Kamis, 29 September 2011

Demokrasi dan Islam


1317266548743755014


Selama ini kita ribut-ribut dengan sistem demokrasi. Ada yang mengatakan demokarasi itu haram. Ada yang mangatakan boleh-boleh saja. Ada yang ingin golput karena muak melihat wakil rakyat yang ada. Dan berbagai macam centang-perenang lainnya. Kali ini saya coba membahas apa itu demokrasi dan hubungannya dengan Islam. Karena saya bukan ahli politik, maka mohon maaf sajalah kalau ada bagian-bagian artikel di bawah ini yang tidak akurat atau salah.


Pembagian Demokrasi

Yang pertama adalah rakyat langsung mengatur urusan mereka beramai-ramai dalam hal menentukan dasar dan kebijakan pemerintah tanpa adanya perantara yang berbentuk wakil-wakil rakyat. Ini disebut dengan demokrasi langsung. Cara ini pernah berlaku di zaman purba dulu yaitu di kota Athen dan juga pernah terjadi di beberapa daerah di Switzerland. Akhirnya cara ini ditelan sejarah, karena cara ini sangat susah direalisasikan ke dunia nyata.

Cara kedua disebut demokrasi perwakilan, dimana rakyat memilih wakil-wakil mereka dan selanjutnya wakil-wakil tersebut akan membentuk pemerintahan. Rakyat diberi hak untuk mengawasi melalui media yang bebas dan akan melakukan penilaian dalam dalam tempo tertentu melalui pemilihan umum. Pada zaman modern ini, pemilihan bisa dibuat melalui berbagai macam partai politik. Setiap partai memiliki ideologi yang menjadi dasar perjuangannya, program politik, ekonomi, pendidikan, dan berbagai agenda masyarakat. Rakyat bisa menukar para wakil rakyat itu melalui pemilihan umum. Oleh karena itu partai atau calon wakil rakyat tersebut diberikan peluang untuk dinilai oleh rakyat dan mereka juga berhak membela diri melalui kampanye yang dibenarkan.

Cara ketiga adalah dengan menggabungkan demokrasi langsung dan tidak langsung. Contoh demokrasi langsung, rakyat memilih wakil mereka melalui pemilihan umum. Sedangkan dalam demokrasi tidak langsung, rakyat akan diikutsertakan di dalam pemungutan suara untuk menyatakan persetujuan terhadap sebuah masalah tertentu.


Partisipasi Rakyat

Demokrasi yang ada di negara barat sekarang ini sebenarnya sudah tidak asli lagi. Banyak terjadi perubahan yang disebabkan kelemahan pemerintah ataupun kelemahan rakyat. Pemilihan umum adalah tonggak demokrasi, yang tanpanya demokrasi tidak ada artinya. Pemilihan umum adalah cara untuk memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk menentukan wakil-wakil atau pemimpin mereka. Pemilihan umum diadakan untuk mengatasi kesukaran dalam melaksanakan hak rakyat secara langsung.

Bagaimana fenomena golongan putih (golput – orang-orang yang memboikot pemilu) menurut kacamata demokarsi? Ada beberapa pendapat atau mazhab dalam hal ini. Yang pertama adalah yang mengatakan pemilihan menjadi hak bagi setiap rakyat yang menjadi warga-negara. Rakyat tidak wajib mengikuti pemilihan tersebut, bahkan boleh memboikotnya kalau perlu. Pendapat ini didukung oleh sebagian kecil tokoh-tokoh revolosi Prancis seperti Rouseau, Robespierre dan Petion. Kelompok kedua adalah yang berpendapat bahwa pemilu itu menjadi tugas dan tanggungjawab rakyat. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ketika Revolusi Prancis terjadi. Dampaknya adalah pemilu menjadi kewajiban yang dipaksakan. Negara seperti Australia menganut mazhab ini, sehingga warganegaranya yang tidak mengikuti pemilu akan mendapatkan hukuman penjara. Sedangkan pendapat terakhir adalah yang menggabungkan kedua pendapat di atas, yaitu pemilu menjadi hak dan kewajiban rakyat. Diakibatkan perbedaan-perbedaan pendapat di ataslah menyebabkan terdapat perbedaan dalam cara-cara pemilu di negara-negara barat.

