Kamis, 22 Juli 2010

Antara Pagi dan Malam Hari


Tenanglah hatiku, karena langit tak pun mendengari.
Tenanglah, karena bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, karena roh-roh malam tak menghiraukan bisikan rahasiamu,
dan bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi.

Tenanglah, hatiku.
Tenanglah hingga fajar tiba, kerana dia yang menanti pagi dengan sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan.
Dia yang mencintai cahaya, dicintai cahaya.

Tenanglah hatiku, dan dengarkan ucapanku.
Dalam mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang di atas kawah gunung berapi yang meletus.

Kulihat sekuntum bunga Lili menyembulkan kelopaknya di balik salju.
Kulihat seorang bidadari telanjang menari-menari di antara batu-batu kubur.
Kulihat seorang anak tertawa sambil bermain dengan tengkorak-tengkorak.
Kulihat semua makhluk ini dalam sebuah mimpi.
Ketika aku terjaga dan memandang sekelilingku,
kulihat gunung berapi memuntahkan nyala api, tapi tak kudengar murai bernyanyi, juga tak kulihat dia terbang.
Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan lembah, dilapisi warna putih mayat dari bunga lili yang membeku.
Kulihat kuburan-kuburan, berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman yang tenang.
Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian, juga tidak yang tertunduk dalam doa.

Saat terjaga, kulihat kesedihan dan kepedihan; ke manakah perginya kegembiraan dan kesenangan impian?

Mengapa keindahan mimpi lenyap,
dan bagaimana gambaran-gambarannya menghilang?
Bagaimana mungkin jiwa tertahan sampai sang tidur membawa kembali roh-roh dari hasrat dan harapannya?

Dengarlah hatiku, dan dengarlah ucapanku.
Semalam jiwaku adalah sebatang pohon yang kokoh dan tua, menghunjam akar-akarnya ke dasar bumi dan cabang-cabangnya mencekau ke arah yang tak terhingga.

Jiwaku berbunga di musim bunga, memikul buah pada musim panas.
Pada musim gugur kukumpulkan buahnya di mangkuk perak dan kuletakkannya di tengah jalan.
Orang-orang yang lalu lalang mengambil dan memakannya, serta meneruskan perjalanan mereka.

Kala musim gugur berlalu dan gita pujinya bertukar menjadi lagu kematian dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali satu-satunya buah di talam perak.
Kuambilnya dan memakannya, dan merasakan pahitnya bagai kayu gaharu, masam bak anggur hijau.

Aku berbicara dalam hati, ”Bencana bagiku, karena telah kutempatkan sebentuk laknat di dalam mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam perutnya.”
Apa yang telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu yang telah meresap dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu yang telah meneguk cahaya matahari?”
Lalu kucabut pohon jiwaku yang kukuh dan tua.
Kucabut akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas dan tumbuh dengan subur.
Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan kenangan seribu musim bunga dan seribu musim gugur.Dan kutanam sekali lagi pohon jiwaku di tempat lain.
Kutanam dia di padang yang tempatnya jauh dari jalan-jalan waktu.
Kulewatkan malam dengan terjaga di sisinya, sambil berkata, ”Mengamati bersama malam yang membawa kita mendekati kerlipan bintang.”
Aku memberinya minum dengan darah dan airmataku, sambil berkata, ”Terdapat sebentuk keharuman dalam darah, dan dalam airmata sebentuk kemanisan.”
Tatkala musim bunga tiba, jiwaku berbunga sekali lagi.

Pada musim panas jiwaku menyandang buah.
Tatkala musim gugur tiba, kukumpulkan buah-buahnya yang matang di talam emas dan kuletakkan di tengah jalan.
Orang-orang melintas, satu demi satu atau dalam kelompok-kelompok, tapi tak satu pun menghulurkan tangannya untuk mengambil bahagiannya.
Lalu kuambil sebuah dan memakannya, merasakan manisnya bagai madu pilihan, lezat seperti musim bunga dari syurga, sangat menyenangkan laksana anggur Babylon, wangi bak wangi-wangian dari melati.
Aku menjerit, ”Orang-orang tak menginginkan rahmat pada mulutnya atau kebenaran dalam usus mereka, karena rahmat adalah puteri airmata dan kebenaran putera darah!”
Lalu aku beralih dan duduk di bawah bayangan pohon sunyi jiwaku di sebuah padang yang tempatnya jauh dari jalan waktu.

Tenanglah, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, karena langit menghembus bau hamis kematian dan tak bisa meminum nafasmu.
Dengarkan, hatiku, dan dengarkan aku bicara.
Semalam fikiranku adalah kapal yang terumbang-ambing oleh gelombang laut dan digerakkan oleh angin dari pantai ke pantai.
Kapal fikiranku kosong kecuali untuk tujuh cawan yang dilimpahi dengan warna-warna, gemilang berwarna-warni.
Sang waktu datang kala aku merasa jemu terapung-apungan di atas permukaan laut dan berkata, “Aku akan kembali ke kapal kosong fikiranku menuju pelabuhan kota tempat aku dilahirkan.”
Tatkala kerjaku selesai, kapal fikiranku Aku mulai mengecat sisi-sisi kapalku dengan warna-warni – kuning matahari terbenam, hijau musim bunga baru, biru kubah langit, merah senjakala yang menjadi kecil.

Pada layar dan kemudinya kuukirkan susuk-susuk menakjubkan, menyenangkan mata dan menyenangkan penglihatan.
Tatkala kerjaku selesai, kapal fikiranku laksana pandangan luas seorang nabi, berputar dalam ketidakterbatasan laut dan langit.

Kumasuki pelabuhan kotaku, dan orang muncul menemuiku dengan pujian dan rasa terima kasih.
Mereka membawaku ke dalam kota , memukul gendang dan meniup seruling.
Ini mereka lakukan kerana bahagian luar kapalku yang dihias dengan cemerlang, tapi tak seorang pun masuk ke dalam kapal fikiranku.
Tak seorang pun bertanya apakah yang kubawa dari seberang lautan.
Tak seorang pun tahu kenapa aku kembali dengan kapal kosongku ke pelabuhan.

Lalu kepada diriku sendiri, aku berkata, ”Aku telah menyesatkan orang-orang, dan dengan tujuh gelas warna telah kudustai mata mereka.”
Setelah setahun aku menaiki kapal fikiranku dan kulayari di laut untuk kedua kalinya.
Aku berlayar menuju pulau-pulau timur, dan mengisi kapalku dengan dupa dan kemenyan, pohon gaharu dan kayu cendana.
Aku berlayar menuju pulau-pulau barat, dan membawa biji emas dan gading, batu merah delima dan zamrud, dan sulaman serta pakaian warna merah lembayung.
Dari pulau-pulau selatan aku kembali dengan rantai dan pedang tajam, tombak-tombak panjang, serta beraneka jenis senjata.

Aku mengisi kapal fikiranku dengan harta benda dan barang-barang lhasil bumi dan kembali ke pelabuhan kotaku, sambil berkata, “Orang-orangku pasti akan memujiku, memang sudah pastinya. Mereka akan menggendongku ke dalam kota sambil menyanyi dan meniup trompet.”

Tapi ketika aku tiba di pelabuhan, tak seorangpun keluar menemuiku.
Ketika kumasuki jalan-jalan kota , tak seorang pun memerhatikan diriku.
Aku berdiri di alun-alun sambil mengutuk pada orang-orang bahwa aku membawa buah dan kekayaan bumi.
Mereka memandangku, mulutnya penuh tawa, cemuhan pada wajah mereka.
Lalu mereka berpaling dariku.

Aku kembali ke pelabuhan, kesal dan bingung.
Tak lama kemudian aku melihat kapalku.
Maka aku melihat perjuangan dan harapan dari perjalananku yang menghalangi perhatianku.

Aku menjerit.
Gelombang laut telah mencuri cat dari sisi-sisi kapalku, tak meninggalkan apa pun kecuali tulang belulang yang bertaburan.
Angin, badai dan terik matahari telah menghapus lukisan-lukisan dari layar, memudarkan ia seperti pakaian berwarna kelabu dan usang.
Kukumpulkan barang-barang hasil dan kekayaan bumi ke dalam sebuah perahu yang terapung di atas permukaan air.

Aku kembali ke orang-orangku, tapi mereka menolak diriku kerana mata mereka hanya melihat bahagian luar.

Pada saat itu kutinggalkan kapal fikiranku dan pergi ke kota kematian.
Aku duduk di antara kuburan-kuburan yang bercat kapur, merenungkan rahsia-rahsianya.

Tenanglah, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, meskipun prahara yang mengamuk mencerca bisikan-bisikan batinmu, dan gua-gua lembah takkan menggemakan bunyi suaramu.
Tenanglah, hatiku, hingga fajar tiba.
Kerana dia yang menantikan dengan sabar hingga fajar, pagi hari akan memeluknya dengan semangat.

Nun di sana !
Fajar merekah, hatiku.
Bicaralah, jika kau mampu bicara!
Itulah arak-arakan sang fajar, hatiku!
Akankah hening malam melumpuhkan kedalaman hatimu yang menyanyi menyambut fajar?

Lihatlah kawanan merpati dan burung murai melayang di atas lembah.
Akankah kengerian malam menghalangi engkau untuk menduduki sayap bersama mereka?

Para pengembala memandu kawanan dombanya dari tempat ternak dan kandang.
Akankah roh-roh malam menghalangimu untuk mengikuti mereka ke padang rumput hijau?
Anak lelaki dan perempuan bergegas menuju kebun anggur.
Kenapa kau tak berganjak dan berjalan bersama mereka?
Bangkitlah, hatiku, bangkit dan berjalan bersama fajar, karena malam telah berlalu. Ketakutan malam lenyap bersama mimpi gelapnya.
Bangkitlah, hatiku, dan lantangkan suaramu dalam nyanyian, karena hanya anak-anak kegelapan yang gagal menyatu ke dalam nyanyian sang fajar.

.:Khalil Gibran:.
Related Posts with Thumbnails