Selama ini kita ribut-ribut dengan sistem demokrasi. Ada yang
mengatakan demokarasi itu haram. Ada yang mangatakan boleh-boleh saja.
Ada yang ingin golput karena muak melihat wakil rakyat yang ada. Dan
berbagai macam centang-perenang lainnya. Kali ini saya coba membahas apa
itu demokrasi dan hubungannya dengan Islam. Karena saya bukan ahli
politik, maka mohon maaf sajalah kalau ada bagian-bagian artikel di
bawah ini yang tidak akurat atau salah.
Pembagian Demokrasi
Yang pertama adalah rakyat langsung mengatur urusan mereka
beramai-ramai dalam hal menentukan dasar dan kebijakan pemerintah tanpa
adanya perantara yang berbentuk wakil-wakil rakyat. Ini disebut dengan
demokrasi langsung. Cara ini pernah berlaku di zaman purba dulu yaitu
di kota Athen dan juga pernah terjadi di beberapa daerah di
Switzerland. Akhirnya cara ini ditelan sejarah, karena cara ini sangat
susah direalisasikan ke dunia nyata.
Cara kedua disebut demokrasi perwakilan, dimana rakyat memilih
wakil-wakil mereka dan selanjutnya wakil-wakil tersebut akan membentuk
pemerintahan. Rakyat diberi hak untuk mengawasi melalui media yang bebas
dan akan melakukan penilaian dalam dalam tempo tertentu melalui
pemilihan umum. Pada zaman modern ini, pemilihan bisa dibuat melalui
berbagai macam partai politik. Setiap partai memiliki ideologi yang
menjadi dasar perjuangannya, program politik, ekonomi, pendidikan, dan
berbagai agenda masyarakat. Rakyat bisa menukar para wakil rakyat itu
melalui pemilihan umum. Oleh karena itu partai atau calon wakil rakyat
tersebut diberikan peluang untuk dinilai oleh rakyat dan mereka juga
berhak membela diri melalui kampanye yang dibenarkan.
Cara ketiga adalah dengan menggabungkan demokrasi langsung dan tidak
langsung. Contoh demokrasi langsung, rakyat memilih wakil mereka melalui
pemilihan umum. Sedangkan dalam demokrasi tidak langsung, rakyat akan
diikutsertakan di dalam pemungutan suara untuk menyatakan persetujuan
terhadap sebuah masalah tertentu.
Partisipasi Rakyat
Demokrasi yang ada di negara barat sekarang ini sebenarnya sudah tidak
asli lagi. Banyak terjadi perubahan yang disebabkan kelemahan
pemerintah ataupun kelemahan rakyat. Pemilihan umum adalah tonggak
demokrasi, yang tanpanya demokrasi tidak ada artinya. Pemilihan umum
adalah cara untuk memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk menentukan
wakil-wakil atau pemimpin mereka. Pemilihan umum diadakan untuk
mengatasi kesukaran dalam melaksanakan hak rakyat secara langsung.
Bagaimana fenomena golongan putih (golput – orang-orang yang memboikot
pemilu) menurut kacamata demokarsi? Ada beberapa pendapat atau mazhab
dalam hal ini. Yang pertama adalah yang mengatakan pemilihan menjadi
hak bagi setiap rakyat yang menjadi warga-negara. Rakyat tidak wajib
mengikuti pemilihan tersebut, bahkan boleh memboikotnya kalau perlu.
Pendapat ini didukung oleh sebagian kecil tokoh-tokoh revolosi Prancis
seperti Rouseau, Robespierre dan Petion. Kelompok kedua adalah yang
berpendapat bahwa pemilu itu menjadi tugas dan tanggungjawab rakyat.
Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ketika Revolusi Prancis terjadi.
Dampaknya adalah pemilu menjadi kewajiban yang dipaksakan. Negara
seperti Australia menganut mazhab ini, sehingga warganegaranya yang
tidak mengikuti pemilu akan mendapatkan hukuman penjara. Sedangkan
pendapat terakhir adalah yang menggabungkan kedua pendapat di atas,
yaitu pemilu menjadi hak dan kewajiban rakyat. Diakibatkan
perbedaan-perbedaan pendapat di ataslah menyebabkan terdapat perbedaan
dalam cara-cara pemilu di negara-negara barat.
