Tadi pagi saya melihat penumpang kapal laut dari Balikpapan yang hendak mudik ke pulau Jawa lewat Surabaya, penumpang berjejal untuk menaiki tangga kapal, anak-anak berdesak-desakan dengan orangtua, ada yang terhimpit diantara barang bawaan mulai dari box besar hingga koper butut, semua berebut untuk dapat memasuki kapal milik Pelni itu dengan satu motto ingin berlebaran dikampung halaman dengan sanak saudara.
Mudik ( Homesick) adalah suatu budaya Universal manusia yang ingin recharge ( meningkatkan) kembali tali silaturahmi sesama keluarga setelah berpisah tempat sekian bulan atau sekian tahun tanpa bertemu muka, dan pertemuan atara keluarga saat mudik ( Anak dan orangtua) atau sesama anggota keluarga tentu merupakan nilai sosial yang tidak dapat diukur dengan materi sekalipun.
Persoalannya di Indonesia acara mudik saat musim liburan ( khususnya Lebaran dan Hari Natal),dijadikan suatu proyek basah bagi seluruh pihak-pihak yang berkepentingan demi keuntungan yang sebesar-besarnya dengan istilah klasik Tuslah ( penambahan tarif operasional), dan sistim seperti ini sangat merugikan para pemudik, oleh karena pihak yang menjalankan kebijaksanaan ini ( Kementerian Perhubungan dan Operator) sepertinya memiliki kerjasama yang sangat rapi, sementara pelayanan yang diberikan kepada konsumen tidak ada peningkatan sama sekali, padahal kita membayar ongkos perjalanan ini rata- rata diatas 100%.
Bus-bus antar kota dijejali dengan penumpang walau kelas executive, penumpang membludak, bahkan rela berdiri selama 10 jam untuk pulang kampung walau tanpa tempat duduk, dalam rintihan mereka katakan mas, yang penting mudik, demikian juga dengan tiket pesawat untuk mudik dan kembali ke Jakarta digerek hingga 120% diatas harga normal, dengan alasan permintaan penuh, padahal rute tersebut tetap ramai walau hari biasa sekalipun, dan kemana uang penumpang yang dipaksa untuk membeli harga selangit tersebut?
Kereta api yang diandalkan untuk angkutan murah ternyata sama saja tiket dinaikkan dengan alasan klasik yakni ongkos operasional meningkat dan sebagainya, lantas kapan sistim lingkaran setan ini dapat dihilangkan dari pola kerja yang sangat sarat dengan mafia ini? coba tanyakan sama petugas bus antar kota, alasan mereka Dephub yang menaikkan tarif, selanjutnya kita tanyakan sama Dephub alasan mereka perusahaan Bus yang meminta , sama halnya dengan Pelayaran maupun penerbangan turut serta meminta kenaikan ongkos tersebut, kata mereka karena biaya operasional untuk kembali ke Jakarta diperlukan mengingat penumpangnya tidak ada.
Hal seperti ini boleh saja dilakukan, namun mengapa kenaikan sampai 150%? semisal ongkos Jakarta - Surabaya dengan pesawat pada hari biasa Rp 475.000 dengan pesawat A, masa saat ini harus bayar 1.5 Juta? tentu mengeruk keuntungan saat peak season ini menjadi THR besar bagi pemangku kepentingan di Negeri ini.
Sebaliknya mudik di AS justru menjadi acara istimewa bagi penduduknya, Homesick atau rindu berkumpul dengan keluarga saat Thanks Giving atau Christmas menjadi hari yang sangat dinantikan oleh Warganya, discount untuk seluruh produk disubsidi pemerintah hingga 50% mulai dari makanan hingga pakaian, tiket pesawat dan Kereta Api tetap harga normal, apalagi Grey hound ( Bus Interstates) sama sekali tidak ada peningkatan harga, padahal harga solar maupun bensin saat ini cukup mahal di AS, kenapa bisa? jawabannya adalah We serve our Citizen with the best we could ( Kami memberikan pelayanan terbaik bagi warga kami semaksimal mungkin), motto dari pemerintah dan pengusaha AS. Sebaliknya di Tanah Air, harga-harga melambung, kaum birokrat melakukan operasi Pasar, hahahahaaha pasar mana yah yang dioperasi kata Ibu-Ibu dengan wajah sedih mengingat uang THR yang didapat tidak akan mampu untuk menutupi biaya berlebaran.
Kapitan Joe
Sumber: www.kompasian.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar