keulamaan memberikan dasar pada isi puisi; kerja kepenyairan memberikan bentuk dengan mengelaborasi isi itu sendiri dalam bahasa. Maka puisi-puisi Musofa Bisri adalah refleksi dari kesadaran sosio-relijiusnya dalam bahasa yang penuh tenaga: keras, ironis, dalam, kocak, jenaka. Mustofa Bisri adalah sosok manusia dengan kedalaman visi seorang ulama dan ketajaman intuisi seorang penyair.
Jamal D Rahman
www.jamaldrahman.wordpress.com
Jalaluddin Rumi: Puncak Gunung Paling Tinggi Puisi Sufi
Dia penyair sufi terbesar Persia. Dia salah seorang penyair terkemuka dunia. Dikenal dan berpengaruh di Barat dan Timur hingga kini, namanya terpahat kuat di hati dunia yang mencintai dunia tasawuf, spiritualitas, ketuhanan, cinta, dan puisi. Dia menarik perhatian dunia terutama karena wawasan tasawufnya yang begitu dalam, universal, dan tetap relevan, sebagaimana tercermin dalam perjalanan hidup dan karya-karyanya. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Barat dan Timur, termasuk Indonesia. Dia mengilhami kebudayaan dunia. Dia duta cinta sepanjang masa.
Jalaluddin Rumi adalah sosok pencari jalan spiritual yang tak pernah berhenti. Nama Rumi dinisbahkan kepada sufi agung ini karena dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Anatolia, Turki, yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Romawi Timur. Di sinilah dia mengukuhkan dirinya sebagai guru spiritual yang sangat berpengaruh. Dia dipanggil Maulana Jalaluddin Rumi, Yang Mulia atau Tuan Guru Jalaluddin Rumi. Di sini pula dia meletakkan dasar-dasar baru jalan spiritual, yaitu melalui tari dan musik, yang kemudian dikenal dengan jalan Maulawiyah –jalan sang Maulana Rumi.
Lahir di Balkh, Khurasan, Afghanistan sekarang, 30 September 1207 (6 Rabi’ul Awwal 604 H), Jalaluddin Rumi tumbuh dari keluarga terpandang. Ayahnya, Muhammad ibnu Hussain al-Khatibi alias Bahauddin Walad, adalah seorang ulama terkemuka di Balkh, sedangkan ibunya, Mu’min Khatun, berasal dari keluarga Dinasti Khawarizmi, dinasti yang berkuasa dengan ibukota Bukhara saat itu. Adapun Balkh, adalah salah satu kota penting, pusat intelektual dan kebudayaan Persia pada Dinasti Khawarizmi.
Keluarga Rumi adalah pengembara. Ketika Rumi baru 7 tahun, keluarganya hijrah ke Khurasan, dan tak lama kemudian hijrah ke Nisyapur. Ketika Rumi 12 tahun, mereka hijrah ke Baghdad. Setelah beberapa lama tinggal di kota Seribu Satu Malam itu, mereka hijrah lagi ke Makkah, kemudian Damaskus, sebelum akhirnya menetap di Konya, Turki sekarang, yang ketika itu merupakan ibukota Kesultanan Saljuk.
Menjelang keluarga Rumi hijrah ke Baghdad, Balkh dan kota-kota Persia lainnya bukanlah kota yang tenang. Di seberang Dinasti Khawarizmi, Dinasti Mongol sedang giat-giatnya melancarkan serangan ke mana-mana secara membabibuta guna meluaskan wilayah kekuasaanya. Setelah sebelumnya menaklukkan Cina, kini Dinasti Mongol yang begitu perkasa mengincar Dinasti Khawarizmi. Tersiar luas kabar bahwa Persia akan segera dicaplok dengan cara bengis sebagaimana dilakukan pasukan Mongol terhadap Cina dan daerah-daerah lain. Dan benar. Tak lama kemudian pasukan Mongol menyerang dan membumihanguskan Balkh. Juga kota-kota Persia terkenal lainnya, seperti Bukhara dan Samarkand.
Tetapi Rumi dilahirkan memang tidak untuk merebut kembali kota kelahirannya dan membangunnya kembali dari kehancuran. Dia meninggalkan kota kelahirannya dengan membawa biru apinya yang terus menyala-nyala dalam hatinya. Biru api khazanah kebudayaan Persia yang kelak akan menyalakan dunia batinnya ketika disulut api Cinta Ilahi, hingga demikian bercahaya di tempat lain, Konya, tempat yang jauh dari Balkh, Samarkand, Bukhara, bahkan dari Persia itu sendiri. Dalam sebuah puisinya, Rumi berdendang dengan haru-biru:
Mari ke rumahku, Kekasih –sebentar saja!
Gelorakan jiwa kita, Kekasih –sebentar saja!
Dari Konya pancarkan cahaya Cinta
Ke Samarkand dan Bukhara –sebentar saja!
Puisi ini pastilah merefleksikan kecintaan sekaligus kerinduan Rumi akan kampung halamannya, yang telah lama ditinggalkan. Ia tahu kampung halamannya sudah luluh-lantak dan jadi bumi-hangus di tangan-bengis gerombolan orang-orang Mongol. Dan sejarah tak mungkin lagi ditarik mundur. Maka dia memanggil orang-orang berkumpul di rumahnya, baik dalam pengertian harfiah maupun metaforis, dan dari sana bersama-sama memancarkan cahaya cinta ke kampung halaman yang telah luluh-lantak itu, sebentar saja. Tapi dalam konteks puisi-puisi Rumi, yang dia ajak untuk bersama-sama memancarkan cinta ke Samarkand dan Bukhara adalah Tuhan. Dengan demikian, puisi tersebut merupakan ungkapan cinta dan rindu yang sangat dalam terhadap kampung halamannya nun jauh di masa silam yang hancur.
Sebagai pengembara, Rumi mereguk berbagai disiplin ilmu dari beberapa guru terkemuka di kota-kota tempatnya pernah tinggal. Tinggal beberapa lama di kawan Arab, terutama Makkah dan Damaskus, dia belajar sastra Arab hingga mahir menulis puisi dalam bahasa itu. Sudah tentu dia juga belajar ilmu-ilmu Islam. Apalagi ayahnya sendiri, Bahauddin Walad, adalah juga seorang ulama terpandang. Tak pelak lagi, ketika tiba di Konya, Sultan Konya yang cinta ilmu dan seni menyambut kedatangan keluarga Rumi dengan baik. Bahauddin Walad dipercaya sebagai ahli fiqih, mubalig, dan mengajar di madrasah kesultanan, hingga dia wafat di tahun 1230.
Jalaluddin Rumi segera menggantikan posisi ayahnya. Ketika itu, dia telah menikah dan dikaruniai 2 anak. Anak pertamanya diberi nama Sultan Walad, yang kelak juga menjadi seorang sufi dan memperkenalkan beberapa segi kehidupan Jalaluddin Rumi yang unik. Anak keduanya bernama Alauddin, yang merupakan nama saudara laki-laki Jalaluddin Rumi yang meninggal di Konya. Hingga saat itu, tampaknya Rumi tidak begitu berminat pada segi-segi sufistik dari kehidupan dan pemikiran ayahnya.
Setahun setelah Bahauddin Walad wafat, Burhanuddin Muhaqqiq Al-Tirmidzi tiba di Konya. Burhanuddin adalah murid Bahauddin Walad di Balkh. Tahu gurunya sudah meninggal, kepada Jalaluddin Rumi yang adalah anak sang guru, Burhanuddin mengajarkan ajaran-ajaran sufistik sang guru dan beberapa sufi lain. Burhanuddin juga membimbing Rumi melakukan latihan-latihan spiritual sebagaimana dipraktekkan oleh para sufi –mereka yang mengabdikan diri bagi kehendak untuk menyatu dengan Tuhan.
Sekitar 10 tahun di bawah bimbingan Burhanuddin, minat Rumi pada tasawuf dan cinta Ilahi sedemikian bergairah. Dia mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengalami setiap maqam (tingkatan spiritual) kehidupan tasawuf. Maka, setelah Burhanuddin wafat di tahun 1240, Jalaluddin Rumi memangku jabatan sebagai guru spiritual (syaikh) persaudaraan sufi. Mulailah dia membangun persaudaraan spiritual dimana para pengikutnya terus bertambah dan lingkup pengaruh penyair sufi ini semakin luas. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian dikenal dengan Tarekat Maulawiyah.
Pesona Rumi memancar pula dari ritual meditasi persaudaraan kerohanian ini. Musik dan tarian berputar merupakan ritual mereka yang sangat khas, dan tetap hidup hingga sekarang di beberapa daerah di Timur Tengah, negara-negara Balkan, bahkan Eropa. Di samping itu, bentuk ritual Maulawiyah telah pula mengilhami beberapa aktivitas seni-budaya di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hingga hari ini.
Sudah 800 tahun kini (2007) riwayat Jalaluddin Rumi membentang dari Persia, Arabia, Turki, hingga Eropa dan benua-benua lain. Para pengikutnya mengamalkan ajaran-ajarannya; para sarjana meneliti pandangan dan karya-karyanya; para seniman menimba inspirasi dari kedalaman rohani dan keluasan wawasannya; dan dunia modern memetik hikmah dari kearifannya.
Rumi wafat di Konya pada 16 Desember 1273 (5 Jumatil Akhir 672 H). Kepergiannya ditangisi oleh banyak pengikut dan pengagumnya yang berlatar belakang agama berbeda-beda. Bukan saja karena dia sufi besar dan, seperti dikatakan A.J. Arberry, “puncak gunung yang paling tinggi dalam bentangan luas perpuisian sufi”, melainkan juga karena “dia benar-benar mampu membuktikan diri sebagai sumber inspirasi dan kebahagiaan yang tidak terlampaui oleh banyak penyair lainnya dalam kesusastraan dunia.”
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw, Jalaluddin Rumi adalah pecinta kucing. Dia pun memelihara seekor kucing yang cantik. Ketika Rumi wafat, kucing kesayangannya mengeong sedih menatap sang tuan tergolek di ranjang kematian. Tapi bagi Rumi, suara meongnya pastilah bukan tangis kehilangan karena kepergian tuannya. Tangis kucing itu adalah raung pedih kerinduan seekor kucing akan dunia asalnya.
Kucing itu tidak mau makan sejak sang tuan mangkat, seakan tidak rela tak diajak sang tuan pergi ke dunia asal. Dan ia pun turut mati seminggu kemudian. Malika Khatun, anak-perempuan Rumi dari Kira Khatun, istri kedua yang dinikahi Rumi setelah istri pertamanya meninggal, menguburkannya di sisi kuburan sang ayah, sebagai lambang kedekatan sang penyair dengan binatang dan semua makhluk, sebab dia adalah sahabat Sang Pencipta.
Gerbang Taman Rohani
Puisi-puisi Jalaluddin Rumi tidak lahir dari proses intuisi kepenyairan biasa. Bagaimanapun, pertama-tama dia adalah seorang sufi, seorang yang diharu-biru oleh kehendak untuk bersatu dengan Tuhan. Maka dorongan menulis puisi bukan pertama-tama karena bakat kepenyairannya, melainkan karena dorongan dahsyat pengalaman rohaninya yang meluap-luap dan tak terbendung untuk menyatakan diri. Rumi adalah gunung berapi, dimana magma spiritualnya sedemikian aktif dan bergolak terus-menerus hingga memuntahkan lahar puisi yang bisa menyuburkan tanah-tanah spiritual yang disentuhnya.
Pengalaman rohani pastilah merupakan sesuatu yang tak terbatas, tak terumuskan, tak terlukiskan. Kini ia harus mengekspresikan diri lewat bahasa puisi, medium yang amat terbatas itu. Dalam konteks ini Jalaluddin Rumi adalah sebuah paradoks: ketakberhinggaan pengalaman rohaninya dilukiskan dalam keberhinggaan bahasa puisinya. Namun puisi-puisinya yang berhingga justru memperlihatkan ketakberhinggaan pengalaman rohaninya.
Inilah yang terjadi: puisi Rumi adalah puisi ekstatis saat sang sufi berada di dunia spiritual yang sedemikian mengharu-biru, yang sekali keluar dari mulut sang sufi akan mengalir deras seakan tak bisa dihentikan. Puisi-puisi itu dirangsang oleh musik dan tarian-berputar yang menghanyutkan batin sang sufi, dan menariknya ke pusat Cinta Ilahi yang menyediakan seluruh tenaga dan keindahan rohaninya. Puisi-puisi itu direkam murid-muridnya dengan baik.
Musik, tarian-berputar, dan puisi. Itulah medium melalui mana Rumi merangsang dan mengekspresikan pengalaman rohaninya.
Sebenarnya, bagi Rumi sendiri, puisi dan penyair sedikit-banyak merupakan sesuatu yang ganjil. Sebab, Al-Quran dalam beberapa ayatnya secara eksplisit memperlihatkan ketidaksukaannya pada profesi penyair dan puisi. Tapi Rumi pasti tahu, ketidaksukaan Al-Quran kepada puisi dan penyair berakar pada fakta bahwa dalam masyarakat Arab pra-Islam puisi selalu dihubungkan dengan ilmu sihir dan perbuatan amoral yang tidak dikehendaki oleh Islam, seperti minum minuman memabukkan dan percintaan birahi yang bebas. Maka itu, Rumi tahu bagaimana bisa menyelamatkan diri dari kecaman Al-Quran terhadap puisi-puisinya yang melimpah dan dirinya sendiri sebagai penyair sufi.
Apa yang mengaktifkan magma spiritual Rumi hingga sedemikian menggelegak, hingga pula dari sana lahir sekitar 40.000 puisi liris dan lebih dari 20.000 puisi didaktis?
Pertemuan Rumi dengan pada sufi, baik langsung maupun tidak, pastilah memberikan pengaruh besar pada kehidupan rohaninya. Terutama ayahnya sendiri, Bahauddin Walad, dan Burhanuddin Muhaqqiq Al-Tirmidzi, murid ayahnya yang kemudian menjadi pembimbing intelektual dan spiritualnya selama sekitar 10 tahun. Mereka menyiapkan sekaligus memuluskan jalan bagi perkembangan rohani Rumi selanjutnya.
Momen yang paling menentukan bagi perkembangan rohani Rumi selanjutnya adalah ketika di tahun 1244 seorang sufi pengembara tiba di Konya. Namanya Syamsuddin at-Tabrizi, yang berarti Matahari Agama dari Tabriz. Dalam diri sufi inilah Rumi menemukan bayangan sempurna Kekasih Tuhan yang telah lama dicarinya. Bagi Rumi, dia adalah matahari yang membakar jiwanya, menyalakan hatinya, menariknya ke dalam pusat kesempurnaan Cinta Ilahi, dan mengubah hidupnya. Dia adalah pribadi penuh pesona rohani, kepada siapa Rumi mengidentifikasikan diri berulangkali.
Mereka tinggal bersama selama satu atau dua tahun, bersama-sama mengarungi samudera rohani dan melaju kencang di lautan Cinta Ilahi. Rumi berdendang: … jiwaku menaiki kereta Syamsi Tabriz yang lari kencang bagaikan perahu melaju di lautan yang tenang. Sejak itu, Rumi tak bisa dipisahkan dari mataharinya. Dia tenggelam dalam pesona rohaninya yang begitu bercahaya: … Tabriz! Jika Syamsuddin muncul dari zodiakmu, mendung pun akan menyerupai bulan, dan bulan akan lebih bersinar-sinar. Sedemikian terpesona Rumi pada mataharinya, hingga dia menghentikan kegiatan mengajar dan diskusi bersama murid-muridnya. Dia benar-benar menaiki kereta Syamsi Tabris —sebagaimana dikatakannya sendiri— nyaris secara harfiah.
Tentu saja murid-muridnya kehilangan kesempatan belajar dan berdialog dengan Rumi, sebagaimana berlangsung selama beberapa tahun sebelum kedatangan tamu asing tak diundang itu. Mereka pun cemburu, dan beredar suara-suara miring tentang sang sufi. Tahu bahwa mereka cemburu, mungkin juga tidak tahan mendengar suara-suara miring tentang dirinya, pada tahun 1247 Syamsi Tabris menghilang dari Konya, Turki sekarang, kota dimana Rumi tinggal.
Ketika kemudian terdengar kabar Syamsi berada di Damaskus, Rumi segera mengutus anaknya, Sultan Walad, menjemput sufi itu dan membawanya kembali ke Konya. Tak terlukis kebahagiaan Rumi ketika dia lihat Syamsi benar-benar kembali. Dia tak ingin lagi berpisah dengan mataharinya. Maka Rumi mengawinkan gurunya itu dengan seorang gadis yang dibesarkan dalam keluarganya. Tapi api kecemburuan keluarga dan murid-murid Rumi belum padam benar. Desas-desus negatif tentang Syamsi kini terdengar lebih santer lagi. Dan, kali ini dia benar-benar hilang. Tak pernah kembali lagi.
Rumi menangis. Bagi dia, apalah arti hidup tanpa sang matahari. Siapa lagikah yang mampu menyalakan rohani dan membakar Cintanya? Diwan-i Syams-i Tabriz (Lirik-lirik Syamsi Tabriz) adalah puisi Rumi yang merupakan persembahan rohani bagi sahabat sekaligus guru spiritualnya yang telah pergi tanpa jejak itu. Nada kesedihan dalam puisi-puisi Rumi berjalin-berkelindan dengan nada riang. Sebab, sebagaimana kehilangan mengandaikan sebuah pertemuan, kesementaraan mengandaikan keabadian. Begitulah maka perasaan berpisah dengan sang matahari secara rohani tak lain merupakan pertemuan-tak-terpisahkan; kebersamaan yang singkat adalah kebersamaan abadi.
Apalagi, Rumi sebenarnya kini sudah benar-benar matang secara rohani. Rasa sesal dan kerinduannya pada sang matahari tersublimasi sedemikian rupa, menjadi jalan bagi dunia batin Rumi sendiri dalam proses penghayatan tentang, dan penyatuan esensial dengan Tuhan. Puisi dan risalah Rumi segera memancarkan cahaya rohani, wawasan tasawuf, dan renungan sufistiknya yang amat dalam dan luas. Syamsi Tabriz tak lain hanyalah kunci pintu gerbang kerohanian Rumi sendiri yang sesungguhnya sudah siap dibuka.
Setelah pintu gerbang itu terbuka, kunci boleh hilang. Pastilah ada rasa sesal dengan kunci yang hilang, tapi bagaimanapun Rumi bisa berjalan-jalan sendiri tanpa tersesat mengitari taman rohaninya yang luas, lapang, dan rimbun. Di taman itu, Rumi mendendangkan puisinya (puisi-puisi Rumi dalam tulisan ini diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M.):
Ada taman indah, penuh pepohonan lebat
Anggur dan rerumputan menghijau
Seorang sufi duduk sambil memejamkan mata
Kepalanya tunduk, karam dalam tafakur.
Seseorang bertanya, “Hai, mengapa tidak kau lihat
Tanda-tanda Yang Maha Pengasih di sekelilihgmu
Yang dititahkan oleh-Nya untuk direnungkan?”
Sufi itu menjawab, “Tanda-tanda-Nya terbentang
Pula dalam diriku, yang ada di luar
Hanyalah lambang dari Tanda-tanda.”
…
Kehidupan rohani Rumi yang dipupuk terus-menerus telah melahirkan puisi sufistik yang luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun mutu. Tapi perlu diingat bahwa sebelumnya Rumi bagaimanapun telah mempelajari dengan baik sastra tradisional Persia dan Arab. Wawasan dan kemampuan teknis sastra tampaknya telah mendarah-daging dalam tubuh Rumi. Yang diperlukan selanjutnya adalah persyaratan paling penting seorang penyair: kedalamanan penghayatan dan renungan tentang makna hidup dan kearifan-kearifan universal. Dan Rumi telah mencapainya dengan gemilang.
Cinta Sejati Jalauddin Rumi
Membaca puisi-puisi Jalaluddin Rumi adalah membaca Cinta —Cinta dengan C besar. Penyair sufi asal Persia yang kemudian menetap di Turki hingga akhir hayatnya ini tampak begitu menghayati arti Cinta, menemukan maknanya yang begitu dalam, sekaligus meyakininya sebagai dasar utama kehidupan. Baginya, tak ada kehidupan tanpa Cinta. Karena itu, dia mengembangkan arti Cinta dan mengarahkannya sebagai prinsip metafisis sekaligus sebagai dasar konkret kehidupan-sementara menuju kehidupan-abadi.
Sebagai sufi, sudah tentu Rumi menulis banyak tema dalam puisi dan risalah tasawufnya, yaitu tema-tema utama —termasuk spekulasi filosofis— dalam dunia tasawuf dan filsafat. Misalnya, dia berbicara tentang esensi wujud tunggal yang menyatakan diri dalam wujud jamak, transendensi dan imanensi Tuhan, manifestasi-abadi Tuhan melalui penciptaan, dan lain-lain. Tetapi semua itu lebih merupakan keterlibatan Rumi secara intelektual dalam polemik yang mengasyikkan di kalangan ilmuwan Muslim hingga abad ke-13. Pada akhirnya, Rumi memiliki sistem berpikirnya sendiri yang dibangun melalui pengalaman spiritual dan intelektualnya.
Sudah tentu juga gagasan utama Rumi adalah hasrat spiritual untuk bersatu dengan Tuhan, dilandasi asumsi-asumsi metafisis dan spekulatif sebagaimana berkembang dalam tasawuf dan filsafat, dan diperkuat oleh imajinasi kreatifnya sendiri. Pandangan Rumi tentang Cinta untuk sebagian menjelaskan hasrat tersebut.
Dalam menjelaskan pandangannya tentang Cinta, Rumi menggunakan banyak sekali metafor. Yang sangat terkenal di antaranya adalah seruling. Menurutnya, suara seruling adalah lagu pedih keterpisahan seruling itu sendiri dari tempat asalnya, yaitu rumpun bambu yang rimbun. Di samping itu, suara seruling adalah nyanyi rindu dendam sang seruling untuk bersatu kembali dengan rumpun bambu tempatnya berasal. Begitulah Rumi melukiskan derita dan rindu dendam roh manusia pada Penciptanya.
Dalam puisinya yang lain tentang seruling, Rumi melukiskan lebih jauh hubungan manusia dan Tuhan. Katanya, kami adalah suling dan musik dalam diri kami berasal darimu; kami seumpama gunung, dan gaung dalam diri kami berasal darimu. Jadi, di sini bukan saja seruling yang berasal dari Tuhan. Musik yang dialunkan seruling itu sendiri juga berasal dari Tuhan. Sejalan dengan itu, gunung dan gaung di dalamnya adalah juga berasal dari Tuhan. Itu berarti, apa pun alunan musik seruling, lagu pedih ataukah lagu riang, berasal dari Tuhan juga. Apa pun gaung dalam gunung, apakah pertanda rahmat atau laknat, tak lain berasal dari Tuhan jua.
