Selasa, 28 Desember 2010

Stop Politisasi Timnas Sepakbola Kita!

Stop Politisasi Sepakbola!  

Alfred Riedl tak cukup kuasa memendam kekecewaan atas kekalahan telak 0-3 yang diperoleh timnas Indonesia saat ditaklukkan Malaysia.

Pelatih tim Garuda berdarah Austria ini menilai ada kendala nonteknis yang membuat permainan timnas kacaubalau.

Sungguh ironi, kata Riedl, gegap gempita kemenangan beruntun yang ditorehkan Indonesia sejak babak penyisihan sampai semifinal, seakan sirna ketika konsentrasi Firman Utina dkk dirusak oleh kegiatan tetek bengek yang tak ada kaitannya dengan sepak bola.

Sampai terakhir kali, ia harus bersitegang dengan pengurus PSSI saat menolak acara jamuan makan dari Menpora Andi Mallarangeng. Riedl berpendapat konsentrasi timnas harus terjaga dari urusan ecek-ecek menjelang laga final pertama yang digelar Minggu (26/12) kemarin.

Apa yang dikhawatirkan Riedl terbukti di lapangan. Mental pemain timnas, yang seketika saja menjadi bintang di media massa, meleleh saat gawang tim Merah Putih dibobol secara beruntun oleh pasukan Harimau Malaya.

"Inilah sepakbola," kata Riedl. Ia hanya ingin menyakinkan publik jika sepakbola bukanlah sekedar permainan 90 menit di lapangan hijau. Namun, lebih daripada itu, konsentrasi, kebugaran dan semangat tim yang tetap terjaga selalu dibutuhkan para pemain dari sebelum bertanding maupun sesudahnya.

Tapi apa yang terjadi di dalam negeri saat timnas melangkah ke final. Kebanggaan suporter terhadap timnas menjadi komoditas politik bagi para elit politik di tanah air. Mereka saling berebut tempat mencari keuntungan politik, saat suporter mengeluk-elukan tim kebanggannya.

Inilah, barangkali, dilema yang dihadapi Riedl. Ia tak kuasa menahan tarik-menarik kepentingan di antara pejabat negara dan para elit politik.

Euforia masyarakat terhadap timnas tak lebih dari sekedar proses politisasi. Di satu sisi, sulit mengingkari, ada berbagai fakta yang cukup mencemaskan hingga akhirnya timnas gagal memperoleh hasil maksimal dalam partai puncak kemarin.

Demi memenuhi hasrat petinggi partai politik, timnas dengan terpaksa menerima tawaran PSSI untuk mengunjungi  rumah kediaman salah satu tokoh nasional, yang diikuti kunjungan ke sebuah pesantren di Jakarta. Belum lagi, para wartawan yang menumpang satu pesawat bersama pemain saat bertolak ke Malaysia.

Riedl merasa para pemain seperti kurang terlindungi dari kejaran para pencari berita, mulai dari pinggir lapangan, latihan, sampai di pesawat.

"Melihat cara timnas bermain, kekalahan ini akibat politisasi yang dilakukan pengurus PSSI yang terlalu menaruh harapan besar tanpa melihat kondisi yang sebenarnya," ungkap mantan pengurus PSSI Eddy Elison.

Pengurus PSSI yang dikomandoi Nurdin Halid terlena dengan kemenangan yang telah dicapai timnas dan mengklaim keberhasilan itu untuk menguntungkan PSSI.

Mereka sibuk membalikkan opini masyarakat terhadap lemahnya kinerja PSSI. Sehingga induk sepakbola tanah air itu banyak membuat acara ecek-ecek yang mengabaikan pembinaan mental pemain dan mengganggu konsentrasi pemain untuk mempersiapkan diri secara maksimal.

Para pemain Timnas belum memiliki mental baja untuk menghadapi laga final. Terlebih, pembinaan mental dan teknis menjadi titik lemah yang selama ini terjadi di PSSI.

"Pemain tidak perlu dibawa-bawa menghadiri berbagai macam acara, terpenting adalah bagaimana menyiapkan mental mereka. Baru saja mendapatkan kerikil kecil oleh gangguan sinar laser kok seperti sudah tidak berdaya," ujarnya.

Keseluruhan fakta ini menjadi ironi saat PSSI menyebut sumber dana yang selama ini menghidupi induk sepakbola Indonesia itu. Di satu sisi, Nurdin Halid mengklaim skuad timnas yang ada sekarang hasil dari kompetisi Liga Super Indonesia yang dikelola PSSI sejak beberapa tahun lalu. Padahal, faktanya tidak sepenuhnya seperti itu. 


Tuntut Jangan Politisasi Timnas


Di sisi lainnya, peranan media elektronik (televisi) yang terlalu mengeksploitir para pemain semakin membuat runyam permainan timnas. Padahal skuad timnas belum teruji, sebab kemenangan besar yang diperoleh di babak penyisihan belum menjadi ukuran kekuatan timnas yang sesungguhnya.

Dalam keseluruhan persoalan ini, sistem pembinaan PSSI sudah layak dirombak total. "Saya kira sudah saatnya Nurdin Halid meletakkan jabatannya karena secara fundamental benar-benar sudah gagal dalam memajukan sepakbola di tanah air," tuturnya.

Lepas dari segala hal di atas, politisasi terhadap sepakbola sudah harus disingkirkan demi dan untuk kemajuan sepakbola Indonesia. Kita mafhum betul, ada kepentingan politik tengah bermain untuk memperlihatkan mereka berperan besar dalam kemajuan sepakbola. Aroma politisasi sulit untuk diingkari.

Dan kita bisa menggunakan momentum ini untuk menuntut PSSI, para elit politik dan pejabat negara menapikkan kepentingan pribadi terhadap persepakbolaan nasional. Sebab, hanya ada dua aspek yang cukup menentukan demi kemajuan spekbola Indonesia, konsentrasi dan konsistensi membina sepakbola.


Sumber: wartanews.com

Timnas, Euforia Media, dan Nasionalisme Latah Kita

http://www.koran-jakarta.com/gambarberita/2010-12-14/Rona/Berita%20Utama%20Rona/GambarBeritaKoranJakarta20101213191147.jpg

Baiklah Kita patut berbangga dengan prestasi Tim nasional sepak bola Kita yang secara luar biasa mampu lolos ke final piala AFF tahun ini, luar biasa karena memang sudah sejak lama sepak bola Kita terpuruk dan tiba-tiba Kita dapat hadiah akhir tahun dari Timnas yang berprestasi. Lalu mendadak kesadaran Kita tergugah dan timbul pula rasa nasionalisme dan cinta negeri di diri Kita. Namun yang perlu sedikit Kita kaji ialah: bagaimana kalau ternyata nasionalisme Kita latah Cuma karena dipicu oleh euforia produksi media massa? Tentu pertama perlu ditegaskan bahwa maksud Kita bukan mendiskreditkan tim nasional maupun pesimistik dan merendahkan Mereka, karena seyogyanya timnas memang perlu dipuji dan di support agar mampu maju lebih jauh lagi, yang perlu Kita ketahui ialah pengaruh media massa yang sedemikian besar dalam membentuk opini publik dan secara alam bawah sadar menimbulkan kepercayaan pada diri Kita sehingga apapun yang dikatakan media langsung Kita percaya tanpa adanya bantahan. Itu yang coba Kita gali maknanya.

Ada sebuah teori yang dikembangkan oleh teoritikus Sandra Ball-Rokeach and Melvin DeFleur yang disebut “The Dependency Theory” alias “Teori Ketergantungan.” Dalam teori ini disebutkan bahwa “semakin seseorang tergantung pada media massa untuk memenuhi kebutuhannya, maka media akan menjadi semakin penting bagi seseorang itu. Kemudian media akan menjadi sangat berkuasa kepada seseorang tersebut, dan lama-kelamaan media akan berkuasa atas hidup seseorang itu.” Begitu tergantung Kita pada sebuah produk media sehingga tanpa sadar Kita memang sudah sampai pada proses dimana media menjadi sangat urgen dalam aspek kehidupan, Kita begitu percaya pada semua yang dikatakan media tanpa mau memilah mana yang benar dan mana yang blunder. Salah satu kasus yang cukup membuat Saya geli sendiri adalah di sebuah akun Twitter seorang bertanya dalam tweet nya “eh lagi dijalan nih menuju Benteng Vrederburg, ada yang tahu enggak jalannya kemana?” apa yang lucu hingga Saya geli sendiri? Sebenarnya pertanyaan itu tidak lucu dan biasa saja, bertanya jalan. Yang lucu dan perlu diperhatikan adalah mental pemilik akun tersebut yang sudah terlalu tergantung pada media (dalam hal ini Twitter) sehingga dia memutuskan bertanya arah jalan pada orang di Twitter. 

Coba ditelaah secara logika, bukankah akan lebih efektif bila orang tersebut turun dari motornya sejenak lalu bertanya langsung pada orang di pinggir jalan ketimbang harus bertanya di Twitter dan harus menunggu sekian lama ada orang yang menjawab pertanyaannya tersebut? Namun secara alam bawah sadar memang pola pikir dependensia media itu sudah tertanam jadi pemilik akun itu lebih percaya pada Twitter daripada bertanya orang di jalan, walau tentu itu lebih nonefisien. Contoh lain adalah sebut saja si A yang berasal dari Jakarta yang panas tiba-tiba pindah ke Bogor yang sering turun hujan, karena pindah Kota maka Si A merasa membutuhkan membaca koran, atau melihat TV, maupun di internet tentang ramalan cuaca hari ini agar tahu apa akan hujan. Satu hari tiba-tiba Dia terputus dari media yang dikonsumsi nya tiap hari, internet putus, TV mati, koran tak dikirim. Alih-alih melihat keluar apa hari ini akan hujan atau percaya pada intuisi bahwa mungkin hari ini tak akan hujan, si A memilih tak keluar rumah sebab Dia tak mendapat ramalan cuaca hari ini dari media, sebuah sumber yang paling dipercayanya dalam hidup.

Maka dengan mengacu pada teori ketergantungan media tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: “bagaimana kalau ternyata rasa cinta negeri, nasionalisme, serta dukungan Kita pada timnas sekarang ini hanya karena Media memaksa alam bawah sadar Kita agar percaya hal itu, dan bukan berasal dari lubuk hati Kita yang paling dalam?” karena porsi pemberitaan media massa yang Kita konsumsi tiap hari sangat berlebih dan cenderung bias pula, dan semua Kita telan mentah-mentah. Padahal media tentu membuat berita itu bertendensi pada penaikkan oplah dan rating maka sebuah isu yang sepertinya berpotensi meningkatkan kredibilitas media itu harus di blow up sebanyak mungkin bahkan kalau perlu didramatisir agar lebih menarik minat. Dalam makalahnya “pengantar Komunikasi Massa” Nurudin menyebutkan “Media massa dan budaya massa telah mempromosikan banyak hal yang ikut menjadi sasaran teori kritis. Bahkan ketika media massa tidak melihat sebagai sumber masalah khusus, mereka dikritik untuk memperburuk atau melindungi masalah dari yang diidentifikasi atau disebut dan dipecahkan. Contohnya, seorang teoritikus berpendapat bahwa isi praktik produksi para praktisi media tidak hanya menyebabkan tetapi juga mengabadikan masalah.” Maksudnya ialah media massa seringkali harus menambahkan bumbu-bumbu penyedap dalam sebuah informasi agar para audience berminat mengkonsumsi informasi itu, dan sialnya Kita ini lagi-lagi tanpa sadar ikut termakan propaganda budaya massa itu. 

Kita lebih butuh sebuah hiburan ketimbang isi informasi itu, Kita lebih suka kemasannya yang wah daripada esensi informasi yang dikandungnya. Maka porsi pemberitaan luar biasa media lokal akan Timnas Indonesia mau tak mau tak mau memunculkan euforia massal yang melahirkan nasionalisme latah yang muncul tiba-tiba selama Piala AFF terselenggara. Sebuah pertanyaan lantas timbul: seandainya media tidak mengatakan “kemenangan timnas sepakbola Indonesia menimbulkan nasionalisme pada penduduk Indonesia” apakah Kita tetap memiliki rasa nasionalisme itu? Kalo iya kenapa sebelumnya euforia nasionalisme ini tak muncul ke permukaan? Kasus yang sama persis terjadi dimana Kita tahu kalau Kita butuh dan harus makan Burger setelah Kita melihat iklannya di TV, padahal sebelum melihat iklan itu Kita tak butuh makan burger dan hidup Kita baik-baik saja tanpanya.

Sebagai penutup, lagi-lagi ini bukan bentuk pesimis akan timnas, justru harusnya ini jadi perenungan Kita. Apakah dukungan Kita pada timnas sepakbola Indonesia benar-benar dari lubuk hati yang terdalam atau kesadaran ini adalah kesadaran (palsu) yang timbul karena digugah media massa yang orientasi utamanya adalah atas nama rating dan oplah? Agaknya niat baik Kita memberi support dan tekad nasionalisme pada timnas perlu didekonstruksi dan dievaluasi. Agar timnas sepakbola negeri yang memang bermain bagus dan patut berprestasi itu benar-benar dapat membuat prestasi luar biasa di kancah internasional karena mendapat dukungan yang sesungguhnya dari lubuk hati terdalam warga Indonesia.

(sebuah perenungan ketika menanti final piala AFF dimana Indonesia akan melawan Malaysia. Jadi, Kita nonton bola dan support timnas karena memang suka dan sadar, atau karena tanpa sadar media massa membentuk mental Kita?)

Aris Setyawan
Yogyakarta, 24 Desember 2010

Sumber: kompasiana.com

Nasionalisme, Kapitalisasi dan Politisasi Sepak Bola

1inabahrain 1007 1 Nasionalisme, Kapitalisasi dan Politisasi Sepak Bola (Kajian Kritis Euforia Timnas dan Kemunculan LPI)
Antusiasme Calon Penonton Timnas di Piala AFF 2010 

Beberapa saat terakhir perhatian kita semua Bangsa Indonesia seolah-olah terpusatkan pada kiprah dan polah sebelas lelaki perkasa diatas lapangan hijau. Di bawah asuhan pelatih kawakan asal Austria, sebelas lelaki tersebut telah menyihir puluhan ribu pasang mata di stadion dan jutaan pasang mata lainnya melalui layar kaca. Hadirnya beberapa bintang naturalisasi dan rancaknya permainan team menjadi campuran resep yang mampu memikat siapapun yang menikmatinya.

 Nasionalisme, Kapitalisasi dan Politisasi Sepak Bola (Kajian Kritis Euforia Timnas dan Kemunculan LPI)
Timnas Indonesia menjelang laga pada penyisihan AFF 2010 

Kegagahan mereka diatas lapangan menarik antusiasme dan minat yang luar biasa dari anak bangsa ini. Berbondong-bondong merekapun berebut tiket pertandingan yang semula, bahkan hingga pertandingan penyisihan terakhir piala AFF 2010 88.000 kapasitas Stadion Utama Gelora Bung Karno hanya mampu terisi setengah lebih sedikit. Sedikit lebih banyak dari pertandingan Timnas sebelum euforia terjadi. Entah apa yang masyarakat tunggu, sehingga baru pada saat semifinal Stadion terbesar di Nusantara dan pernah menjadi yang terbesar di Asia Tenggara ini baru penuh sesak dengan atribut dan yel-yel mendukung Laskar Garuda.

Sejenak, setiap kali menjelang pertandingan dan saat penjualan tiket berlangsung, Sekitar SU GBK pun seolah-olah menjadi pusat keramaian baru di Jakarta. Lalu lalang crew Media, harapan menyaksikan pertandingan, dan kecemasan jika tidak mendapatkan tiket pertandingan menjadi pemandangan yang lumrah kita saksikan. Hal inipun dimanfaatkan dengan baik dan ahli oleh beberapa orang yang memiliki kepentingan pribadi untuk memperkaya diri sendiri. Disamping itu, ulasan di berbagai media tentang Team Merah Putih dan berbagai hal disekitarnya seolah membangunkan kembali rasa Nasionalisme kita yang seolah-olah telah tidur panjang.

Hadirnya Laskar Perkasa yang seolah-olah baru keluar dari kawah Chandradimuka seolah-olah menjadi harapan baru rakyat negeri ini yang tengah berada di tengah kondisi yang carut marut. Kondisi carut marut yang belum dapat diatasi oleh pemerintah mengakibatkan rakyat negeri ini mendambakan sosok pahlawan. Dan kemunculan Laskar Garuda yang gagah perkasa seolah-olah menjadi jawaban akan apa yang didambakan rakyat Zamrud Khatulistiwa ini.

Membuncahnya antusiasme masyarakat yang terjadi menjadi ketertarikan tersendiri bagi mereka yang memiliki hasrat, ambisi dan kepentingan. Dengan didukung oleh kekuasaan, akses, dan kekayaan yang dimiliki mencoba berbagai daya dan upaya untuk memanfaatkan situasi yang terjadi. Sepak Bola seolah-olah menjadi alat kampanye baru sekaligus alat untuk mencapai kepentingan tertentu yang efektif. Terlebih lagi dengan dukungan media nasional yang akan mendongkrak popularitas menjadi lebih efektif. Dengan sedikit tambahan bumbu, popularitas tersebut akan menjadi simpati dan pada saatnya nanti, akan dapat menjadi sebuah pilihan politik.

Hal tersebut diatas, mau tidak mau membagi energi dan konsetrasi para punggawa Laskar Garuda yang seharusnya memusatkan konsentrasi dan do’anya untuk menghadapi pertandingan selanjutnya menjadi terpecah-pecah dengan keterpaksaan untuk mengikuti dan menghadiri berbagai program dan acara yang disusun oleh rezim penguasa Perserikatan Sepakbola.

Sejatinya, Team Nasional adalah produk dari sebuah system yang kompleks dan panjang. Sebagaimana Sepak Bola sendiri, merupakan sebuah system yang melibatkan banyak hal dan banyak pihak. Di mulai dari pembinaan yang baik dan tersistem terhadap bibit-bibit berbakat anak negeri, kemudian diterjunkan dalam kompetisi berjenjang yang berkualitas, akan menghasilkan sebuah team berkualitas yang diisi oleh bakat-bakat yang terdidik dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.

Di negeri ini, Sepak Bola sendiri seolah-olah sudah melampaui lebih dari sekedar batasan olah raga. Namun, sudah menjadi sebuah sub kultur tersendiri. Jika kita menengok kedalam, dalam kompetisi yang berlangsung, Team peserta kompetisi yang didalamnya memiliki sebuah system yang sudah berjalan bertahun-tahun termasuk diantaranya adalah pembinaan pemain usia dini, dan kompetisi internal, masing-masing team tersebut kemudian membentuk sebuah system yang lumrah kita kenal dengan “Liga”. Masing-masing peserta kompetisi tersebut yang dipisahkan oleh wilayah geografis juga memiliki dukungan dari masyarakat lokal dengan berbagai ciri khas dan keunikannya. Dukungan yang besar dan luar biasa, kerap kita menyebut dengan loyalitas dan fanatisme. Pada beberapa team peserta Liga, dukungan yang besar ini menjadi modal team untuk berpartisipasi dalam kompetisi. Sebut saja Arema Indonesia yang mengandalkan sebagian besar dana operasionalnya dalam mengikuti kompetisi dari pemasukan tiket suporter.

Pendek kata, sebuah kompetisi yang terbangun merupakan sebuah proses panjang bertahun-tahun dan dengan keterlibatan banyak pihak, serta bersifat bottom up. Agar kompetisi berjalan semakin baik maka perlu untuk ditangani secara lebih profesional, sehingga akan terjadi multiplayer effect yang baik. Misalkan, terbukanya ruang-ruang bisnis yang melibatkan dan menguntungkan banyak pihak termasuk team itu sendiri.

Ketika muncul sebuah wacana hadirnya sebuah kompetisi baru yang menggelontorkan dana hingga milyaran rupiah kepada masing-masing team peserta kompetisi, menimbulkan minat tersendiri bagi beberapa orang individu di beberapa daerah. Di tengah kondisi perekonomian negeri yang belum tertata dengan baik, kucuran dana milyaran rupiah tentunya akan menyebabkan air liur para pegiat proyek di daerah menetes deras.

Dengan serta merta, Itikad baik untuk menciptakan liga yang sehat dengan mekanisme bisnis terkandung didalamnya disambut oleh para pegiat proyek didaerah dengan berlomba-lomba membuat team baru yang belum memiliki basis massa pendukung dan sistem pembinaan yang sistemik.

Dalam sekejap, puluhan klub baru bermunculan di berbagai daerah. Dan kucuran dana milyaran rupiahpun segera tersebar pula ke berbagai daerah. Mereka seolah-olah lupa bahwa system Kompetisi yang diciptakan mengkolaborasikan olah raga dan mekanisme bisnis yang berkelanjutan. Sehingga di dalamnya dibutuhkan pembinaan yang tersystem, antusiasme dan dukungan masyarakat yang memenuhi stadion sebagai pasar dari bisnis tersebut. Karena, sebuah Bisnis atau Usaha tanpa pasar hanya akan menjadi investasi merugi jangka pendek yang sia-sia dan dimanfaatkan dengan rakus oleh pegiat proyek untuk memperkaya diri sendiri.

Dengan demikian Liga yang seharusnya menjadi Liga Primer hanya akan menjadi tak lebih dari Liga Proyek.
Kita semua tidak menutup mata, bahwa kompetisi yang sedang berjalan dibawah pengelolaan rezim yang menutup mata dan telinga terhadap kondisi dan tuntutan sekitar adalah kompetisi yang amat sangat tidak sehat. Namun, kompetisi ini telah berjalan bertahun-tahun dan telah berakulturasi dengan masyarakat, bahkan membentuk sub kultur tersendiri. Oleh karena itu, solusi untuk memperbaikinya bukanlah dengan membentuk system kompetisi baru yang diisi oleh klub-klub baru pula. Akan tetapi dengan mengurai secara perlahan dan satu persatu untuk mencari benang yang kusut. Ketika bagian yang kusut/rusak sudah ditemukan, tinggal kita lakukan upaya perbaikan atau jika tidak memungkinkan dilakukan pula pergantian spare part di beberapa bagian.

Sumber: aremasenayan.com
Related Posts with Thumbnails