Walaupun prinsip demokrasi menyatakan kekuasaan ditangan rakyat, ternyata ada juga syarat-syarat yang dikenakan sehingga tidak semua rakyat bisa mengikuti pemilu. Ada yang mensyaratkan si pimilih memiliki keuangan yang stabil yang dapat dilihat dari kemampuannya membayar pajak. Syarat ini akhirnya menyekat golongan buruh, rakyat miskin, dll, dari menyuarakan hak mereka. Ada juga yang mesyaratkan supaya rakyat yang berhak memilih bebas dari buta huruf. Cara seperti ini akan menghalangi orang-orang buta huruf dari golongan tertentu untuk mengikuti pemilu. Contohnya apa yang terjadi di beberapa wilayah selatan Amerika, dimana mayoritas yang buta huruf adalah dari kaum kulit hitam. Perkembangan terakhir adalah dengan tidak memberi syarat apapun untuk mengikuti pemilu kecuali batasan umur, tidak gila, dll. Kaum wanita juga mulai diberikan hak bersuara sejak tahun 1869.

Bagaimana cara menetapkan kemenangan calon-calon yang dipilih melalui pemilu? Ada dua sistem pemilihan dalam hal ini. Yang pertama adalah berdasarkan suara mayoritas. Inipun masih terbagi atas dua pendapat. Berdasarkan pendapat pertama, seorang calon dipastikan menang walaupun hanya menang satu suara saja. Pendapat lain mengatakan seorang calon harus menang secara mutlak yaitu mendapat suara lebih dari 50%. Cara ini memungkinkan sebuah partai politik bisa memiliki kursi yang banyak dengan suara pemilih yang lebih sedikit. Apabila ini terjadi maka pemerintahan yang terbentuk tidak mewakili mayoritas rakyat. Cara ini masih dilakukan oleh Britain dan bekas-bekas negara jajahannya. Sistem pemilihan yang kedua adalah dengan membolehkan sebuah partai mengajukan beberapa wakil untuk suatu wilayah pemilihan. Jumlah wakil yang dibolehkan adalah berdasarkan prosentase suara yang didapat. Dengan demikian partai yang mendulang suara yang banyak akan memiliki jumlah wakil yang ramai untuk suatu daerah pemilihan. Cara kedua ini dianggap lebih mewakili rakyat secara keseluruhan. Switzerland dan Jerman adalah sebagian negara yang memilih cara kedua.


Sikap Umat Islam Terhadap Demokrasi Barat

Golongan pertama adalah golongan yang menerimanya mentah-mentah karena dipengaruhi pemikiran sekuler. Mereka dengan tegas mengatakan politik tidak ada hubungannya dengan Islam, dengan sendirinya demokrasi juga tidak ada hubungannya dengan Islam. Mereka menegaskan umat Islam boleh menganut ideologi dan teori ciptaan manusia apa saja dalam urusan politik. Demokrasi barat yang mereka laksanakan itu, memberi ruang seluas-luasnya kepada ideologi selain Islam di dalam masyarakat. Golongan ini tidak menentang Islam secara terus-terang. Kalau ada ajaran Islam yang mengukuhkan kekuasaan mereka, mereka akan memberi tempat. Selain itu, pelaksanaan Islam dikontrol dengan ketat oleh pihak berkuasa. Mereka akan melontarkan berbagai macam tuduhan kepada gerakan-gerakan Islam. Apabila ada partai-partai Islam yang memenangkan pemilu, mereka berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkannya kembali, walaupun untuk keperluan itu mereka harus melanggar hukum yang mereka ciptakan sendiri.

