Minggu, 21 Agustus 2011

DPR Tidak Layak Memilih Pimpinan KPK (?)

1313910739824473932 


Pansel capim (Panitia Seleksi Calon Pimpinan) KPK telah menyeleksi 8 orang capim KPK yang terdiri dari: 1.Bambang Widjojanto 2.Yunus Husein 3.Abdullah Hehamahua 4.Handoyo Sudrajat 5.Abraham Samad 6.Zulkarnaen 7.Adnan Pandu Praja 8.Aryanto Sutadi.

Pansel menilai ke 8 nama tsb adalah orang-orang yang layak duduk sebagai pimpinan KPK pada periode mendatang. Dapatkah penilaian Pansel itu dipercaya oleh masyarakat?

Untuk menjawab pertanyaan ini tentu saja kita harus melihat dulu siapa saja orang-orang yang duduk di Pansel tersebut? Selanjutnya kita bisa menilai apakah mereka yang duduk di Pansel tsb adalah orang-orang yang credible dan cukup layak untuk memilih capim KPK?


Susunan anggota Pansel & kredibilitasnya

Berikut ini adalah susunan anggota Pansel mulai dari ketua sampai kepada semua anggotanya:
Ketua: Patrialis Akbar  
Wakil Ketua: Irjen Pol (Purn) Drs MH Ritonga dan Dr H Soeharto, SH, MH 
Sekretaris merangkap Anggota: Dr H Ahmad Ubbe, SH, MH, APU.
 Anggota:  1.Prof Rhenald Kasali, PhD 2.Prof Dr Ichlasul Amal, MA 3.Prof Dr Tb Ronny R Nitibaskara 4.Prof Dr Saldi Isra, SH 5.Erry Riyana Hardjapamekas 6.Akhiar Salmi, SH, MH 7.Amir Hasan Ketaren, SH 8.Dr Imam Prasodjo, MA 9.Deliana Sajuti Ismudjoko, SH.

Dilihat dari orang-orang yang duduk dalam Pansel tsb, tampaknya dapatlah disimpulkan bahwa mereka cukup layak untuk memilih capim KPK, apalagi 8 orang yang telah dipilih mereka sebagai capim KPK adalah nama-nama yang cukup credible di masyarakat, terutama mereka yang disebut dalam urutan nomor 1 sampai nomor 4.

Perlu juga diketahui bahwa beberapa anggota Pansel memberi catatan penting terhadap beberapa capim KPK yang telah dipilih mereka. Catatan penting tsb di antaranya adalah sebagai berikut:
Urutan nomor capim KPK mulai dari nomor 1 sampai nomor 8 di buat berdasarkan ranking kualitas dari masing-masing capim. Anggota Pansel Pimpinan KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, menganjurkan DPR memilih orang-orang yang masuk dalam ranking 4 besar.

Anggota Pansel lainnya Rhenald Kasali mengatakan bahwa, 4 Nama yang paling atas adalah pilihan yang terbaik. Empat nama teratas itu menjadi rekomendasi pansel. “Empat itu yang paling top, kami berani rekomendasi.” (Detik.com:20-8-2011).


DPR Tidak Layak Memilih Pimpinan KPK (?)

Cukup layakkah para anggota DPR memilih pimpinan KPK yang telah diseleksi oleh Pansel yang terdiri dari tokoh masyarakat yang credible? Apakah tidak lebih baik jika pimpinan KPK itu dipilih dan ditetapkan saja oleh Pansel yang tentunya lebih bebas dari kepentingan politik?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu melihat dulu sejauh mana kepercayaan masyarakat saat ini terhadap DPR.

Kepercayaan masyarakat terhadap DPR saat ini sangat rendah. Lembaga ini pun kehilangan wibawa. Berbagai gagasan yang muncul dari wakil rakyat dinilai negatif, bahkan ditolak publik.

Hal itu mengemuka dalam seminar ”Penguatan dan Pembangunan Kapasitas Kelembagaan DPR RI” di Jakarta, Senin (4/4). Pembicara, antara lain, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas; mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla; peneliti politik Indonesia dari Australia, Kevin Evans; dan Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang.

Menurut Busyro, potensi korupsi di DPR sangat tinggi. Mengutip Survei Barometer Korupsi Global (Indonesia) tahun 2009, dia menunjukkan, DPR menjadi lembaga dengan potensi korupsi tertinggi di Indonesia dengan angka mencapai 4,4 atau hanya sedikit di bawah angka tertinggi, yaitu 5. Lembaga lain yang berpotensi korup adalah peradilan, partai politik, dan kepolisian (Rimanews: 5-4-2011).

Kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap DPR, kini ditambah lagi dengan kabar tak sedap yang mengatakan bahwa DPR sering mengintervensi KPK dalam pengusutan kasus-kasus korupsi. Menurut Wakil Ketua KPK M. Jasin, intervensi itu dilakukan melalui komunikasi telepon dan sidang dengar pendapat (Tempo interaktif:20-82011).

Sekali lagi kita perlu mempertanyakan apakah layak DPR memilih pimpinan KPK? Dilihat dari kepercayaan masyarakat yang begitu rendah terhadap DPR dan kelakuan mereka yang sering mengintervensi KPK, tentunya jawaban dari pertanyaan ini sudah jelas: “TIDAK LAYAK”.

Ketidaklayakan DPR untuk memilih pimpinan KPK, menjadi semakin jelas jika anda melihat sikap Ketua Komisi III DPR Benny K Harman yang belum apa-apa sudah menegaskan bahwa dalam seleksi fit and propet test pimpinan KPK nantinya DPR akan menggunakan pertimbangan politik semata. 

Menurut Benny, setiap fraksi akan memilih yang searah dengan visi politik partainya bukan hanya soal bersih dan integritasnya. DPR adalah lembaga politik. Sehingga dipandangnya sangat wajar jika DPR menggunakan pertimbangan politik untuk memilih calon pimpinan KPK yang dipandang satu visi dengan parpol.

Ada catatan penting dari pernyataan Benny di atas, yaitu: DPR akan memilih calon pimpinan KPK yang SATU VISI dengan parpol. Dengan sendirinya calon pimpinan KPK yang sangat credible sekalipun, tapi tidak satu visi dengan parpol tidak akan terpilih walaupun ia masuk ranking pertama dalam seleksi pansel.
Tampaknya di masa mendatang perlu dipikirkan agar undang-undang memungkinkan pemilihan pimpinan KPK ditentukan oleh Pansel saja dengan catatan Pansel harus terdiri dari tokoh masyarakat yang sangat credible. Ada baiknya juga jika di antara anggota Pansel itu ada anggota DPR yang masih punya idealisme dan hati nurani.

Abdi

Sumber: www.kompasiana.com

Akhlak Korupsi



I. Korupsi di Indonesia

Kita kerap kali mendengar adanya pemberian bingkisan dalam bentuk karangan bunga, amplop uang, barang elektronik, motor, bahkan sampai sebuah mobil (mewah!!!) sehubungan dengan jabatan tertentu seseorang . Bahkan di kantor-kantor (pemerintahan) kita kerap kali melihat bahkan mengalami sendiri adanya peredaran uang berupa pemberian uang (tips) untuk memperlancar kegiatan transaksi misalnya dalam pembuatan surat tanah, Ijin lokasi usaha, pembuatan SIM, STNK, pembuatan kartu penduduk, dan lain lain. Siapa yang tidak pernah melihat adanya pungli (pungutan liar) dijalan-jalan protokol atau dengan istilah damai ditempat, lempar korek api kosong, sampai legalisasi tempat/kegiatan yang sebenarnya illegal setelah melalui proses yang namanya UUD (ujung ujungnya duit) sehingga menjadi legal? Kedua hal tersebut sama saja, hanya bedanya tidak langsung dan langsung diterima nilai uangnnya. Maka tidak heran apabila hal-hal seperti ini mewabah sampai ke korupsi atau pungutan kecil-kecilan seperti penyunatan dana subsidi tunai bbm, penyunatan bantuan untuk raskin (rakyat miskin), bahkan mel-mel (pungutan-pungutan) di tempat-tempat umum.

Kita pernah mendengar adanya kasus suap pengusaha probosutejo senilai 16 milyard kepada mejelis hakim agung dalam kasus penyelewengan dana hutan tanaman reboisasi. Anehnya, penyuapan ini dibocorkan justru oleh probo sendiri. Korupsi dan penyuapan juga kita dengar sebelumnya terhadap Komisi Pemilihan Umum yang menyeret Mulyana W. Kusuma dan kawan-kawan. Belum lagi penyelewengan terhadap Dana Abadi Ummat Departemen Agama yang dilakukan oleh mantan menteri agama sendiri. Atau dugaan korupsi dijajaran kepolisian Negara setelah terdeteksi adanya rekening tidak wajar para petinggi polri, juga dugaan korupsi sebesar 89,9 milyard PT.POS indinesia yang kian kabur dan tidak tuntas, kemudian juga dugaan korupsi sebesar 297,61 milliard rupiah PT. Pelayaran Nasional Indonesia. 

Andapun mungkin mendengar adanya pemberian uang oleh PT. Freeport yang jumlahnya sampai ratusan ribu dollar kepada satuan pengamanan di papua. Ada juga sinyalemen kasus suap dalam proses pembuatan undang-undang yang terungkap dalam majelis konstitusi, dan hampir semua Rancangan undang undang sarat dengan KKN (mungkin pembaca masih ingat ketika rancangan undang undang yang terlantar pembahasannya beberapa tahun yang lalu tentang RUU penyandang cacat yang tidak ada nilai uangnya) . Atau sering juga kita dengar korupsi yang dilakukan kepala-kepala daerah dari sabang sampai merauke. Dan kalau kita mau jujur dan bersaksi akan terkumpul ratusan atau bahkan ribuan (pengusaha) yang akan bersaksi terhadap penyelewengan disektor perpajakan. Kasus Century yang tak kunjung selesai, Suap Jaksa Urip ,Wisma Atlet, dan lain-lain mungkin bila kita ungkapkan satu persatu akan membuat merinding bulu kuduk kita.

Hal penting yang harus diingat, selama lebih dari 395 tahun Indonesia adalah Negara terjajah. Selama itu pula Negara ini menjadi sapi perahan dan menjadi mental proletar, mental nyuwun!! Nyuwun pangan, nyuwun welas asih, sementara pihak colonial menempatkan pribumi dikelas yang terendah padahal telah habis diperas segala aspek kehidupannya. Hal inilah yang sampai sekarang di-balas-kan kepada pihak non pribumi, baik sadar maupun tidak (padahal kontribusi mereka jelas-jelas untuk pembangunan di negeri ini). Orang-orang pemerintahan mendikte mereka untuk mengikuti kemauan dan permintaan (pribadi) yang mengatas namakan institusi (pemerintahan). Lalu apakah mereka mau terima begitu saja? tentu tidak , mereka akan berhitung harga pokok bisnis mereka. Hal inilah yang lambat laun tidak disadari oleh pribadi-pribadi atau oknum tadi. Sehingga terjadilah kasus kasus pelarian uang Negara, seperti kasus Eddy Tanzil (1,3 trilyun), pembobolan uang pada BNI, Anggoro dan lain-lain. Siapa yang dirugikan? Yang dirugikan adalah anak cucu Negeri ini.

Pendapatan perkapita rakyat Indonesia sangat sangat tidak merata dan lebih dominant adalah kaum miskin atau dibawah garis kemiskinan. Meskipun kita sudah mengenyam kemerdekaan selama lebih dari enam puluh tahun, mengapa kemiskinan masih dominant di Negara ini? Betapa seringnya kita mendengar khabar seorang pelajar bunuh diri hanya karena malu belum membayar uang sekolah. Atau seorang yang dihakimi massa karena kedapatan mencuri sepeda motor demi untuk membiayai keluarganya. Juga karena uang seribu rupiah terjadi pembantaian.

Mereka yang sudah berpenghasilan lebih, barangkali tidak ambil pusing terhadap masalah-masalah seperti diatas. Mereka mungkin terbelenggu oleh ajaran bahwa semakin maju perekonomian dan peradaban semakin jarang pula orang harus berinteraksi sosial, yang penting tidak menyusahkan orang lain, masa bodoh dengan yang lainnya. Padahal tidak sedikit orang-orang yang berlimpah kekayaannya, kadang kekayaan itu didapat dari hasil KKN. Ironis memang, Si maling yang berlimpah harta mengendarai mobil mewah melintasi jalan ketika melihat si miskin sedang mengais ngais atau menyapu jalan. Padahal, belum tentu simiskin tersebut lebih hina dari si kaya dimata Tuhan.. Lalu apakah benar harta yang dikorup oleh oknum oknum tadi , tidak ada hubungannya dengan si miskin atau tidak membawa dampak kepada si miskin? Hal inilah yang umumnya tidak disadari oleh kebanyakan orang di Indonesia ini.

Golongan lain yang harus kita acungi jempol adalah pengusaha produktif yang pertumbuhan asset dan modalnya bukan dari “harta curian”. Produktifitas tidak akan kita dapati pada para koruptor, tetapi pada para pengusaha semacam ini. Makanya , siapa bilang kalau seseorang mengkorupsi uang Negara tidak mengganggu kehidupan orang lain terutama kaum miskin. Uang yang didapat secara Cuma-Cuma tersebut tanpa dibarengi dengan hasil produksi (barang & jasa). Akibatnya uang yang di “tilep” terlalu banyak (uang beredar), tanpa dibarengi dengan adanya produksi barang & jasa. Karuan saja harga barang akan membumbung tinggi. Apalagi bila import pengadaan barang kita terhambat, Letter of Credit ditolak dan lain sebagainya (seperti kita alami pada awal krisis 1998). Yang susah siapa? tentu saja orang-orang miskin yang tidak tahu apa apa dan harus menanggung beban kenaikan harga tadi (inflasi). Jadi hati hatilah dengan barang/uang cuma-cuma, pasti ada pihak yang harus menanggung derita. Pantas saja seorang yang sangat sufi pernah menolak pemberian sambil berkata, “ Jangan kau hendak memberikan perkebunan kurma itu padaku, hanya karena aku ingin mencicipi buahnya, karena itu bukan hasil keringat/jerih payahku”.


II. Dampak korupsi jelas pada rakyat kecil

Seperti sudah dijelaskan diatas, pada awal krisis 1998 menjadi puncak ketidak percayaan dunia luar kepada Indonesia pada jaman orde baru adalah pada saat lengsernya regim suharto. Barang barang sulit dicari keberadaannya, harga barang kebutuhan cenderung membumbung tinggi, kepanikan dimana-mana, terjadi penimbunan barang barang kebutuhan, nilai rupiah merosot dan dollar menembus angka tujuh ribu bahkan sampai lima beras rupiah per dollarnya , investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia, pemutusan hubungan kerja serta pengangguran disegala sector, terjadi “rush” terhadap dana perbankan, pemburuan mata uang asing (dollar) yang membuat semakin kacau perekonomian dalam negeri, banyak anak putus sekolah, produktifisa melorot, dosa siapa ini? 
Bahkan sampai sekarang dampak krisis masih kita rasakan apalagi sejak subsidi bbm dihapuskan yang selisih harganya harus ditanggung oleh seluruh rakyat . Rakyat mulai pintar, menuntut untuk menangkap para koruptor dan memaksa mengembalikan uang Negara yang “ditilep” sebagai ganti subsidi bbm yang harus ditanggung.

Kecemburuan social juga semakin melebar, karena mereka yang terhimpit beban ekonomi sebenarnya juga telah bekerja keras memeras keringat tetapi hasil yang didapat tidak menutup biaya hidup. Ironisnya, sang koruptor dengan hanya dengan tipu muslihat dapat hidup berleha leha bahkan menghambur hamburkan uang dengan bermain judi, berpesta narkoba dan alcohol, main perempuan,dan sebagainya. Sehingga tidak heran apabila rakyat mulai merasakan ketidak adilan, terjadi perampokan di sana sini, tindak penodongan, pengeroyokan terhadap aparat, dan lain sebagainya. Sedangkan pelaksana ditingkat bawah seperti aparat polisi hanyalah sebagai institusi penegak hukum dan bertugas berdasarkan undang undang dan peraturan yang ada. Mereka menjadi korban system pemerintahan yang belum bisa membumi hanguskan masalah korupsi, memang miris rasanya. Masih hangat dalam pikiran kita ketika hal ini terjadi pada kerusuhan dan tindak penjarahan mei 1998. Semoga hal ini tidak dan tidak akan terulang lagi terjadi dinegeri tercinta ini.

Sungguh berat tugas para pemimpin dinegeri ini, belum lagi masalah korupsi selesai, disana sini gangguan keamanan dan issu separatisme muncul. Seperti kita lihat di Maluku, Poso, Aceh, Papua dan sebagainya. Lalu aksi terorisme yang dilakukan oleh sekelompok orang yang disusupi oleh “pihak luar”, membuat kita harus waspada. Ditengah mengurusi masalah masalah yang tidak kunjung selesai ini, adalah menjadi kesempatan emas bagi pihak luar untuk memanfaatkan kesempatan dan mengeruk keuntungan. Kepulauan seribu dan negeri pesisir adalah menjadi target mereka karena disitulah ladang strategis bagi jalur ekonomi dan perdagangan didunia. Seperti kita ketahui, selat malaka adalah jalur perdagangan yang paling sibuk didunia. Ladang ladang minyak bertebaran dimana mana yang membutuhkan sentuhan tangan anak bangsa bukan untuk diserahkan kepada pihak asing pengelolaannya . Pulau Sipadan dan Likitan adalah contoh yang paling popular. Belakangan diketahui , Perusahaan raksasa Shell yang ingin mendapatkan ijin pengeboran minyak didaerah itu ternyata pernah ditolak oleh pemerintah RI. Karuan saja persoalan ini kemudian kandas di sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa untuk kemenangan pihak Malaysia. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Kalau kita mau jujur, sejujur-jujurnya bahwa segala kebobrokan di negeri ini adalah karena prioritas “Uang Tidak Halal” tadi. Kehancuran system transportasi dengan segala minimnya infra struktur, karena anggarannya tidak ada karena sudah habis dikorup seperti masalah uji kelayakan yang bisa ditembus oleh uang, transportasi tanpa tiket dengan membayar diatas kendaraan, Ijin mengemudi tanpa test bisa lolos, dan lain sebagainya.

Belum lagi system penerimaan calon calon pemimpin di negeri ini yang sarat dengan adanya “Uang Tidak Halal” ini. Seperti yang sudah kita ketahui bersama misalnya Kasus Praja IPDN ( Institut Pemerintahan Dalam Negeri ) yang ternyata ujung-ujung nya Duit. Seperti juga sistim penerimaan diberbagai Sekolah Militer, konon juga menjadi pegawai pemerintahan.

Berbagai permasalahan di tanah air yang tidak selesai-selesai seperti Masalah Narkoba, Premanisme , Kaburnya Narapidana, Illegal Logging , Prostitusi, Perjudian, Semua karena Permainan Uang. 


III. Dampak Makro

Apa yang menyebabkan Negara kesatuan Republik Indonesia ini mengidap “kanker korupsi” yang sulit untuk disembuhkan? Apakah karena orang-orang di Indonesia ini lebih serakah dibandingkan dengan bangsa bangsa di negeri lain? Apakah undang-undang Indonesia yang tidak tegas? Apakah aparat hukum di Indonesia mudah diperbudak oleh uang? Apakah karena system demokrasi “pancasila” kita yang kurang sakti dibandingkan dengan demokrasi negara-negara lain? Apakah karena tidak ada orang panutan di negeri ini?

Mungkin sudah saatnya barangkali, mahkamah konstitusi memainkan peran besar untuk secara gentleman menentukan tempat berpijak yang sebenarnya dan dapat membimbing negeri ini untuk tetap eksist dan Insya Allah menjadi Negara Besar dengan penduduk nomor tiga terpadat di dunia ini. Yang kedua, tanggung jawab ini terletak di pundak para pembuat undang undang baik di badan legilafif maupun para eksekutif. Karena akar permasalahan dari semua ini terletak pada “Penegakan Hukum “, bukan sekedar peraturannya atau undang undangnya saja yang dibuat tetapi juga harus ditegakkan. Misalnya, mengapa seorang yang sudah tertib perilakunya ketika bepergian keluar negeri, ketika sampai di Indonesia menjadi “amburadul” kembali perilakunya? Ini bukan karena orangnya, tetapi akibat sanksi tegas dalam perundang-undangan yang diterapkan oleh suatu negara tertentu, membuat orang menjadi disiplin dan berperilaku menurut undang undang. Bukan seperti di negeri ini, terlalu banyak toleransi yang tercipta atau bahkan systemnya sendiri yang mengakomodir. Saat presiden suharto berkuasa misalnya, banyak sekali peraturan / kepres yang mengakomodir kepentingan sekelompok orang dan koleganya sendiri. Seperti dikemukakan oleh Kwik Kian Gie, bahwa persoalan pada saat ini tidak akan selesai dengan “resuffel cabinet” seperti yang dilakukan oleh presiden sby baru-baru ini, tetapi lebih dari sekedar itu yaitu pada “system”. Karena “system” yang tidak tegas ( kebijaksanaan dalam permusyawaratan ) hanya kan membuat orang yang “ideal” menjadi “putus asa”. “System” yang tidak tegas hanya akan membawa sekelompok orang akan memilih jalan sendiri-sendiri menuju cita-cita yang diinginkannya (separatisasi).

Kalau kita lihat di Negara china (socialist country), perkara korupsi bisa menjadi perkara hidup mati seseorang , begitu juga di korea selatan, singapura dan Amerika Serikat (Liberal country).

Seperti telah diuraikan diatas tadi, bahwa Bagaimana mungkin nilai rupiah kita bisa bersaing melawan uang asing seperti Dollar Amerika dan sebagainya kalau produktifitas kita yang bisa kita andalkan bukan barang dan jasa tetapi melulu konsumsi uang tidak halal. Bagaimana mungkin Neraca perdagangan kita bisa surplus, sementara perputaran roda perekonomian kita tidak sehat?


IV. Himbauan

Bagi rakyat biasa, teruskanlah perjuangan kalian untuk berjuang mencari sesuap dua suap nasi dengan cara yang halal, karena itu mulia di Mata Tuhan. Tentu saja sambil belajar dan berusaha.

Bagi para pengusaha, andalah sebenarnya patriot ekonomi di negeri ini. Anda membantu mengangkat harkat martabat Negara melalui bidang ekonomi, membantu mendongkrak nilai rupiah, mengurangi pengangguran dan membantu mengentaskan kemiskinan.

Untuk para koruptor ditingkat atas dan kecil-kecilan , sebaiknya anda bertobat . Ingatlah apa yang terjadi belakangan di negeri ini, bencana silih berganti, sampai-sampai kita dipaksa untuk menyadari adanya “ Something Wrong” di negeri ini.

Untuk para wakil rakyat, bahwa sebenarnya harapan rakyat ada di pundak anda. Bahwa selama ini kita melulu mengkambing hitamkan para eksekutif di negeri ini atas segala kendali perjalanan Negara dan pemerintahan. Sampai-sampai para anggota cabinet stress memikirkan beban dipundak mereka akan tanggung jawab dan tugas mereka sementara para anggota dewan nyaris tidak ada beban dan melulu berfoya-foya dengan dengan segala fasilitas ( mesin cuci sampai ke lap top, biaya studi banding sampai kenaikan tunjangan,perbaikan rumah ,dll )dan pembangunan gedung baru yang mudah2an tidak berbau “fee”?

Kepada pemerintahan di negeri ini, seharusnya bersinergi dengan para yudikatif untuk menegakan kewibawaan Ibu Pertiwi. Agar dapat dibuatkan sitem yang dapat mengurangi adanya celah-celah “Korupsi”. Kalau perlu segala transaksi diatas nilai tertentu di negeri ini harus melalui “Giralisasi” rekening Bank atau “Wajib” adanya “Tanda Terima” bagi segala transaksi di pemerintan. Segala anggaran belanja pemerintahan (Departemen) realisasinya harus berdasarkan dokumen/kwitansi resmi , sehingga tidak terjadi lagi adanya biaya anggaran seperti perjalanan dinas yang “Subyektif” (Non Bill) sifatnya .

Sutadi Sastro

Sumber: www.kompasiana.com

Related Posts with Thumbnails