Walaupun prinsip demokrasi menyatakan kekuasaan ditangan rakyat,
ternyata ada juga syarat-syarat yang dikenakan sehingga tidak semua
rakyat bisa mengikuti pemilu. Ada yang mensyaratkan si pimilih memiliki
keuangan yang stabil yang dapat dilihat dari kemampuannya membayar
pajak. Syarat ini akhirnya menyekat golongan buruh, rakyat miskin, dll,
dari menyuarakan hak mereka. Ada juga yang mesyaratkan supaya rakyat
yang berhak memilih bebas dari buta huruf. Cara seperti ini akan
menghalangi orang-orang buta huruf dari golongan tertentu untuk
mengikuti pemilu. Contohnya apa yang terjadi di beberapa wilayah selatan
Amerika, dimana mayoritas yang buta huruf adalah dari kaum kulit
hitam. Perkembangan terakhir adalah dengan tidak memberi syarat apapun
untuk mengikuti pemilu kecuali batasan umur, tidak gila, dll. Kaum
wanita juga mulai diberikan hak bersuara sejak tahun 1869.
Bagaimana cara menetapkan kemenangan calon-calon yang dipilih melalui
pemilu? Ada dua sistem pemilihan dalam hal ini. Yang pertama adalah
berdasarkan suara mayoritas. Inipun masih terbagi atas dua pendapat.
Berdasarkan pendapat pertama, seorang calon dipastikan menang walaupun
hanya menang satu suara saja. Pendapat lain mengatakan seorang calon
harus menang secara mutlak yaitu mendapat suara lebih dari 50%. Cara ini
memungkinkan sebuah partai politik bisa memiliki kursi yang banyak
dengan suara pemilih yang lebih sedikit. Apabila ini terjadi maka
pemerintahan yang terbentuk tidak mewakili mayoritas rakyat. Cara ini
masih dilakukan oleh Britain dan bekas-bekas negara jajahannya. Sistem
pemilihan yang kedua adalah dengan membolehkan sebuah partai mengajukan
beberapa wakil untuk suatu wilayah pemilihan. Jumlah wakil yang
dibolehkan adalah berdasarkan prosentase suara yang didapat. Dengan
demikian partai yang mendulang suara yang banyak akan memiliki jumlah
wakil yang ramai untuk suatu daerah pemilihan. Cara kedua ini dianggap
lebih mewakili rakyat secara keseluruhan. Switzerland dan Jerman adalah
sebagian negara yang memilih cara kedua.
Sikap Umat Islam Terhadap Demokrasi Barat
Golongan pertama adalah golongan yang menerimanya mentah-mentah karena
dipengaruhi pemikiran sekuler. Mereka dengan tegas mengatakan politik
tidak ada hubungannya dengan Islam, dengan sendirinya demokrasi juga
tidak ada hubungannya dengan Islam. Mereka menegaskan umat Islam boleh
menganut ideologi dan teori ciptaan manusia apa saja dalam urusan
politik. Demokrasi barat yang mereka laksanakan itu, memberi ruang
seluas-luasnya kepada ideologi selain Islam di dalam masyarakat.
Golongan ini tidak menentang Islam secara terus-terang. Kalau ada ajaran
Islam yang mengukuhkan kekuasaan mereka, mereka akan memberi tempat.
Selain itu, pelaksanaan Islam dikontrol dengan ketat oleh pihak
berkuasa. Mereka akan melontarkan berbagai macam tuduhan kepada
gerakan-gerakan Islam. Apabila ada partai-partai Islam yang memenangkan
pemilu, mereka berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkannya kembali,
walaupun untuk keperluan itu mereka harus melanggar hukum yang mereka
ciptakan sendiri.
Golongan kedua adalah golongan yang menolak demokrasi tanpa pandang
bulu. Mereka menganggap demokrasi barat tidak sesuai dengan ajaran Islam
dan menganggap pelaksanaan demokrasi sebagai bidaah dhalalah, syirik
dan bergelumang dengan kemungkaran. Ada sebagian kelompok yang
menggunakan kekerasan tanpa menggunakan hukum fikih jihad, sehingga
menyebabkan kebigungan terhadap ajaran Islam. Ada juga kelompok yang
cukup dengan berdakwah saja sambil menunggu negara syariah Islam datang
dengan sendirinya.
Golongan ketiga adalah golongan yang menerima demokrasi secara prinsip
dan konsep, akan tetapi tetap menolak segala yang tidak baik dari
demokrasi tersebut. Mereka menganggap demokrasi banyak persamaan dengan
Islam dan boleh dilakukan perrubahan atau perbaikan untuk menyesuaikan
dengan Islam.
Perbedaan
Demokrasi Barat mengklaim bahwa mereka memberi kekuasaan mutlak kepada
rakyat sehingga muncul slogan “Suara rakyat adalah suara tuhan”. Slogan
ini ternyata tidak sepenuhnya benar, karena kerumitan kalau bisa
dibilang hampir tidak mungkin dalam melaksanakan demokrasi secara
langsung. Lebih tepatnya demokrasi langsung ini tidak praktikal.
Dikatakan tidak praktikal karena sangat susah untuk mengumpulkan rakyat
serta adanya kemampuan yang berbeda dari segi ilmu dan pikiran. Malahan
ada juga rakyat yang mudah dipengaruhi dengan korupsi, ancaman,
penipuan bahkan ditolak haknya mengikuti pemilu. Karena
kelemahan-kelemahan inilah demokrasi barat terpaksa mengadopsi
demokrasi tidak langsung yaitu dengan memilih wakil-wakil dari kalangan
rakyat.
Islam sejak awal tidak memberikan kekuasaan kepada rakyat, tetapi yang
ada adalah pemerintahan rakyat yang bermaksud rakyat berhak ikut serta
dalam urusan pemerintahan dengan cara memberikan amanah kepada pemimpin
yang dinamakan Ulil Amri. Dalam hal ini rakyat memiliki ketaatan yang
tidak mutlak terhadap pemimpin dan memiliki hak bersuara yang dinamakan
nasihat, amar ma’ruf dan nahi munkar. Ulil Amri bertugas untuk
mengendalikan urusan pemerintahan. Sedangkan dalam urusan menyelesaikan
masalah dan membuat keputusan, maka dibentuklah sebuah kelompok yang
bernama A hlul Hal wal Aqdi atau lebih populer dengan sebutan majlis
syura. Syarat menjadi anggota majlis syura adalah memiliki pengaruh
serta dihormati karena ilmu dan akhlaknya.
Akan halnya sistem demokrasi barat yang menuntut adanya perwakilan,
Islam menerima demokrasi yang memberi hak dan peranan kepada rakyat
dengan moral yang tinggi. Islam menjadikan peranan wakil mereka suatu
amanah yang paling besar di sisi Allah dalam kehidupan dunia dan akan
dibicarakan pada hari Kiamat. Oleh karena itu, seorang calon wakil
rakyat hendaklah memiliki syarat-syarat yang ditetapkan, diantaranya
iman akhlak, ilmu dan pengalaman. Pemilihan wakil rakyat ini hendaklah
bersih dari menipu, korupsi, ancaman dan sifat-sifat buruk lainnya.
Dengan demikian wakil rakyat ini ketika membuat keputusan selalu
berdasarkan al’Quran, as-Sunnah dan ijtihad para ulama. Dengan kata lain
sistem demokrasi seperti ini tetap menempatkan kekuasaan Allah sebagai
kekuasaan tertinggi.
Demokrasi Di Negara Islam
Salah satu penyebab kenapa demokrasi dikatakan haram oleh sebagain
ulama adalah pada umumnya demokrasi yang dilaksanakan di kebanyakan
negara Islam memberi kesan yang tidak baik kepada pelaksanaan ajaran
Islam. Ini dikarenakan demokrasi yang dilaksanakan tersebut telah
menyeleweng dari ajaran Islam dan juga dari demokrasi yang sebenarnya.
Ini adalah hasil dari pemisahan politik dan ajaran Islam.
Pihak pemerintah di negera-negara Islam memodifikasi demokrasi itu
sendiri untuk mempertahankan kedudukan mereka dalam waktu yang
lama.Pemilihan umum diadakan dalam suasana tidak ada kebebasan media
untuk membuka pikiran masyarakat. Terkadang hanya satu partai saja yang
boleh memerintah dan partai yang sedang berkuasa sekarang mengunakan
segala cara untuk mempertahankan kedudukan mereka. Akibatnya partai
oposisi selamanya menjadi partai oposisi.
Di sebagian negara, ada partai Islam yang diizinkan untuk berdiri
tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu juga. Ini untuk menghalangi
mereka untuk menjadi pemenang dalam pemilu. Kalaupun mereka menang
delam pemilu, mereka akan dijatuhkan juga dengan berbagai cara walaupun
melanggar undang-undang dan hak asasi manusia.
Pada tahun 1955, Partai Islam Masyumi dan NU pernah memenangkan pemilu
dengan 40% suara. Dr. Muhammad Nasir dijadikan perdana mentri, akan
tetapi pada saat yang sama pemerintahannya ditumbangkan. Para
pemimpinnya meringkuk di penjara, atau menajdi tahanan rumah di zaman
Sukarno dan Suharto. Partai Islam Turki yang dipimpin oleh Prof.
Najmuddin Arbakan juga berhasil membentuk pemerintahn di Turki, tapi
kemudian ditumbangkan oleh tentara untuk mempertahankan ideologi
sekular. Partai Islam Aljazair juga pernah mencapai kemenangan besar
pada tahun 1991 melewatu dua pertiga suara.
Namun hasil pemilu tersebut
dibatalkan oleh tentara dan kemudian Partai Islam FIS dilarang untuk
hidup sedangkan pemimpin-pemimpinnya dimasukkan ke dalam penjara. Di
kebanyakan negara Arab pula, kebanyakan dibawah pemerintah berkuku besi
entah itu dalam bentuk diktator atau kerajaan. Di Mesir, Ikhwan ikut
pemilu tanpa menggunakan kenderaan partai. Di Palestina, partai Islam
Hamas berhasil memenangi pemilu yang dipantau oleh pihak internasional.
Walaupun begitu pihak barat dan Israel memboikot pemerintahan Hamas.
Pemimpin-pemimpinnya ditahan, ekonominya juga diboikot, dan banyak
lainnya.
Demokrasi Di Indonesia
Dalam sistem demokrasi, ada kekurangan yang cukup fundamental yaitu
“one man one vote”, satu orang satu suara. Tidak peduli apakah orangnya
sama moralnya, ilmunya, kedudukan maupun tingkat pendidikannya dsb.
Suara seorang ustadz disamakan dengan suara pelaku maksiat, orang
kafir, munafik dsb. Suara seorang profesor sama bobotnya dengan suara
orang yang tidak tamat SD, dsb. Sehingga pernah ada yang mengusulkan
agar rakyat yang berhak ikut pemilu (punya hak pilih) tidak cukup
sekedar sudah cukup dewasa umurnya, namun juga pendidikannya minimal
lulusan SMP, agar punya kapasitas ilmu yang lebih memadai sehingga
dapat menentukan hak pilihnya lebih baik lagi.
Realitanya, Indonesia adalah negara republik yang menganut sistem
demokrasi dengan pemilu sebagai cara untuk memilih pemimpin. Persis
dengan bangsa Arab jahiliyah yang saat itu terlanjur kecanduan khamr.
Prioritasnya, lebih baik negeri ini memiliki pemimpin daripada harus
menganut sistem anarki (tanpa pemimpin) yang mafsadat (kerusakannya)
jauh lebih parah. Lebih baik mengangkat pemimpin yang adil daripada yang
kurang adil, atau lebih baik yang agak baik daripada yang tidak baik
sama sekali. Singkat kata, “tiada rotan akar pun jadi”.
Sistem demokrasi sebenarnya tidak cocok dilaksanakan di Indonesia. Hal
ini dikarenakan mayoritas masyarakat belum mengerti bagaimana
menggunakan haknya untuk memilih pemimpin. Mereka tidak melihat dasar
partai dan calon-calon wakil yang ditawarkan oleh partai tersebut.
Mereka tidak melihat bagaimana kinerja wakil-wakil rakyat yang berasal
dari partai tersebut. Apa yang mereka lihat adalah ketokohan pemimpin
partai tersebut. Makin terkenal tokoh yang memimpin partai tersebut,
makin besar kemungkinan partai itu menang, walaupun calon wakil rakyat
yang ditawarkan tidak bermutu sama sekali. Akibatnya wakil-wakil rakyat
yang duduk di parlemen tidak mampu melaksanakan tugas mereka dan hanya
bertujuan mencari uang saja. Ujung-ujungnya masyarakat protes dengan
cara golput. Padahal ini sebenarnya salah masyarakat juga karena membeli
kucing dalam karung.
Keadaan lebih parah dialami oleh partai-partai Islam. Walaupun
mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam, tapi pemahaman agama
mereka sangat rendah kalau tidak bisa disebut sekuler. Belum lagi media
massa di Indonesia yang sering menjelek-jelekkan dan memfitnah gerakan
Islam di Indonesia. Dengan kondisi ini tentu saja sangat berat bagi
partai-partai Islam untuk mendulang suara mereka.
Dalam hal ini pula MUI sebenarnya telah berusaha untuk memberikan
sebuah solusi dengan menciptakan episode-episode perubahan yang berawal
dari “Wajib Memilih” pemimpin ideal. Episode selanjutnya mungkin DPR
akan didominasi oleh para wakil rakyat yang faham agama –lantaran hasil
pemilihan sebelumnya,– hingga secara lambat-laun syariat Islam dapat
diterjemahkan dalam Undang-undang, demokrasi kian terkikis, dan
ending-nya Daulah Islamiyyah pun akan kembali terlahir sebagaimana dulu
pada masa Khulafa Rasyidin. Agak bermimpi memang, namun inilah harapan
logis. Tapi terkadang kita sebagai “penonton” kurang sabaran dan maunya
langsung menuju episode terakhir. Maunya langsung menuju lantai
sepuluh, tanpa meniti dari lantai satu. Maunya instant dan simsalabim!
Semuanya berubah tiba-tiba.
Untuk membuat hal diatas menjadi kenyataan diperlukan kerjasama di
antara kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi Islam. Ada
organisasi islam yang melakukan penetrasi ke pemerintahan dan parlemen
dengan cara ikut serta dalam pemilu. Tujuan mereka bagus yaitu untuk
menghalang ajaran agama Islam dikikis habis pelan-pelan melalui
undang-undang yang dikeluarkan oleh parlemen. Bagi yang tidak mau
terlibat dengan pemilu, jangan langsung mengkritik saudara-saudara kita
yang terlibat dalam kepartaian.
Jangan menyesatkan, membid’ahkan atau
mengkafirkan mereka. Apa yang perlu dilakukan adalah mengingatkan mereka
apabila mereka mulai menyimpang dari rencana awal. Selain tugas
tersebut, kelompok yang berada di luar pemerintahan dan parlemen, juga
harus rajin berdakwah kepada rakyat. Tidak perlu dengan dakwah frontal
dengan menyuruh mereka memilih partai-partai Islam, tapi cukup dengan
cara membersihkan dan mempertingkatkan lagi pemahaman agama Islam mereka
terutama masalah aqidah. Jadi dua cara ini harus dilakukan secara
bersamaan.
Sumber Rujukan:
Islam dan Demokrasi oleh Abdul Hadi Awang
Dakwah antara Realitas dan Prioritas
oleh MS. Yusuf al-Amien
Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?
oleh Tohir Bawazir
Ardi Syam
www.kompasiana.com