Golongan kedua adalah golongan yang menolak demokrasi tanpa pandang bulu. Mereka menganggap demokrasi barat tidak sesuai dengan ajaran Islam dan menganggap pelaksanaan demokrasi sebagai bidaah dhalalah, syirik dan bergelumang dengan kemungkaran. Ada sebagian kelompok yang menggunakan kekerasan tanpa menggunakan hukum fikih jihad, sehingga menyebabkan kebigungan terhadap ajaran Islam. Ada juga kelompok yang cukup dengan berdakwah saja sambil menunggu negara syariah Islam datang dengan sendirinya.

Golongan ketiga adalah golongan yang menerima demokrasi secara prinsip dan konsep, akan tetapi tetap menolak segala yang tidak baik dari demokrasi tersebut. Mereka menganggap demokrasi banyak persamaan dengan Islam dan boleh dilakukan perrubahan atau perbaikan untuk menyesuaikan dengan Islam.


Perbedaan

Demokrasi Barat mengklaim bahwa mereka memberi kekuasaan mutlak kepada rakyat sehingga muncul slogan “Suara rakyat adalah suara tuhan”. Slogan ini ternyata tidak sepenuhnya benar, karena kerumitan kalau bisa dibilang hampir tidak mungkin dalam melaksanakan demokrasi secara langsung. Lebih tepatnya demokrasi langsung ini tidak praktikal. Dikatakan tidak praktikal karena sangat susah untuk mengumpulkan rakyat serta adanya kemampuan yang berbeda dari segi ilmu dan pikiran. Malahan ada juga rakyat yang mudah dipengaruhi dengan korupsi, ancaman, penipuan bahkan ditolak haknya mengikuti pemilu. Karena kelemahan-kelemahan inilah demokrasi barat terpaksa mengadopsi demokrasi tidak langsung yaitu dengan memilih wakil-wakil dari kalangan rakyat.

Islam sejak awal tidak memberikan kekuasaan kepada rakyat, tetapi yang ada adalah pemerintahan rakyat yang bermaksud rakyat berhak ikut serta dalam urusan pemerintahan dengan cara memberikan amanah kepada pemimpin yang dinamakan Ulil Amri. Dalam hal ini rakyat memiliki ketaatan yang tidak mutlak terhadap pemimpin dan memiliki hak bersuara yang dinamakan nasihat, amar ma’ruf dan nahi munkar. Ulil Amri bertugas untuk mengendalikan urusan pemerintahan. Sedangkan dalam urusan menyelesaikan masalah dan membuat keputusan, maka dibentuklah sebuah kelompok yang bernama A hlul Hal wal Aqdi atau lebih populer dengan sebutan majlis syura. Syarat menjadi anggota majlis syura adalah memiliki pengaruh serta dihormati karena ilmu dan akhlaknya.

Akan halnya sistem demokrasi barat yang menuntut adanya perwakilan, Islam menerima demokrasi yang memberi hak dan peranan kepada rakyat dengan moral yang tinggi. Islam menjadikan peranan wakil mereka suatu amanah yang paling besar di sisi Allah dalam kehidupan dunia dan akan dibicarakan pada hari Kiamat. Oleh karena itu, seorang calon wakil rakyat hendaklah memiliki syarat-syarat yang ditetapkan, diantaranya iman akhlak, ilmu dan pengalaman. Pemilihan wakil rakyat ini hendaklah bersih dari menipu, korupsi, ancaman dan sifat-sifat buruk lainnya. Dengan demikian wakil rakyat ini ketika membuat keputusan selalu berdasarkan al’Quran, as-Sunnah dan ijtihad para ulama. Dengan kata lain sistem demokrasi seperti ini tetap menempatkan kekuasaan Allah sebagai kekuasaan tertinggi.


Demokrasi Di Negara Islam

Salah satu penyebab kenapa demokrasi dikatakan haram oleh sebagain ulama adalah pada umumnya demokrasi yang dilaksanakan di kebanyakan negara Islam memberi kesan yang tidak baik kepada pelaksanaan ajaran Islam. Ini dikarenakan demokrasi yang dilaksanakan tersebut telah menyeleweng dari ajaran Islam dan juga dari demokrasi yang sebenarnya. Ini adalah hasil dari pemisahan politik dan ajaran Islam.

Pihak pemerintah di negera-negara Islam memodifikasi demokrasi itu sendiri untuk mempertahankan kedudukan mereka dalam waktu yang lama.Pemilihan umum diadakan dalam suasana tidak ada kebebasan media untuk membuka pikiran masyarakat. Terkadang hanya satu partai saja yang boleh memerintah dan partai yang sedang berkuasa sekarang mengunakan segala cara untuk mempertahankan kedudukan mereka. Akibatnya partai oposisi selamanya menjadi partai oposisi.

Di sebagian negara, ada partai Islam yang diizinkan untuk berdiri tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu juga. Ini untuk menghalangi mereka untuk menjadi pemenang dalam pemilu. Kalaupun mereka menang delam pemilu, mereka akan dijatuhkan juga dengan berbagai cara walaupun melanggar undang-undang dan hak asasi manusia.

Pada tahun 1955, Partai Islam Masyumi dan NU pernah memenangkan pemilu dengan 40% suara. Dr. Muhammad Nasir dijadikan perdana mentri, akan tetapi pada saat yang sama pemerintahannya ditumbangkan. Para pemimpinnya meringkuk di penjara, atau menajdi tahanan rumah di zaman Sukarno dan Suharto. Partai Islam Turki yang dipimpin oleh Prof. Najmuddin Arbakan juga berhasil membentuk pemerintahn di Turki, tapi kemudian ditumbangkan oleh tentara untuk mempertahankan ideologi sekular. Partai Islam Aljazair juga pernah mencapai kemenangan besar pada tahun 1991 melewatu dua pertiga suara.
Namun hasil pemilu tersebut dibatalkan oleh tentara dan kemudian Partai Islam FIS dilarang untuk hidup sedangkan pemimpin-pemimpinnya dimasukkan ke dalam penjara. Di kebanyakan negara Arab pula, kebanyakan dibawah pemerintah berkuku besi entah itu dalam bentuk diktator atau kerajaan. Di Mesir, Ikhwan ikut pemilu tanpa menggunakan kenderaan partai. Di Palestina, partai Islam Hamas berhasil memenangi pemilu yang dipantau oleh pihak internasional. Walaupun begitu pihak barat dan Israel memboikot pemerintahan Hamas. Pemimpin-pemimpinnya ditahan, ekonominya juga diboikot, dan banyak lainnya.


Demokrasi Di Indonesia

Dalam sistem demokrasi, ada kekurangan yang cukup fundamental yaitu “one man one vote”, satu orang satu suara.  Tidak peduli apakah orangnya sama moralnya, ilmunya, kedudukan  maupun tingkat pendidikannya dsb.  Suara seorang ustadz disamakan dengan suara pelaku maksiat, orang kafir, munafik dsb. Suara seorang profesor sama bobotnya dengan suara orang yang tidak tamat SD, dsb. Sehingga pernah ada yang mengusulkan agar rakyat yang berhak ikut pemilu (punya hak pilih) tidak cukup sekedar sudah cukup dewasa umurnya, namun juga pendidikannya minimal lulusan SMP, agar punya kapasitas ilmu yang lebih memadai sehingga dapat menentukan hak pilihnya lebih baik lagi.

Realitanya, Indonesia adalah negara republik yang menganut sistem demokrasi dengan pemilu sebagai cara untuk memilih pemimpin. Persis dengan bangsa Arab jahiliyah yang saat itu terlanjur kecanduan khamr. Prioritasnya, lebih baik negeri ini memiliki pemimpin daripada harus menganut sistem anarki (tanpa pemimpin) yang mafsadat (kerusakannya) jauh lebih parah. Lebih baik mengangkat pemimpin yang adil daripada yang kurang adil, atau lebih baik yang agak baik daripada yang tidak baik sama sekali. Singkat kata, “tiada rotan akar pun jadi”.

Sistem demokrasi sebenarnya tidak cocok dilaksanakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat belum mengerti bagaimana menggunakan haknya untuk memilih pemimpin. Mereka tidak melihat dasar partai dan calon-calon wakil yang ditawarkan oleh partai tersebut. Mereka tidak melihat bagaimana kinerja wakil-wakil rakyat yang berasal dari partai tersebut. Apa yang mereka lihat adalah ketokohan pemimpin partai tersebut. Makin terkenal tokoh yang memimpin partai tersebut, makin besar kemungkinan partai itu menang, walaupun calon wakil rakyat yang ditawarkan tidak bermutu sama sekali. Akibatnya wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen tidak mampu melaksanakan tugas mereka dan hanya bertujuan mencari uang saja. Ujung-ujungnya masyarakat protes dengan cara golput. Padahal ini sebenarnya salah masyarakat juga karena membeli kucing dalam karung.

Keadaan lebih parah dialami oleh partai-partai Islam. Walaupun mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam, tapi pemahaman agama mereka sangat rendah kalau tidak bisa disebut sekuler. Belum lagi media massa di Indonesia yang sering menjelek-jelekkan dan memfitnah gerakan Islam di Indonesia. Dengan kondisi ini tentu saja sangat berat bagi partai-partai Islam untuk mendulang suara mereka.

Dalam hal ini pula MUI sebenarnya telah berusaha untuk memberikan sebuah solusi dengan menciptakan episode-episode perubahan yang berawal dari “Wajib Memilih” pemimpin ideal. Episode selanjutnya mungkin DPR akan didominasi oleh para wakil rakyat yang faham agama –lantaran hasil pemilihan sebelumnya,– hingga secara lambat-laun syariat Islam dapat diterjemahkan dalam Undang-undang, demokrasi kian terkikis, dan ending-nya Daulah Islamiyyah pun akan kembali terlahir sebagaimana dulu pada masa Khulafa Rasyidin. Agak bermimpi memang, namun inilah harapan logis. Tapi terkadang kita sebagai “penonton” kurang sabaran dan maunya langsung menuju episode terakhir. Maunya langsung menuju lantai sepuluh, tanpa meniti dari lantai satu. Maunya instant dan simsalabim! Semuanya berubah tiba-tiba.

Untuk membuat hal diatas menjadi kenyataan diperlukan kerjasama di antara kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi Islam. Ada organisasi islam yang melakukan penetrasi ke pemerintahan dan parlemen dengan cara ikut serta dalam pemilu. Tujuan mereka bagus yaitu untuk menghalang ajaran agama Islam dikikis habis pelan-pelan melalui undang-undang yang dikeluarkan oleh parlemen. Bagi yang tidak mau terlibat dengan pemilu, jangan langsung mengkritik saudara-saudara kita yang terlibat dalam kepartaian.

Jangan menyesatkan, membid’ahkan atau mengkafirkan mereka. Apa yang perlu dilakukan adalah mengingatkan mereka apabila mereka mulai menyimpang dari rencana awal. Selain tugas tersebut, kelompok yang berada di luar pemerintahan dan parlemen, juga harus rajin berdakwah kepada rakyat. Tidak perlu dengan dakwah frontal dengan menyuruh mereka memilih partai-partai Islam, tapi cukup dengan cara membersihkan dan mempertingkatkan lagi pemahaman agama Islam mereka terutama masalah aqidah. Jadi dua cara ini harus dilakukan secara bersamaan.

Sumber Rujukan:
Islam dan Demokrasi oleh Abdul Hadi Awang
Dakwah antara Realitas dan Prioritas
oleh MS. Yusuf al-Amien
Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?
oleh Tohir Bawazir



Ardi Syam

www.kompasiana.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails