Gunung Malabar terbentuk akibat aktivitas pembentukan gunung api kala Plistosen Awal ( 5 juta tahun yang lalu). Bersamaan dengan gunung api lainnya yang membentuk deretan gunung api diantaranya Gunung Kamojang-Guntur, Gunung Cikuray, Gunung Wayang, Gunung Malabar, Gunung Papandayan, dan Gunung Patuha.
Seperti gunung-gunung di Jawa lainnya, Gunung Malabar dahulunya merupakan tempat pemujaan dengan patung Hindunya. Tidak mengherankan bila nama Malabar berasal dari nama pantai Malabar di India. Tradisi dan kebudayaan Hindu dahulu memang sangat kental di wilayah Jawa Barat, seperti tradisi wayang yang masih tersisa hingga saat ini.
Untuk menuju ke gunung Malabar dari Bandung ambil jurusan ke Banjaran, melintasi jalan pegunungan dengan pemandangan sawah-sawah yang bertingkat, sekitar 5 km berbelok ke kiri menuju Kawsan Bumi Perkemahan.
Bumi Perkemahan terletak di dekat perkebunan Teh. Sangat baik untuk melakukan jalan santai menuju air terjun, atau melakukan perjalanan yang lebih serius yaitu mendaki gunung Malabar.
Bumi Perkemahan terletak di dekat perkebunan Teh. Sangat baik untuk melakukan jalan santai menuju air terjun, atau melakukan perjalanan yang lebih serius yaitu mendaki gunung Malabar.
Patahan yang lebar terbentuk ketika terjadi letusan jaman purba yang besar. Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda di lokasi ini didirikan pemancar radio Malabar. Untuk berkomunikasi antara pemerintahan Jawa dengan pemerintahan pusat di Belanda yang berjarak 12.000 km. Pada tanggal 5 mei 1923 Radio Malabar mengudara dengan kekuatan yang sangat besar yakni 1.800 KWatt. Pemancar radio ini di suplay oleh pembangkit listrik tenaga air Lamajan.
Transportasi
Transportasi
Untuk menuju ke gunung Malabar dari Bandung ambil jurusan ke Banjaran, melintasi jalan pegunung an dengan pemandangan sawah-sawah yang bertingkat, sekitar 5 km berbelok ke kiri menuju Kawsan Bumi Perkemahan.
Bumi Perkemahan terletak di dekat perkebunan Teh. Sangat baik untuk melakukan jalan santai menuju air terjun, atau melakukan perjalanan yang lebih serius yaitu mendaki gunung Malabar.
Misteri dan Legenda
Seperti gunung-gunung di Jawa lainnya, Gunung Malabar dahulunya merupakan tempat pemujaan dengan patung Hindunya. Tidak mengherankan bila nama Malabar berasal dari nama pantai Malabar di India. Tradisi dan kebudayaan Hindu dahulu memang sangat kental di wilayah Jawa Barat, seperti tradisi wayang yang masih tersisa hingga saat ini. Sumber: id.merbabu.com
Gunung Malabar, Melebar ke Semua Arah
Bila pandangan diarahkan ke selatan Kota Bandung, akan terlihat gunung yang membentengi cekungan ini dari sisi selatan. Karena wujudnya yang mengagumkan, Gunung Malabar mempunyai arti yang sangat strategis dalam kehidupan masyarakat, baik estetika, religi, sosial, maupun ekonomi.
Hawa yang dingin dengan limpahan hujan yang cukup, lereng gunung ini memberikan keberkahan yang luar biasa. Setiap bagian dari lerengnya menyajikan kesempatan pada berbagai tanaman untuk tumbuh subur.
Keberlimpahan alam ini dimanfaatkan dengan baik oleh penjajah Belanda untuk membuka perkebunan teh di lereng-lerengnya. Karena pengelolaannya dilakukan dengan kesungguhan hati dan pengetahuan, hasilnya pun sangat menggembirakan.
Selimut halimun membungkus permadani hijau pucuk-pucuk teh yang terhampar berbukit-bukit. Perkebunan teh tumbuh subur di lereng Gunung Malabar, berkembang pesat di tangan Karel Albert Bosscha (15 Méi 1865 – 26 November 1928), pengusaha dermawan yang kematiannya ditangisi banyak orang. Hatinya sebening embun pagi yang bergelantungan di halusnya pucuk-pucuk teh. Kenangan akan Bosscha abadi, kebaikannya terasa hadir bersama dinginnya halimun putih yang melayang-layang di perkebunan.