Seruling dan musik merupakan unsur sangat penting dalam kehidupan Rumi. Keduanya bukan saja metafor dalam puisi, melainkan juga medium pengembaraan rohani. Rumi tidak saja memandang musik sebagai sesuatu yang bersifat temporal dan profan. Lebih jauh, mendengarkan musik temporal dia membayangkan suara alam semesta dan terutama musik yang mengalun abadi di sorga. Itulah sebabnya, musik dapat menghubungkan roh manusia dengan alam ketuhanan. Musik dapat melambungkan jiwa manusia mencapai tingkat kesucian dan ketinggian yang kekal. Musik dapat membakar hati manusia dan membangkitkan Cinta yang menggelora untuk mencapai sorga.
Tapi alam semesta tak cuma mengalunkan musik. Alam semesta adalah juga komposisi gerak yang sangat kompleks sebagai tarian sakral yang menakjubkan. Tarian itu berupa putaran-putaran ritmis dengan titik sumbu yang tertata rapi secara ajaib. Tidaklah mengherankan kalau Rumi juga menjadikan tarian-berputar sebagai medium pengembaraan rohani.
Rumi menulis dengan indah:
Baling-baling langit, dengan segenap keindahan dan keajaibannya, berputar mengitari Tuhan seperti jentera.
Rohku demikian pula, tawaf di Ka’bah; begitulah pengemis ini mengitari pemberian dan karunia.
Perjalanan bola mengelilingi lapangan permainan-Nya; itulah yang membuatmu bahagia dan tidak berdaya.
….
Demikianlah hubungan manusia dan Tuhan. Musik mengekspresikan hubungan penciptaan melalui mana jiwa manusia dibakar api rindu dan Cinta terhadap sumbernya, sekaligus menghubungkan dunia manusia yang terbelenggu dengan dunia sorga yang suci lagi merdeka. Sementara itu, tarian-berputar mengekspresikan kenikmatan, ketakberdayaan, dan kepasrahan pada Tuhan sebagai pusat perputaran baling-baling langit jiwa manusia bersama alam semesta.
Dalam pola hubungan itu, di manakah Cinta? Bagi Rumi, Cinta adalah dasar yang memungkinkan hubungan-hubungan tersebut berlangsung. Tanpa Cinta, pola hubungan menakjubkan dan indah namun menyakitkan itu adalah mustahil. Manusia akan merindukan Tuhan dan menari mengitari-Nya manakala api Cinta menggelora di dalam jiwanya. Tetapi api Cinta tak akan menggelora dalam jiwa manusia tanpa Tuhan memberikan percikan api Cinta-Nya kepada manusia itu sendiri. Begitulah maka, kata Rumi, “Bila cinta Tuhan menyala dalam hatimu, tentu Tuhan telah mencintaimu.” Dalam sebuah tamsil, Rumi mengibaratkan hubungan percintaan ini sebagai tepukan, dimana tepukan tak akan terjadi hanya dengan sebelah tangan. Dengan demikian, pola hubungan itu adalah hubungan timbal-balik antara pencinta dan yang-dicintai.
Dari sini Rumi menurunkan pola berpasangan sebagai derivasi primordial dari hubungan timbal-balik antara pencinta dan yang-dicintai. Rumi menyebut pola berpasangan itu sebagai hikmah Tuhan. Langit dan bumi adalah pasangan laki-perempuan yang dikemukakan Rumi:
…
Di mata orang arif, Langit adalah lelaki dan Bumi adalah perempuan
Bumi menerima saja apa yang diturunkan Langit ke haribaan dan rahimnya
Jika bumi kurang panas, Langit mengirimkan panas
Jika bumi kurang segar, Langit menyegarkan bumi yang lembab
Langit berputar menurut sumbunya, bagaikan suami mencari nafkah bagi istrinya
Dan Bumi sibuk mengurus rumah: ia menunggui dan menyusui bayi yang dilahirkan
…
Tanpa Bumi apakah Langit bisa menghasilkan air dan panas?
….
Dan, dengan Tuhan memberikan nafsu birahi pada laki dan perempuan, mereka akan saling mencinta dan menyatu. Dengan cara itu, kata Rumi, dunia terselamatkan.
Rumi menyadari adanya paradoks atau kontradiksi dalam Cinta, yaitu keindahan dan kesengsaran, kemesraan dan kepedihan. Seperti suara seruling yang memperdengarkan suara pedih di balik kemerduannya. Atau sebaliknya, menyuarakan nyanyian merdu namun dengan nada perih. Seorang pencinta harus siap menerima keduanya. Bagi Rumi, kesengsaraan dan kepedihan adalah proses dialekstis untuk mencapai kebahagiaan. Maka bagi pencinta sejati, kesengsaraan, kepedihan, dan rindu-dendam justru merupakan kenikmatan. Kesengsaraan bukanlah penghinaan.
Rumi mencontohkan buncis yang direbus. Ketika air mendidih, buncis melompat-lompat ke permukaan air, merintih kesakitan. Kepada juru rebus dia bertanya, “Kenapa kau menyiksaku seperti ini?”
“Aku tidak menyiksamu. Aku merebusmu sebab aku mencintaimu. Dengan cara ini engkau akan terasa lezat dan bergizi.”
Rumi sendiri merasa dikuasai oleh Cinta yang amat dahsyat. Cinta sedemikian rupa bagai magnet yang menarik jiwanya bukan saja untuk mendekat, melainkan untuk menyatu sepadu-padunya. Dalam pada itu, api Cinta berkobar-kobar dalam hatinya siang-malam, membakar jiwanya dengan api rindu yang tak tertahankan. Dan dia percaya kematian adalah jalan menuju Cinta hakini dan abadi: … jika kaulihat iring-iringan pembawa jenazahku lewat, jangan berkata, “Dia telah pergi! Dia telah pergi selamanya!” Saat itu bagiku adalah saat bersatu dan berhadapan muka/ Ketika jenazahku kaubaringkan dalam kubur, jangan berkata, “Selamat jalan! Selamat jalan!” Kuburan hanyalah tirai pembatas sebelum bersatu lagi dengan sorga….
Tetapi, sejauh itu Rumi sesungguhnya tidak yakin dengan pandangannya sendiri tentang Cinta. Dia meragukan kemampuan akal dan pikiran dalam memahami Cinta, bahkan meragukan pula pemahamannya melalui imajinasi kreatifnya yang amat kaya. Yang dia yakini hanya bahwa Cinta pada akhirnya akan membimbing kita ke hadirat-Nya. Menurut Rumi, Cinta sendirilah yang dapat menerangkan apa itu cinta./ Bukankah seperti matahari, hanya matahari itu sendiri/ dapat menjelaskan apa itu matahari. Dengan kata lain, apa pun rumusan tentang Cinta-sejati bagaimanapun bersifat relatif belaka. Yang memahami dengan akurat Cinta hanyalah Cinta itu sendiri.
Di sini kita diingatkan pada salah satu nama Tuhan dalam Asmaul Husna, yaitu Al-Wadûd (Maha Pencinta). Sebagai Maha Pencinta, Tuhan pastilah memercikkan sebagian api cinta-Nya kepada manusia. Karena api Cinta yang tumbuh dalam jiwa manusia berasal dari Tuhan, maka ia senantiasa mengarahkan dirinya ke tempat asalnya. Dalam arti itu maka Tuhan sekaligus adalah Yang Dicintai. Pada puncaknya, Tuhan sesungguhnya tak lain tak bukan adalah Cinta Abadi, Cinta Sejati, yang senantiasa memancarkan diri-Nya kepada seluruh makhluk-Nya.
Jamal D. Rahman
www.jamaldrahman.wordpress.com
Jalaluddin Rumi adalah sosok pencari jalan spiritual yang tak pernah berhenti. Nama Rumi dinisbahkan kepada sufi agung ini karena dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Anatolia, Turki, yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Romawi Timur. Di sinilah dia mengukuhkan dirinya sebagai guru spiritual yang sangat berpengaruh. Dia dipanggil Maulana Jalaluddin Rumi, Yang Mulia atau Tuan Guru Jalaluddin Rumi. Di sini pula dia meletakkan dasar-dasar baru jalan spiritual, yaitu melalui tari dan musik, yang kemudian dikenal dengan jalan Maulawiyah –jalan sang Maulana Rumi.
Lahir di Balkh, Khurasan, Afghanistan sekarang, 30 September 1207 (6 Rabi’ul Awwal 604 H), Jalaluddin Rumi tumbuh dari keluarga terpandang. Ayahnya, Muhammad ibnu Hussain al-Khatibi alias Bahauddin Walad, adalah seorang ulama terkemuka di Balkh, sedangkan ibunya, Mu’min Khatun, berasal dari keluarga Dinasti Khawarizmi, dinasti yang berkuasa dengan ibukota Bukhara saat itu. Adapun Balkh, adalah salah satu kota penting, pusat intelektual dan kebudayaan Persia pada Dinasti Khawarizmi.
Keluarga Rumi adalah pengembara. Ketika Rumi baru 7 tahun, keluarganya hijrah ke Khurasan, dan tak lama kemudian hijrah ke Nisyapur. Ketika Rumi 12 tahun, mereka hijrah ke Baghdad. Setelah beberapa lama tinggal di kota Seribu Satu Malam itu, mereka hijrah lagi ke Makkah, kemudian Damaskus, sebelum akhirnya menetap di Konya, Turki sekarang, yang ketika itu merupakan ibukota Kesultanan Saljuk.
Menjelang keluarga Rumi hijrah ke Baghdad, Balkh dan kota-kota Persia lainnya bukanlah kota yang tenang. Di seberang Dinasti Khawarizmi, Dinasti Mongol sedang giat-giatnya melancarkan serangan ke mana-mana secara membabibuta guna meluaskan wilayah kekuasaanya. Setelah sebelumnya menaklukkan Cina, kini Dinasti Mongol yang begitu perkasa mengincar Dinasti Khawarizmi. Tersiar luas kabar bahwa Persia akan segera dicaplok dengan cara bengis sebagaimana dilakukan pasukan Mongol terhadap Cina dan daerah-daerah lain. Dan benar. Tak lama kemudian pasukan Mongol menyerang dan membumihanguskan Balkh. Juga kota-kota Persia terkenal lainnya, seperti Bukhara dan Samarkand.
Tetapi Rumi dilahirkan memang tidak untuk merebut kembali kota kelahirannya dan membangunnya kembali dari kehancuran. Dia meninggalkan kota kelahirannya dengan membawa biru apinya yang terus menyala-nyala dalam hatinya. Biru api khazanah kebudayaan Persia yang kelak akan menyalakan dunia batinnya ketika disulut api Cinta Ilahi, hingga demikian bercahaya di tempat lain, Konya, tempat yang jauh dari Balkh, Samarkand, Bukhara, bahkan dari Persia itu sendiri. Dalam sebuah puisinya, Rumi berdendang dengan haru-biru:
Mari ke rumahku, Kekasih –sebentar saja!
Gelorakan jiwa kita, Kekasih –sebentar saja!
Dari Konya pancarkan cahaya Cinta
Ke Samarkand dan Bukhara –sebentar saja!
Puisi ini pastilah merefleksikan kecintaan sekaligus kerinduan Rumi akan kampung halamannya, yang telah lama ditinggalkan. Ia tahu kampung halamannya sudah luluh-lantak dan jadi bumi-hangus di tangan-bengis gerombolan orang-orang Mongol. Dan sejarah tak mungkin lagi ditarik mundur. Maka dia memanggil orang-orang berkumpul di rumahnya, baik dalam pengertian harfiah maupun metaforis, dan dari sana bersama-sama memancarkan cahaya cinta ke kampung halaman yang telah luluh-lantak itu, sebentar saja. Tapi dalam konteks puisi-puisi Rumi, yang dia ajak untuk bersama-sama memancarkan cinta ke Samarkand dan Bukhara adalah Tuhan. Dengan demikian, puisi tersebut merupakan ungkapan cinta dan rindu yang sangat dalam terhadap kampung halamannya nun jauh di masa silam yang hancur.
Sebagai pengembara, Rumi mereguk berbagai disiplin ilmu dari beberapa guru terkemuka di kota-kota tempatnya pernah tinggal. Tinggal beberapa lama di kawan Arab, terutama Makkah dan Damaskus, dia belajar sastra Arab hingga mahir menulis puisi dalam bahasa itu. Sudah tentu dia juga belajar ilmu-ilmu Islam. Apalagi ayahnya sendiri, Bahauddin Walad, adalah juga seorang ulama terpandang. Tak pelak lagi, ketika tiba di Konya, Sultan Konya yang cinta ilmu dan seni menyambut kedatangan keluarga Rumi dengan baik. Bahauddin Walad dipercaya sebagai ahli fiqih, mubalig, dan mengajar di madrasah kesultanan, hingga dia wafat di tahun 1230.
Jalaluddin Rumi segera menggantikan posisi ayahnya. Ketika itu, dia telah menikah dan dikaruniai 2 anak. Anak pertamanya diberi nama Sultan Walad, yang kelak juga menjadi seorang sufi dan memperkenalkan beberapa segi kehidupan Jalaluddin Rumi yang unik. Anak keduanya bernama Alauddin, yang merupakan nama saudara laki-laki Jalaluddin Rumi yang meninggal di Konya. Hingga saat itu, tampaknya Rumi tidak begitu berminat pada segi-segi sufistik dari kehidupan dan pemikiran ayahnya.
Setahun setelah Bahauddin Walad wafat, Burhanuddin Muhaqqiq Al-Tirmidzi tiba di Konya. Burhanuddin adalah murid Bahauddin Walad di Balkh. Tahu gurunya sudah meninggal, kepada Jalaluddin Rumi yang adalah anak sang guru, Burhanuddin mengajarkan ajaran-ajaran sufistik sang guru dan beberapa sufi lain. Burhanuddin juga membimbing Rumi melakukan latihan-latihan spiritual sebagaimana dipraktekkan oleh para sufi –mereka yang mengabdikan diri bagi kehendak untuk menyatu dengan Tuhan.
Sekitar 10 tahun di bawah bimbingan Burhanuddin, minat Rumi pada tasawuf dan cinta Ilahi sedemikian bergairah. Dia mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengalami setiap maqam (tingkatan spiritual) kehidupan tasawuf. Maka, setelah Burhanuddin wafat di tahun 1240, Jalaluddin Rumi memangku jabatan sebagai guru spiritual (syaikh) persaudaraan sufi. Mulailah dia membangun persaudaraan spiritual dimana para pengikutnya terus bertambah dan lingkup pengaruh penyair sufi ini semakin luas. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian dikenal dengan Tarekat Maulawiyah.
Pesona Rumi memancar pula dari ritual meditasi persaudaraan kerohanian ini. Musik dan tarian berputar merupakan ritual mereka yang sangat khas, dan tetap hidup hingga sekarang di beberapa daerah di Timur Tengah, negara-negara Balkan, bahkan Eropa. Di samping itu, bentuk ritual Maulawiyah telah pula mengilhami beberapa aktivitas seni-budaya di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hingga hari ini.
Sudah 800 tahun kini (2007) riwayat Jalaluddin Rumi membentang dari Persia, Arabia, Turki, hingga Eropa dan benua-benua lain. Para pengikutnya mengamalkan ajaran-ajarannya; para sarjana meneliti pandangan dan karya-karyanya; para seniman menimba inspirasi dari kedalaman rohani dan keluasan wawasannya; dan dunia modern memetik hikmah dari kearifannya.
Rumi wafat di Konya pada 16 Desember 1273 (5 Jumatil Akhir 672 H). Kepergiannya ditangisi oleh banyak pengikut dan pengagumnya yang berlatar belakang agama berbeda-beda. Bukan saja karena dia sufi besar dan, seperti dikatakan A.J. Arberry, “puncak gunung yang paling tinggi dalam bentangan luas perpuisian sufi”, melainkan juga karena “dia benar-benar mampu membuktikan diri sebagai sumber inspirasi dan kebahagiaan yang tidak terlampaui oleh banyak penyair lainnya dalam kesusastraan dunia.”
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw, Jalaluddin Rumi adalah pecinta kucing. Dia pun memelihara seekor kucing yang cantik. Ketika Rumi wafat, kucing kesayangannya mengeong sedih menatap sang tuan tergolek di ranjang kematian. Tapi bagi Rumi, suara meongnya pastilah bukan tangis kehilangan karena kepergian tuannya. Tangis kucing itu adalah raung pedih kerinduan seekor kucing akan dunia asalnya.
Kucing itu tidak mau makan sejak sang tuan mangkat, seakan tidak rela tak diajak sang tuan pergi ke dunia asal. Dan ia pun turut mati seminggu kemudian. Malika Khatun, anak-perempuan Rumi dari Kira Khatun, istri kedua yang dinikahi Rumi setelah istri pertamanya meninggal, menguburkannya di sisi kuburan sang ayah, sebagai lambang kedekatan sang penyair dengan binatang dan semua makhluk, sebab dia adalah sahabat Sang Pencipta.
Gerbang Taman Rohani
Puisi-puisi Jalaluddin Rumi tidak lahir dari proses intuisi kepenyairan biasa. Bagaimanapun, pertama-tama dia adalah seorang sufi, seorang yang diharu-biru oleh kehendak untuk bersatu dengan Tuhan. Maka dorongan menulis puisi bukan pertama-tama karena bakat kepenyairannya, melainkan karena dorongan dahsyat pengalaman rohaninya yang meluap-luap dan tak terbendung untuk menyatakan diri. Rumi adalah gunung berapi, dimana magma spiritualnya sedemikian aktif dan bergolak terus-menerus hingga memuntahkan lahar puisi yang bisa menyuburkan tanah-tanah spiritual yang disentuhnya.
Pengalaman rohani pastilah merupakan sesuatu yang tak terbatas, tak terumuskan, tak terlukiskan. Kini ia harus mengekspresikan diri lewat bahasa puisi, medium yang amat terbatas itu. Dalam konteks ini Jalaluddin Rumi adalah sebuah paradoks: ketakberhinggaan pengalaman rohaninya dilukiskan dalam keberhinggaan bahasa puisinya. Namun puisi-puisinya yang berhingga justru memperlihatkan ketakberhinggaan pengalaman rohaninya.
Inilah yang terjadi: puisi Rumi adalah puisi ekstatis saat sang sufi berada di dunia spiritual yang sedemikian mengharu-biru, yang sekali keluar dari mulut sang sufi akan mengalir deras seakan tak bisa dihentikan. Puisi-puisi itu dirangsang oleh musik dan tarian-berputar yang menghanyutkan batin sang sufi, dan menariknya ke pusat Cinta Ilahi yang menyediakan seluruh tenaga dan keindahan rohaninya. Puisi-puisi itu direkam murid-muridnya dengan baik.
Musik, tarian-berputar, dan puisi. Itulah medium melalui mana Rumi merangsang dan mengekspresikan pengalaman rohaninya.
Sebenarnya, bagi Rumi sendiri, puisi dan penyair sedikit-banyak merupakan sesuatu yang ganjil. Sebab, Al-Quran dalam beberapa ayatnya secara eksplisit memperlihatkan ketidaksukaannya pada profesi penyair dan puisi. Tapi Rumi pasti tahu, ketidaksukaan Al-Quran kepada puisi dan penyair berakar pada fakta bahwa dalam masyarakat Arab pra-Islam puisi selalu dihubungkan dengan ilmu sihir dan perbuatan amoral yang tidak dikehendaki oleh Islam, seperti minum minuman memabukkan dan percintaan birahi yang bebas. Maka itu, Rumi tahu bagaimana bisa menyelamatkan diri dari kecaman Al-Quran terhadap puisi-puisinya yang melimpah dan dirinya sendiri sebagai penyair sufi.
Apa yang mengaktifkan magma spiritual Rumi hingga sedemikian menggelegak, hingga pula dari sana lahir sekitar 40.000 puisi liris dan lebih dari 20.000 puisi didaktis?
Pertemuan Rumi dengan pada sufi, baik langsung maupun tidak, pastilah memberikan pengaruh besar pada kehidupan rohaninya. Terutama ayahnya sendiri, Bahauddin Walad, dan Burhanuddin Muhaqqiq Al-Tirmidzi, murid ayahnya yang kemudian menjadi pembimbing intelektual dan spiritualnya selama sekitar 10 tahun. Mereka menyiapkan sekaligus memuluskan jalan bagi perkembangan rohani Rumi selanjutnya.
Momen yang paling menentukan bagi perkembangan rohani Rumi selanjutnya adalah ketika di tahun 1244 seorang sufi pengembara tiba di Konya. Namanya Syamsuddin at-Tabrizi, yang berarti Matahari Agama dari Tabriz. Dalam diri sufi inilah Rumi menemukan bayangan sempurna Kekasih Tuhan yang telah lama dicarinya. Bagi Rumi, dia adalah matahari yang membakar jiwanya, menyalakan hatinya, menariknya ke dalam pusat kesempurnaan Cinta Ilahi, dan mengubah hidupnya. Dia adalah pribadi penuh pesona rohani, kepada siapa Rumi mengidentifikasikan diri berulangkali.
Mereka tinggal bersama selama satu atau dua tahun, bersama-sama mengarungi samudera rohani dan melaju kencang di lautan Cinta Ilahi. Rumi berdendang: … jiwaku menaiki kereta Syamsi Tabriz yang lari kencang bagaikan perahu melaju di lautan yang tenang. Sejak itu, Rumi tak bisa dipisahkan dari mataharinya. Dia tenggelam dalam pesona rohaninya yang begitu bercahaya: … Tabriz! Jika Syamsuddin muncul dari zodiakmu, mendung pun akan menyerupai bulan, dan bulan akan lebih bersinar-sinar. Sedemikian terpesona Rumi pada mataharinya, hingga dia menghentikan kegiatan mengajar dan diskusi bersama murid-muridnya. Dia benar-benar menaiki kereta Syamsi Tabris —sebagaimana dikatakannya sendiri— nyaris secara harfiah.
Tentu saja murid-muridnya kehilangan kesempatan belajar dan berdialog dengan Rumi, sebagaimana berlangsung selama beberapa tahun sebelum kedatangan tamu asing tak diundang itu. Mereka pun cemburu, dan beredar suara-suara miring tentang sang sufi. Tahu bahwa mereka cemburu, mungkin juga tidak tahan mendengar suara-suara miring tentang dirinya, pada tahun 1247 Syamsi Tabris menghilang dari Konya, Turki sekarang, kota dimana Rumi tinggal.
Ketika kemudian terdengar kabar Syamsi berada di Damaskus, Rumi segera mengutus anaknya, Sultan Walad, menjemput sufi itu dan membawanya kembali ke Konya. Tak terlukis kebahagiaan Rumi ketika dia lihat Syamsi benar-benar kembali. Dia tak ingin lagi berpisah dengan mataharinya. Maka Rumi mengawinkan gurunya itu dengan seorang gadis yang dibesarkan dalam keluarganya. Tapi api kecemburuan keluarga dan murid-murid Rumi belum padam benar. Desas-desus negatif tentang Syamsi kini terdengar lebih santer lagi. Dan, kali ini dia benar-benar hilang. Tak pernah kembali lagi.
Rumi menangis. Bagi dia, apalah arti hidup tanpa sang matahari. Siapa lagikah yang mampu menyalakan rohani dan membakar Cintanya? Diwan-i Syams-i Tabriz (Lirik-lirik Syamsi Tabriz) adalah puisi Rumi yang merupakan persembahan rohani bagi sahabat sekaligus guru spiritualnya yang telah pergi tanpa jejak itu. Nada kesedihan dalam puisi-puisi Rumi berjalin-berkelindan dengan nada riang. Sebab, sebagaimana kehilangan mengandaikan sebuah pertemuan, kesementaraan mengandaikan keabadian. Begitulah maka perasaan berpisah dengan sang matahari secara rohani tak lain merupakan pertemuan-tak-terpisahkan; kebersamaan yang singkat adalah kebersamaan abadi.
Apalagi, Rumi sebenarnya kini sudah benar-benar matang secara rohani. Rasa sesal dan kerinduannya pada sang matahari tersublimasi sedemikian rupa, menjadi jalan bagi dunia batin Rumi sendiri dalam proses penghayatan tentang, dan penyatuan esensial dengan Tuhan. Puisi dan risalah Rumi segera memancarkan cahaya rohani, wawasan tasawuf, dan renungan sufistiknya yang amat dalam dan luas. Syamsi Tabriz tak lain hanyalah kunci pintu gerbang kerohanian Rumi sendiri yang sesungguhnya sudah siap dibuka.
Setelah pintu gerbang itu terbuka, kunci boleh hilang. Pastilah ada rasa sesal dengan kunci yang hilang, tapi bagaimanapun Rumi bisa berjalan-jalan sendiri tanpa tersesat mengitari taman rohaninya yang luas, lapang, dan rimbun. Di taman itu, Rumi mendendangkan puisinya (puisi-puisi Rumi dalam tulisan ini diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M.):
Ada taman indah, penuh pepohonan lebat
Anggur dan rerumputan menghijau
Seorang sufi duduk sambil memejamkan mata
Kepalanya tunduk, karam dalam tafakur.
Seseorang bertanya, “Hai, mengapa tidak kau lihat
Tanda-tanda Yang Maha Pengasih di sekelilihgmu
Yang dititahkan oleh-Nya untuk direnungkan?”
Sufi itu menjawab, “Tanda-tanda-Nya terbentang
Pula dalam diriku, yang ada di luar
Hanyalah lambang dari Tanda-tanda.”
…
Kehidupan rohani Rumi yang dipupuk terus-menerus telah melahirkan puisi sufistik yang luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun mutu. Tapi perlu diingat bahwa sebelumnya Rumi bagaimanapun telah mempelajari dengan baik sastra tradisional Persia dan Arab. Wawasan dan kemampuan teknis sastra tampaknya telah mendarah-daging dalam tubuh Rumi. Yang diperlukan selanjutnya adalah persyaratan paling penting seorang penyair: kedalamanan penghayatan dan renungan tentang makna hidup dan kearifan-kearifan universal. Dan Rumi telah mencapainya dengan gemilang.
Cinta Sejati Jalauddin Rumi
Membaca puisi-puisi Jalaluddin Rumi adalah membaca Cinta —Cinta dengan C besar. Penyair sufi asal Persia yang kemudian menetap di Turki hingga akhir hayatnya ini tampak begitu menghayati arti Cinta, menemukan maknanya yang begitu dalam, sekaligus meyakininya sebagai dasar utama kehidupan. Baginya, tak ada kehidupan tanpa Cinta. Karena itu, dia mengembangkan arti Cinta dan mengarahkannya sebagai prinsip metafisis sekaligus sebagai dasar konkret kehidupan-sementara menuju kehidupan-abadi.
Sebagai sufi, sudah tentu Rumi menulis banyak tema dalam puisi dan risalah tasawufnya, yaitu tema-tema utama —termasuk spekulasi filosofis— dalam dunia tasawuf dan filsafat. Misalnya, dia berbicara tentang esensi wujud tunggal yang menyatakan diri dalam wujud jamak, transendensi dan imanensi Tuhan, manifestasi-abadi Tuhan melalui penciptaan, dan lain-lain. Tetapi semua itu lebih merupakan keterlibatan Rumi secara intelektual dalam polemik yang mengasyikkan di kalangan ilmuwan Muslim hingga abad ke-13. Pada akhirnya, Rumi memiliki sistem berpikirnya sendiri yang dibangun melalui pengalaman spiritual dan intelektualnya.
Sudah tentu juga gagasan utama Rumi adalah hasrat spiritual untuk bersatu dengan Tuhan, dilandasi asumsi-asumsi metafisis dan spekulatif sebagaimana berkembang dalam tasawuf dan filsafat, dan diperkuat oleh imajinasi kreatifnya sendiri. Pandangan Rumi tentang Cinta untuk sebagian menjelaskan hasrat tersebut.
Dalam menjelaskan pandangannya tentang Cinta, Rumi menggunakan banyak sekali metafor. Yang sangat terkenal di antaranya adalah seruling. Menurutnya, suara seruling adalah lagu pedih keterpisahan seruling itu sendiri dari tempat asalnya, yaitu rumpun bambu yang rimbun. Di samping itu, suara seruling adalah nyanyi rindu dendam sang seruling untuk bersatu kembali dengan rumpun bambu tempatnya berasal. Begitulah Rumi melukiskan derita dan rindu dendam roh manusia pada Penciptanya.
Dalam puisinya yang lain tentang seruling, Rumi melukiskan lebih jauh hubungan manusia dan Tuhan. Katanya, kami adalah suling dan musik dalam diri kami berasal darimu; kami seumpama gunung, dan gaung dalam diri kami berasal darimu. Jadi, di sini bukan saja seruling yang berasal dari Tuhan. Musik yang dialunkan seruling itu sendiri juga berasal dari Tuhan. Sejalan dengan itu, gunung dan gaung di dalamnya adalah juga berasal dari Tuhan. Itu berarti, apa pun alunan musik seruling, lagu pedih ataukah lagu riang, berasal dari Tuhan juga. Apa pun gaung dalam gunung, apakah pertanda rahmat atau laknat, tak lain berasal dari Tuhan jua.
Seruling dan musik merupakan unsur sangat penting dalam kehidupan Rumi. Keduanya bukan saja metafor dalam puisi, melainkan juga medium pengembaraan rohani. Rumi tidak saja memandang musik sebagai sesuatu yang bersifat temporal dan profan. Lebih jauh, mendengarkan musik temporal dia membayangkan suara alam semesta dan terutama musik yang mengalun abadi di sorga. Itulah sebabnya, musik dapat menghubungkan roh manusia dengan alam ketuhanan. Musik dapat melambungkan jiwa manusia mencapai tingkat kesucian dan ketinggian yang kekal. Musik dapat membakar hati manusia dan membangkitkan Cinta yang menggelora untuk mencapai sorga.
Tapi alam semesta tak cuma mengalunkan musik. Alam semesta adalah juga komposisi gerak yang sangat kompleks sebagai tarian sakral yang menakjubkan. Tarian itu berupa putaran-putaran ritmis dengan titik sumbu yang tertata rapi secara ajaib. Tidaklah mengherankan kalau Rumi juga menjadikan tarian-berputar sebagai medium pengembaraan rohani.
Rumi menulis dengan indah:
Baling-baling langit, dengan segenap keindahan dan keajaibannya, berputar mengitari Tuhan seperti jentera.
Rohku demikian pula, tawaf di Ka’bah; begitulah pengemis ini mengitari pemberian dan karunia.
Perjalanan bola mengelilingi lapangan permainan-Nya; itulah yang membuatmu bahagia dan tidak berdaya.
….
Demikianlah hubungan manusia dan Tuhan. Musik mengekspresikan hubungan penciptaan melalui mana jiwa manusia dibakar api rindu dan Cinta terhadap sumbernya, sekaligus menghubungkan dunia manusia yang terbelenggu dengan dunia sorga yang suci lagi merdeka. Sementara itu, tarian-berputar mengekspresikan kenikmatan, ketakberdayaan, dan kepasrahan pada Tuhan sebagai pusat perputaran baling-baling langit jiwa manusia bersama alam semesta.
Dalam pola hubungan itu, di manakah Cinta? Bagi Rumi, Cinta adalah dasar yang memungkinkan hubungan-hubungan tersebut berlangsung. Tanpa Cinta, pola hubungan menakjubkan dan indah namun menyakitkan itu adalah mustahil. Manusia akan merindukan Tuhan dan menari mengitari-Nya manakala api Cinta menggelora di dalam jiwanya. Tetapi api Cinta tak akan menggelora dalam jiwa manusia tanpa Tuhan memberikan percikan api Cinta-Nya kepada manusia itu sendiri. Begitulah maka, kata Rumi, “Bila cinta Tuhan menyala dalam hatimu, tentu Tuhan telah mencintaimu.” Dalam sebuah tamsil, Rumi mengibaratkan hubungan percintaan ini sebagai tepukan, dimana tepukan tak akan terjadi hanya dengan sebelah tangan. Dengan demikian, pola hubungan itu adalah hubungan timbal-balik antara pencinta dan yang-dicintai.
Dari sini Rumi menurunkan pola berpasangan sebagai derivasi primordial dari hubungan timbal-balik antara pencinta dan yang-dicintai. Rumi menyebut pola berpasangan itu sebagai hikmah Tuhan. Langit dan bumi adalah pasangan laki-perempuan yang dikemukakan Rumi:
…
Di mata orang arif, Langit adalah lelaki dan Bumi adalah perempuan
Bumi menerima saja apa yang diturunkan Langit ke haribaan dan rahimnya
Jika bumi kurang panas, Langit mengirimkan panas
Jika bumi kurang segar, Langit menyegarkan bumi yang lembab
Langit berputar menurut sumbunya, bagaikan suami mencari nafkah bagi istrinya
Dan Bumi sibuk mengurus rumah: ia menunggui dan menyusui bayi yang dilahirkan
…
Tanpa Bumi apakah Langit bisa menghasilkan air dan panas?
….
Dan, dengan Tuhan memberikan nafsu birahi pada laki dan perempuan, mereka akan saling mencinta dan menyatu. Dengan cara itu, kata Rumi, dunia terselamatkan.
Rumi menyadari adanya paradoks atau kontradiksi dalam Cinta, yaitu keindahan dan kesengsaran, kemesraan dan kepedihan. Seperti suara seruling yang memperdengarkan suara pedih di balik kemerduannya. Atau sebaliknya, menyuarakan nyanyian merdu namun dengan nada perih. Seorang pencinta harus siap menerima keduanya. Bagi Rumi, kesengsaraan dan kepedihan adalah proses dialekstis untuk mencapai kebahagiaan. Maka bagi pencinta sejati, kesengsaraan, kepedihan, dan rindu-dendam justru merupakan kenikmatan. Kesengsaraan bukanlah penghinaan.
Rumi mencontohkan buncis yang direbus. Ketika air mendidih, buncis melompat-lompat ke permukaan air, merintih kesakitan. Kepada juru rebus dia bertanya, “Kenapa kau menyiksaku seperti ini?”
“Aku tidak menyiksamu. Aku merebusmu sebab aku mencintaimu. Dengan cara ini engkau akan terasa lezat dan bergizi.”
Rumi sendiri merasa dikuasai oleh Cinta yang amat dahsyat. Cinta sedemikian rupa bagai magnet yang menarik jiwanya bukan saja untuk mendekat, melainkan untuk menyatu sepadu-padunya. Dalam pada itu, api Cinta berkobar-kobar dalam hatinya siang-malam, membakar jiwanya dengan api rindu yang tak tertahankan. Dan dia percaya kematian adalah jalan menuju Cinta hakini dan abadi: … jika kaulihat iring-iringan pembawa jenazahku lewat, jangan berkata, “Dia telah pergi! Dia telah pergi selamanya!” Saat itu bagiku adalah saat bersatu dan berhadapan muka/ Ketika jenazahku kaubaringkan dalam kubur, jangan berkata, “Selamat jalan! Selamat jalan!” Kuburan hanyalah tirai pembatas sebelum bersatu lagi dengan sorga….
Tetapi, sejauh itu Rumi sesungguhnya tidak yakin dengan pandangannya sendiri tentang Cinta. Dia meragukan kemampuan akal dan pikiran dalam memahami Cinta, bahkan meragukan pula pemahamannya melalui imajinasi kreatifnya yang amat kaya. Yang dia yakini hanya bahwa Cinta pada akhirnya akan membimbing kita ke hadirat-Nya. Menurut Rumi, Cinta sendirilah yang dapat menerangkan apa itu cinta./ Bukankah seperti matahari, hanya matahari itu sendiri/ dapat menjelaskan apa itu matahari. Dengan kata lain, apa pun rumusan tentang Cinta-sejati bagaimanapun bersifat relatif belaka. Yang memahami dengan akurat Cinta hanyalah Cinta itu sendiri.
Di sini kita diingatkan pada salah satu nama Tuhan dalam Asmaul Husna, yaitu Al-Wadûd (Maha Pencinta). Sebagai Maha Pencinta, Tuhan pastilah memercikkan sebagian api cinta-Nya kepada manusia. Karena api Cinta yang tumbuh dalam jiwa manusia berasal dari Tuhan, maka ia senantiasa mengarahkan dirinya ke tempat asalnya. Dalam arti itu maka Tuhan sekaligus adalah Yang Dicintai. Pada puncaknya, Tuhan sesungguhnya tak lain tak bukan adalah Cinta Abadi, Cinta Sejati, yang senantiasa memancarkan diri-Nya kepada seluruh makhluk-Nya.
Jamal D. Rahman
www.jamaldrahman.wordpress.com
Nasehat Imam Al-Ghazali
Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya, pertama,"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "Mati". Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.
Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua. "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah masa lalu. Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. "Apa yang paling besar di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "Nafsu" (Al A'Raf 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?".Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean benar, kata Iimam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "memegang AMANAH" (Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.
Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?".Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan sholat, gara-gara meeting kita tinggalkan sholat.
Lantas pertanyaan ke enam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?". Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang... Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah "lidah manusia". Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukaiperasaan saudaranya sendiri.
Sumber: dudung.net
Yvonne Ridley: Saya Kagum Dengan Hak-Hak Yang Diberikan Islam pada Kaum Perempuan
Artikel ini kembali menambah informasi tentang posisi wanita dalam Islam. Semoga bermanfaat.
Banyak orang yang menilai Islam tidak memberikan penghormatan terhadap kaum perempuan. Tapi tidak bagi Yvonne Ridley setelah ia mengenal Islam. Mantan wartawan asal Inggris yang pernah menjadi tawanan Taliban di Afghanistan ini, masuk Islam setelah ia mendalami al-Quran dengan harapan menemukan perintah-perintah Tuhan dalam Islam yang menempatkan perempuan pada posisi rendah. Apalagi ketika itu Ridley juga seorang aktivis feminisme.
Tapi semakin ia mendalami al-Quran, Ridley tidak menemukan apa yang dicarinya, ia malah menemukan ajaran Islam yang luhur tentang kaum perempuan, dimana Islam menempatkan kaum perempuan dalam derajat yang tinggi dan mulia. Inilah yang kemudian mendorong Yvonne untuk memilih menjadi seorang Muslim dan sekarang dikenal aktif berdakwah kemana-mana.
Bagaimana pengalaman Ridley menjadi seorang mualaf dan apa pandangannya tentang perempuan dalam Islam. Berikut petikan wawancara yang dilakukan situs Islamonline dengan Yvonne Ridley:
Seberapa jauh Anda tahu tentang Islam sebelum menjadi seorang Muslimah?
Saya cuma tahu sedikit tentang Islam sebelum menjadi Muslim. Saya hanya tahu dari media massa.
Bagaimana ceritanya Anda masuk Islam?
Saat saya menjadi tawanan Taliban, seorang ulama mendatangi saya. Dia menanyakan beberapa pertanyaan tentang agama dan menanyakan apakah saya mau pindah agama. Saat itu, saya takut kalau saya salah memberikan respon, maka saya akan dibunuh. Setelah berpikir masak-masak, saya berterima kasih pada ulama tadi atas tawarannya yang baik itu dan saya bilang bahwa sulit bagi saya membuat keputusan untuk mengubah hidup saya saat saya sedang menjadi tawanan. Tapi saya berjanji, jika saya dibebaskan dan kembali ke London, saya akan mempelajari tentang Islam.
Akhirnya saya bebas dan saya mulai membaca terjemahan al-Quran. Saya memilih surat-surat dalam al-Quran hanya yang ingin saya baca saja. Saya sangat kagum dengan hak-hak yang diberikan Islam pada kaum perempuan dan inilah yang paling membuat saya tertarik pada Islam.
Setelah memeluk Islam, apakah Anda membutuhkan bantuan dari komunitas Muslim?
Ya dan tidak. Saya mendapat banyak dukungan dari sesama Muslimah. Saya merasa beruntung jika dibandingkan dengan banyak mualaf lainnya. Banyak mualaf yang benar-benar membutuhkan dukungan semangat dan pendampingan hampir setiap hari. Yang menyedihkan, banyak diantara kami yang diabaikan setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Saya cuma ingin mengatakan, tahun-tahun pertama bagi para mualaf adalah saat-saat yang kritis bagi perkembangan mereka sebagai seorang Muslim, jadi sebaiknya para mualaf baru jangan diabaikan begitu ia usai mengucapkan syahadat.
Tantangan apa yang paling berat setelah Anda memeluk Islam?
Belajar menjadi orang yang lebih baik. Mungkin kedengarannya agak aneh, karena saya tidak merasa sebagai orang yang buruk sebelum memeluk Islam. Tapi setelah menjadi Muslim, saya harus belajar tentang etika Islam, misalnya tentang kesabaran dan toleransi. Buat mereka yang sudah mengenal baik siapa saya, pasti tahu betapa beratnya perjuangan saya ketika itu.
Bagaimana reaksi keluarga dan teman-teman ketika tahu Anda masuk Islam?
Mereka semua syok. Bagaimana bisa seorang gadis yang doyan pesta meninggalkan gaya hidup Baratnya dan memeluk Islam? Tapi setelah beberapa waktu, mereka tahu bahwa saya bersungguh-sungguh! Saya lebih sehat dan bahagia, badan saya jadi agak langsing. Mereka melihat bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan saya, saya menjadi orang yang lebih baik. Mereka membantah bahwa ini semua karena Islam. Teman-teman perempuan saya apakah saya punya pacar sehingga terlihat lebih sehat dan bahagia, saya menjawab "Apakah kamu pikir untuk terlihat lebih baik seperti sekarang saya harus punya pacar? Tidakkah kalian bisa menerima bahwa saya telah menemukan sesuatu yang memberikan saya banyak kebahagiaan, kekuatan dari dalam dan spiritulitas?"
Bagaimana Anda menyesuaikan diri dengan Jilbab yang Anda kenakan di Inggris, sementara banyak orang meributkan jilbab?
Saya senang sekali Anda menanyakan hal ini. Banyak orang berpendapat tentang jilbab, terutama kaum lelaki yang tidak perlu mengenakan jilbab. Mereka tidak tahu, betapa besar tantangan yang dihadapi perempuan berjilbab dan berniqab. Ketika seorang perempuan mengenakan jilbab, mereka memperjuangkan Islam, di baris terdepan. Mereka menjadi sasaran tindakan sewenang-wenang. Sedih rasanya melihat beberapa Muslimah yang diserang secara fisik gara-gara perdebatan jilbab terutama yang dipicu oleh para politisi dengan segala pernyataan-pernyataan buruk mereka tentang jilbab. Jilbab adalah kewajiban. Saya salut dengan para muslimah yang mengenakan jilbab, dengan kekuatan, semangat dan keimanan mereka.
Untuk Muslimah yang tidak mengenakan jilbab, saya ingin bilang pada orang-orang di sekeliling mereka agar bersabar dan berilah mereka waktu. Kita semua dalam perjalanan spiritual, beberapa diantara kita mencapai level tertentu dengan cepat dibandingkan yang lainnya. Butuh waktu. Kita selayaknya tidak terlalu kritis terhadap sesama Muslimah yang belum berjilbab, kita sebaiknya mendukung dan menolong mereka.
Saya juga tidak langsung mengenakan jilbab. Butuh waktu buat saya untuk mengenakannya, dan itu itu menjadi bagian dari pertumbuhan dan perkembangan saya sebagai seorang Muslim. Setiap harus selalu ada perbaikan. Jika pembicaraan ini dilakukan kembali 20 tahun mendatang, saya akan bilang bahwa saya masih belajar dan berkembang terus, Insya Allah.
Jika ada non-Muslim yang ingin tahu tentang Islam, apa pesan penting yang harus disampaikan seorang Muslim pada non-Muslim?
Kita harus menyampaikan pada Barat bahwa kaum perempuan tidak ditindas dalam Islam, kaum perempuan bukan makhluk kelas dua. Betul, ada sebagian perempuan yang berada di bawah kendali laki-laki. Tapi di kalangan non-Muslim di Barat, banyak juga perempuan yang tertindas. Masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah isu global bagi perempuan, bukan isu Islam.
Banyak isu yang mempengaruhi kaum perempuan Muslim dan Barat. Tapi akan saya katakan pada kaum perempuan non-Muslim bahwa banyak hal yang substansial dibalik jilbab. Jika mereka mau melihat, mereka akan menyadari bahwa banyak Muslimah berjilbab yang sukses, pintar, berbakat dan dikenal di level internasional. Jadi, daripada buang-buang waktu meributkan jilbab, berhentilah dan bicaralah pada para muslimah.
Sumber: Eramuslim
Jika Hari Raya Idhul Fitri & Idhul Adha Jatuh pada Hari Jum'at
Banyak yang menanyakan bagaimana jika Hari Raya atau Idul Adha jatuh pada hari Jum’at, apakah shalat Jum’atnya gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied?
Mudah-mudahan penjelasan berikut dapat menjawab hal ini.
Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.
Pendapat Pertama: Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.” Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”
Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”
Pendapat Kedua: Bagi orang yang telah menghadiri shalat 'Ied boleh tidak menghadiri shalat Jum'at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”
Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”
Mudah-mudahan penjelasan berikut dapat menjawab hal ini.
Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.
Pendapat Pertama: Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.” Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”
Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”
Pendapat Kedua: Bagi orang yang telah menghadiri shalat 'Ied boleh tidak menghadiri shalat Jum'at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”
Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”
Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.
Kesimpulan:
Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jum'at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat 'ied tidak menghadiri shalat Jum'at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied yaitu shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.
Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: www.rumaysho.com
The Holy Mysteries of Mekah-Ka'bah (the Secret of Ka'bah)
- Mengapa Ka’bah menjadi arah atau kiblat ummat muslim ?
- Mengapa Ka’bah terletak di Masjidil Haram (Mekkah, Saudi Arabia) ?
- Apakah batu hajar aswat itu dan mengapa itu berada di Ka’bah ?
- Dan masih banyak pertanyaan lainnya,
Ka’bah sebagai Kiblat
Istilah Ka’bah adalah bahasa Al Qura'n dari kata “ka’bu” yg berarti “mata kaki” atau tempat kaki berputar bergerak untuk melangkah. Ayat 5/6 dalam Al Qur'an menjelaskan istilah itu dg “Ka’bain” yg berarti ‘dua mata kaki’ dan ayat 5/95-96 mengandung istilah ‘Ka’bah’ yg artinya nyata “mata bumi” atau “sumbu bumi” atau kutub putaran utara bumi.
Neil Amstrong telah membuktikan bahwa kota Mekah adalah pusat dari planet Bumi. Fakta ini telah di diteliti melalui sebuah penelitian Ilmiah. Ketika Neil Amstrong untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mengambil gambar planet Bumi, dia berkata, “Planet Bumi ternyata menggantung di area yang sangat gelap, siapa yang menggantungnya ?”
Para astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi, secara resmi mereka mengumumkannya di Internet, tetapi sayang nya 21 hari kemudian website tersebut raib yang sepertinya ada alasan tersembunyi dibalik penghapusan website tersebut.
Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata radiasi tersebut berpusat di kota Mekah, tepatnya berasal dari Ka’Bah. Yang mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite ( tidak berujung ), hal ini terbuktikan ketika mereka mengambil foto planet Mars, radiasi tersebut masih berlanjut terus. Para peneliti Muslim mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka’bah di planet Bumi dengan Ka’bah di alam akhirat.
Di tengah-tengah antara kutub utara dan kutub selatan, ada suatu area yang bernama ‘Zero Magnetism Area’, artinya adalah apabila kita mengeluarkan kompas di area tersebut, maka jarum kompas tersebut tidak akan bergerak sama sekali karena daya tarik yang sama besarnya antara kedua kutub.
Itulah sebabnya jika seseorang tinggal di Mekah, maka ia akan hidup lebih lama, lebih sehat, dan tidak banyak dipengaruhi oleh banyak kekuatan gravitasi. Oleh sebab itu lah ketika kita mengelilingi Ka’Bah, maka seakan-akan diri kita di-charged ulang oleh suatu energi misterius dan ini adalah fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah.
Jd, mengapa Ka’bah menjadi kiblat seuluruh ummat muslim dunia ? karena Ka’bah adalah pusat atau sumbu dunia. Hal ini juga terkait dengan keberadaannya sebagai rumah Allah yang menjadi pusat spiritual hubungan antara ruh manusia dengan sang penciptanya. Jadi sholat yang kita lakukan adalah untuk makanan rohani kita.
Mengapa terletak di Kota Mekkah ?
Berdasarkan sejarah dibangunnya Ka’bah, Sepintas lalu bahwa ayat di atas mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah orang yang pertama membangun Ka’bah dipermukaan bumi ini, seperti dipahami oleh sebagian kaum muslimin. Padahal bila dicermati, sebelum Nabi Ibrahim menginjakkan kakinya ke tanah Mekkah sudah ada bangunan Ka’bah yang telah dibangun oleh malaikat dan generasi sebelum Nabi Ibrahim as. Hal itu dapat dipahami dari kata “Yarfa’u” meninggikan berarti meninggikan bangunan yang sudah ada.
Pertama Generasi Malaikat, dua ribu tahun sebelum Nabi Adam diciptakan Malaikat sudah membangun Ka’bah di bumi ini atas perintah Allah SWT.
Di dalam Alquran dijelaskan bahwa ketika Allah SWT hendak menciptakan Nabi Adam as, Allah SWT berfirman kepada malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi, lalu para malaikat bertanya: Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi ini, orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. (QS. al-Baqarah : 30).
Ketika itu Allah menjawab: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
(QS. al-Baqarah: 30).
Riwayat menceritakan bahwa Ka’bah pada masa itu terletak di atas buih yang keras, yaitu benda pertama yang muncul di bumi ini, Maha Benarlah Allah SWT yang telah berfirman: Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun di muka bumi ini adalah di Makkah. (QS. Ali Imran: 96).
Menurut penglihatan dari kamera satelite NASA, mereka melihat ada satu cahaya yang bersinar dari bumi dan sinarnya begitu kemilau ketika dilihat dari satelite tersebut. Setelah diperbesar, ternyata cahaya kemilau itu berasal dari Masjidil Haram atau Ka’bah.
Bila kita membaca kembali tentang Misteri 7 Lapisan Langit danperjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad, ternyata dimensi kita saling berkaitan dengan dimensi lainnya.. artinya ditempat yang sama kita pijak sekarang juga letaknya sama dengan dimensi lainnya hanya saja dimensinya yang berbeda. Itu berarti pintu menuju Sidratul Muntaha terletak di Masjidil Aqsa Palestina karena sebenarnya Rasulullah tidak berpindah kemanapun melainkan tetap berada di Masjidil Aqsa hanya saja beliau pindah dimensi. Dan kemudian beliau menuju Sidratul Muntaha – artinya Sidratul Muntaha di dimensi tertinggi yang sebenarnya adalah di Masjidil Haram atau Ka’bah di dimensi kita
Batu Hajar Aswat
Ketika Nabi Ibrahim a.s bersama anaknya membina Kaabah banyak kekurangan yang dialaminya. Pada mulanya Kaabah itu tidak ada bumbung dan pintu masuk. Nabi Ibrahim a.s bersama Nabi Ismail berupaya keras untuk menyelesaikan pembinaannya dengan mengangkut batu dari berbagai gunung.
Dalam sebuah kisah disebutkan apabila pembinaan Kaabah itu selesai, ternyata Nabi Ibrahim masih merasakan kekurangan sebuah batu lagi untuk diletakkan di Kaabah. Nabi Ibrahim berkata kpd Nabi Ismail, “Pergilah engkau mencari sebuah batu yang akan aku letakkan sebagai penanda bagi manusia.”
Kemudian Nabi Ismail a.s pun pergi dari satu bukit ke satu bukit untuk mencari batu yang baik dan sesuai. Ketika Nabi Ismail AS sedang mencari batu di sebuah bukit, tiba-tiba datang malaikat Jibril AS memberikan sebuah batu yang cantik.
Nabi Ismail dengan segera membawa batu itu kepada Nabi Ibrahim a.s. Nabi Ibrahim a.s. merasa gembira melihat batu yang sungguh cantik itu, beliau menciumnya beberapa kali. Kemudian Nabi Ibrahim a.s bertanya, “Dari mana kamu dapat batu ini?” Nabi Ismail berkata, “Batu ini kuterima daripada yang tidak memberatkan cucuku dan cucumu (Jibril).” Nabi Ibrahim mencium lagi batu itu dan diikuti oleh Nabi Ismail AS. Sehingga skrg Hajar Aswat itu dicium oleh orang-orang yang pergi ke Baitullah.
Sementara itu menurut penelitian mengungkapkan bahwa batu Hajar Aswad merupakan batu tertua di dunia dan juga bisa mengambang di air. Di sebuah mesium di negara Inggris, ada tiga buah potongan batu tersebut (dari Ka’bah) dan pihak mesium juga mengatakan bahwa bongkahan batu-batu tersebut bukan berasal dari sistem tata surya kita.
Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW bersabda :
“Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, warnanya lebih putih daripada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adamlah yang menjadikannya hitam.”
Sehingga dapat dikatakan bahwa Batu Hajar Aswat itu bukan berasal dari dunia kita, melainkan dari dimensi lain atau akhirat yang diturunkan ke dunia.. Wallahu’alam.
Makkah adalah Pusat dari lapisan-lapisan langit
Ada beberapa ayat dan hadits nabawi yang menyiratkan fakta ini. Allah berfirman, ‘Hai golongan jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.’ (ar-Rahman:33)
Kata aqthar adalah bentuk jamak dari kata ‘qutr’ yang berarti diameter, dan ia mengacu pada langit dan bumi yg mempunyai banyak diameter.
Dari ayat ini dan dari beberapa hadits dapat dipahami bahwa diameter lapisan-lapisan langit itu di atas diameter bumi (tujuh lempengan bumi). Jika Makkah berada di tengah-tengah bumi, maka itu berarti bahwa Makkah juga berada di tengah-tengah lapisan-lapisan langit.
Selain itu ada hadits yang mengatakan bahwa Masjidil Haram di Makkah, tempat Ka‘bah berada itu ada di tengah-tengah tujuh lapisan langit dan tujuh bumi (maksudnya tujuh lapisan pembentuk bumi). Maha benar Allah dengan segala firmanNya.
Sumber: www.dunia-panas.blogspot.com
- Mengapa Ka’bah terletak di Masjidil Haram (Mekkah, Saudi Arabia) ?
- Apakah batu hajar aswat itu dan mengapa itu berada di Ka’bah ?
- Dan masih banyak pertanyaan lainnya,
Ka’bah sebagai Kiblat
Istilah Ka’bah adalah bahasa Al Qura'n dari kata “ka’bu” yg berarti “mata kaki” atau tempat kaki berputar bergerak untuk melangkah. Ayat 5/6 dalam Al Qur'an menjelaskan istilah itu dg “Ka’bain” yg berarti ‘dua mata kaki’ dan ayat 5/95-96 mengandung istilah ‘Ka’bah’ yg artinya nyata “mata bumi” atau “sumbu bumi” atau kutub putaran utara bumi.
Neil Amstrong telah membuktikan bahwa kota Mekah adalah pusat dari planet Bumi. Fakta ini telah di diteliti melalui sebuah penelitian Ilmiah. Ketika Neil Amstrong untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mengambil gambar planet Bumi, dia berkata, “Planet Bumi ternyata menggantung di area yang sangat gelap, siapa yang menggantungnya ?”
Para astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi, secara resmi mereka mengumumkannya di Internet, tetapi sayang nya 21 hari kemudian website tersebut raib yang sepertinya ada alasan tersembunyi dibalik penghapusan website tersebut.
Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata radiasi tersebut berpusat di kota Mekah, tepatnya berasal dari Ka’Bah. Yang mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite ( tidak berujung ), hal ini terbuktikan ketika mereka mengambil foto planet Mars, radiasi tersebut masih berlanjut terus. Para peneliti Muslim mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka’bah di planet Bumi dengan Ka’bah di alam akhirat.
Di tengah-tengah antara kutub utara dan kutub selatan, ada suatu area yang bernama ‘Zero Magnetism Area’, artinya adalah apabila kita mengeluarkan kompas di area tersebut, maka jarum kompas tersebut tidak akan bergerak sama sekali karena daya tarik yang sama besarnya antara kedua kutub.
Itulah sebabnya jika seseorang tinggal di Mekah, maka ia akan hidup lebih lama, lebih sehat, dan tidak banyak dipengaruhi oleh banyak kekuatan gravitasi. Oleh sebab itu lah ketika kita mengelilingi Ka’Bah, maka seakan-akan diri kita di-charged ulang oleh suatu energi misterius dan ini adalah fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah.
Jd, mengapa Ka’bah menjadi kiblat seuluruh ummat muslim dunia ? karena Ka’bah adalah pusat atau sumbu dunia. Hal ini juga terkait dengan keberadaannya sebagai rumah Allah yang menjadi pusat spiritual hubungan antara ruh manusia dengan sang penciptanya. Jadi sholat yang kita lakukan adalah untuk makanan rohani kita.
Mengapa terletak di Kota Mekkah ?
Berdasarkan sejarah dibangunnya Ka’bah, Sepintas lalu bahwa ayat di atas mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah orang yang pertama membangun Ka’bah dipermukaan bumi ini, seperti dipahami oleh sebagian kaum muslimin. Padahal bila dicermati, sebelum Nabi Ibrahim menginjakkan kakinya ke tanah Mekkah sudah ada bangunan Ka’bah yang telah dibangun oleh malaikat dan generasi sebelum Nabi Ibrahim as. Hal itu dapat dipahami dari kata “Yarfa’u” meninggikan berarti meninggikan bangunan yang sudah ada.
Pertama Generasi Malaikat, dua ribu tahun sebelum Nabi Adam diciptakan Malaikat sudah membangun Ka’bah di bumi ini atas perintah Allah SWT.
Di dalam Alquran dijelaskan bahwa ketika Allah SWT hendak menciptakan Nabi Adam as, Allah SWT berfirman kepada malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi, lalu para malaikat bertanya: Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi ini, orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. (QS. al-Baqarah : 30).
Ketika itu Allah menjawab: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
(QS. al-Baqarah: 30).
Riwayat menceritakan bahwa Ka’bah pada masa itu terletak di atas buih yang keras, yaitu benda pertama yang muncul di bumi ini, Maha Benarlah Allah SWT yang telah berfirman: Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun di muka bumi ini adalah di Makkah. (QS. Ali Imran: 96).
Menurut penglihatan dari kamera satelite NASA, mereka melihat ada satu cahaya yang bersinar dari bumi dan sinarnya begitu kemilau ketika dilihat dari satelite tersebut. Setelah diperbesar, ternyata cahaya kemilau itu berasal dari Masjidil Haram atau Ka’bah.
Bila kita membaca kembali tentang Misteri 7 Lapisan Langit danperjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad, ternyata dimensi kita saling berkaitan dengan dimensi lainnya.. artinya ditempat yang sama kita pijak sekarang juga letaknya sama dengan dimensi lainnya hanya saja dimensinya yang berbeda. Itu berarti pintu menuju Sidratul Muntaha terletak di Masjidil Aqsa Palestina karena sebenarnya Rasulullah tidak berpindah kemanapun melainkan tetap berada di Masjidil Aqsa hanya saja beliau pindah dimensi. Dan kemudian beliau menuju Sidratul Muntaha – artinya Sidratul Muntaha di dimensi tertinggi yang sebenarnya adalah di Masjidil Haram atau Ka’bah di dimensi kita
Batu Hajar Aswat
Ketika Nabi Ibrahim a.s bersama anaknya membina Kaabah banyak kekurangan yang dialaminya. Pada mulanya Kaabah itu tidak ada bumbung dan pintu masuk. Nabi Ibrahim a.s bersama Nabi Ismail berupaya keras untuk menyelesaikan pembinaannya dengan mengangkut batu dari berbagai gunung.
Dalam sebuah kisah disebutkan apabila pembinaan Kaabah itu selesai, ternyata Nabi Ibrahim masih merasakan kekurangan sebuah batu lagi untuk diletakkan di Kaabah. Nabi Ibrahim berkata kpd Nabi Ismail, “Pergilah engkau mencari sebuah batu yang akan aku letakkan sebagai penanda bagi manusia.”
Kemudian Nabi Ismail a.s pun pergi dari satu bukit ke satu bukit untuk mencari batu yang baik dan sesuai. Ketika Nabi Ismail AS sedang mencari batu di sebuah bukit, tiba-tiba datang malaikat Jibril AS memberikan sebuah batu yang cantik.
Nabi Ismail dengan segera membawa batu itu kepada Nabi Ibrahim a.s. Nabi Ibrahim a.s. merasa gembira melihat batu yang sungguh cantik itu, beliau menciumnya beberapa kali. Kemudian Nabi Ibrahim a.s bertanya, “Dari mana kamu dapat batu ini?” Nabi Ismail berkata, “Batu ini kuterima daripada yang tidak memberatkan cucuku dan cucumu (Jibril).” Nabi Ibrahim mencium lagi batu itu dan diikuti oleh Nabi Ismail AS. Sehingga skrg Hajar Aswat itu dicium oleh orang-orang yang pergi ke Baitullah.
Sementara itu menurut penelitian mengungkapkan bahwa batu Hajar Aswad merupakan batu tertua di dunia dan juga bisa mengambang di air. Di sebuah mesium di negara Inggris, ada tiga buah potongan batu tersebut (dari Ka’bah) dan pihak mesium juga mengatakan bahwa bongkahan batu-batu tersebut bukan berasal dari sistem tata surya kita.
Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW bersabda :
“Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, warnanya lebih putih daripada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adamlah yang menjadikannya hitam.”
Sehingga dapat dikatakan bahwa Batu Hajar Aswat itu bukan berasal dari dunia kita, melainkan dari dimensi lain atau akhirat yang diturunkan ke dunia.. Wallahu’alam.
Makkah adalah Pusat dari lapisan-lapisan langit
Ada beberapa ayat dan hadits nabawi yang menyiratkan fakta ini. Allah berfirman, ‘Hai golongan jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.’ (ar-Rahman:33)
Kata aqthar adalah bentuk jamak dari kata ‘qutr’ yang berarti diameter, dan ia mengacu pada langit dan bumi yg mempunyai banyak diameter.
Dari ayat ini dan dari beberapa hadits dapat dipahami bahwa diameter lapisan-lapisan langit itu di atas diameter bumi (tujuh lempengan bumi). Jika Makkah berada di tengah-tengah bumi, maka itu berarti bahwa Makkah juga berada di tengah-tengah lapisan-lapisan langit.
Selain itu ada hadits yang mengatakan bahwa Masjidil Haram di Makkah, tempat Ka‘bah berada itu ada di tengah-tengah tujuh lapisan langit dan tujuh bumi (maksudnya tujuh lapisan pembentuk bumi). Maha benar Allah dengan segala firmanNya.
Sumber: www.dunia-panas.blogspot.com
Wahai Kaum Muslimin, Kita telah ditipu dengan semua ini...!?
Seorang wanita berjilbab rapi tampak sedang bersemangat mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya. Ia duduk menghadap murid-muridnya.
Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Sang guru berkata, “Ibu punya permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus. Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah “Kapur!”, jika saya angkat penghapus ini, maka berserulah“Penghapus!” Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti. Sang guru berganti-gantian mengangkat antara kanan dan kiri tangannya, semakin lama semakin cepat.
Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus!”, jika saya angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”. Dan di jalankanlah adegan seperti tadi, tentu saja murid-murid kerepotan dan kelabakan,dan sangat sulit untuk merubahnya. Namun lambat laun, mereka bisa beradaptasi dan tidak lagi sulit.
Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya. “Anak-anak, begitulah kita ummat Islam. Mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Kita begitu jelas membedakannya. Namun kemudian, musuh-musuh kita memaksakan kepada kita lewat berbagai cara melalui seperti media cetak, media elektronik, dll untuk membalik sesuatu, dari yang haq menjadi bathil, dan sebaliknya.
Pertama-tama mungkin akan sulit bagi kita menerima hal tersebut, tapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik nilai.”“Pacaran tidak lagi sesuatu yang tabu, berbuat zina tidak lagi jadi persoalan, falentine sudah menjadi budaya, pakaian mini dan ketat menjadi hal yang lumrah, minum khamr menjadi suatu hiburan, materialistis dan permisifitas kini menjadi suatu gaya hidup pilihan, tawuran menjadi trend pemuda, yang ingin menjalankan Islam secara kaffah di katakan teroris, lescigay (lesbian banci gay-pen) di anggap pilihan pribadi, memakan harta riba adalah hal yang biasa… dan lain lain.”
“Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya Ibu Guru kepada murid-muridnya.“Paham buu…”
“Baik permainan kedua…” begitu Bu Guru melanjutkan. “Bu Guru punya Qur’an, Ibu letakkan di tengah karpet. Nah, sekarang kalian berdiri diluar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah tanpa menginjak karpet?” Nah, nah, nah.... Murid-Muridnya berpikir keras. Ada yang punya alternatif dengan tongkat, dan lain-lain.
Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, ia gulung karpetnya, dan ia ambil Qur’annya. Ia memenuhi syarat, tidak menginjak karpet.
“Anak-anak, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. .. Musuh-musuh Islam tidak akan menginjak-injak kalian dengan terang-terangan. ..Karena tentu kalian akan menolaknya mentah mentah. Preman yang beragama Islam atau orang Islam yang bolong-bolong Shalatnya tak akan rela kalau Islam dihina di hadapan mereka. Tapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar.”
“Jika seseorang ingin membangun rumah yang kuat, maka dibangunnyalah pondasi yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat seperti ketika Kejayaan Peradaban Islam pada zaman Khilafah hingga 1400 M. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau membongkar pondasinya dulu, tentu saja hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dulu, kursi dipindahkan dulu, lemari disingkirkan dulu satu persatu, baru rumah dihancurkan. ..” “Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan menghantam terang-terangan, tapi ia akan perlahan-lahan mencopot kalian. Mulai dari perangai kalian, cara hidup kalian, model pakaian kalian, dan lain-lain, sehingga meskipun kalian muslim, tapi kalian telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara mereka…Dan itulah yang mereka inginkan.”
“Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikri (perang pemikiran). Dan inilahyang dijalankan oleh musuh musuh kalian… Paham anak-anak?”“Paham buu!”“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Islam,Bu?” tanya mereka.
“Sesungguhnya dahulu mereka terang-terangan menyerang, semisal Perang Salib, Perang Tartar, Perang Badar dan lain-lain. Tapi sekarang tidak lagi. Karena musuh-musuh Islam sadar kalau Islam tidak dapat di rusak dengan cara konvensional seperti itu.”
“Begitulah Islam… Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya ambruk. Tapi kalau diserang serentak terang- terangan, mereka akan bangkit serentak, baru mereka akan sadar.”
Kalau saja ummat Islam di Ambon, Poso, Palestin, Iraq, Afghanistan, Bosnis, dll tidak diserang, mungkin umat Islam akan lengah terhadap sesuatu yang sebenarnya selalu mengincar mereka.“Paham anak-anak?” “Paham Buu.”
“Kalau begitu, kita selesaikan pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdoa dahulu sebelum pulang…”
Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masingdi kepalanya.
Sumber: www.r4hm4y4nti.blogspot.com
Foto Gunung Merapi Setelah Status Siaga
Aktivitas vulkanik Gunung Merapi yang sebelumnya berstatus waspada meningkat menjadi siaga, Jumat (22/10/2010). Data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Badan Geologi di Pos Pengamatan Gunung Merapi Kaliurang menunjukkan, peningkatan status ini terjadi mulai Kamis (21/10/2010) pukul 18.00 WIB.
Meningkatnya status Merapi menjadi “siaga”, tidak menjadikan aktivitas sehari-hari para warga sekitar gunung berhenti. Tampak beberapa warga Desa Kaliadem, Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan masih mencari rumput di sekitar lereng gunung. “Suara gemuruh memang terdengar jelas, tapi titk api belum terlihat,” kata Reno, seorang penjual makanan yang masih membuka warungnya di sekitar obyek wisata Kaliadem.
Sumber: www.tribunenews.com
Meningkatnya status Merapi menjadi “siaga”, tidak menjadikan aktivitas sehari-hari para warga sekitar gunung berhenti. Tampak beberapa warga Desa Kaliadem, Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan masih mencari rumput di sekitar lereng gunung. “Suara gemuruh memang terdengar jelas, tapi titk api belum terlihat,” kata Reno, seorang penjual makanan yang masih membuka warungnya di sekitar obyek wisata Kaliadem.
Sumber: www.tribunenews.com
Langganan:
Postingan (Atom)