Kualitas teh dari perkebunan ini sangat istimewa sehingga nama Malabar yang menempel pada nama perkebunan itu semakin termasyhur ke seantero jagat.
Nama Malabar yang menempel pada nama Perkebunan Teh Malabar semakin dikenal di dunia dengan dibuatnya film dokumenter oleh Andre de la Varre yang berjudul “The Story of Tea” tahun 1937, berselang 9 tahun setelah K.A. Bosscha wafat. Film bisu hitam putih yang asli dibuat pada film 35 mm. Ini menceritakan tentang proses pabrikasi teh, mulai dari kebun, para pemetik teh di kebun, pekerja di pabrik, prosesnya, hingga pengiriman ke pelabuhan dan pengapalannya dari pelabuhan Cirebon untuk menuju kota-kota dunia.
Film ini diakhiri dengan gambaran laut yang luas, di atas dek kapal terdapat kursi-kusi santai yang di mejanya terdapat cangkir-cangkir berisi air teh.
Nama Malabar bertambah terkenal ketika radio komunikasi Malabar memancar dari lembah kompleks Gunung Malabar, memperlancar komunikasi antara penjajah dan negara jajahannya di Hindia Belanda.
Namun, sesungguhnya jauh sebelum bangsa Eropa datang di Tatar Sunda, nama Malabar sudah dikenal dan diabadikan dalam nama kerajaan. Kerajaan Malabar (abad IV-V M) adalah satu di antara 46 kerajaan wilayah di bawah Kerajaan Tarumanagara, seperti yang tercantum dalam pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, yang merupakan prosiding seminar yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta dari Keraton Cirebon tahun 1677 M.
Di mana lokasi bekas kerajaan Malabar itu? Ini pekerjaan rumah yang belum pernah dijawab. Tampaknya untuk berhipotesis di mana lokasi bekas Kerajaan Malabar pun kita tak mampu.
Nama Malabar sudah sangat terkenal pada saat itu, boleh jadi di puncak-puncaknya ada tempat-tempat yang disucikan sehingga seorang Bujangga Manik, rahib Kerajaan Sunda pada abad ke-15 sudah sangat mengenali gunung ini. Bujangga Manik menulis gunung ini dengan sebutan Bukit Malabar, seperti yang ditulisnya dalam perjalanan sucinya mengelilingi Pulau Jawa dan Pulau Bali.
“….Sadari aing ti inya,
cunduk ka Mandala Beutung,
ngalalar ka Mulah Beunghar,
landeuheun ka Tigal Luar,
ka tukang Bukit Malabar,
ka gédéng Bukit Bajogé….”
cunduk ka Mandala Beutung,
ngalalar ka Mulah Beunghar,
landeuheun ka Tigal Luar,
ka tukang Bukit Malabar,
ka gédéng Bukit Bajogé….”
Lalu, apa arti kata malabar yang sangat termasyhur melewati rentangan zaman? Kata malabar sesungguhnya tidak biasa terdengar dalam ucapan bahasa Sunda sehingga orang selalu menghubungkan kata ini dengan nama tempat yang ada di India.
Namun, Jonathan Rigg. (1862) berpendapat lain. Bisa jadi malabar berasal dari kata labar-lébér atau lébér-labar, yang berarti meluber, melebar ke semua arah. Penambahan awalan ma, yang sekarang menjadi tidak produktif dipergunakan dalam bahasa Sunda, namun dalam bahasa Sunda lama hal itu sudah biasa sehingga menjadi kata yang menggambarkan keadaan atau peristiwa yang terjadi, dan menjadi enak diucapkan. Seperti kata lébér menjadi malébér, labar menjadi malabar, rieus – marieus, seuseup – manyeusep, dan lain-lain.
Tampaknya, penamaan itu erat kaitannya dengan geomorfologi, bentuk muka bumi gunung ini yang besar, yang lereng-lerengnya meluber, melebar ke semua arah. Letusannya pada masa prasejarah, laharnya meluber mengisi lembah-lembah hingga jauh ke utara mengisi bagian tengah dari Cekungan Bandung. Pastilah saat letusan dahsyat terakhir itu pun, manusia Bandung belum menghuni tempat ini.
Gunung yang berada pada garis lintang 7.13°S-7°8`0″S dan garis bujur 107.65°E-107°39`0″E ini menjulang setinggi 2.321 m dpl, tidak digolongkan ke dalam gunung api aktif karena gunung ini tidak diketahui letusannya dan sudah lama padam, atau sedang beristirahat menghimpun kembali energinya untuk kembali meledak?
Bila dilihat dari Kota Bandung, lereng-lerengnya sudah teriris-iris oleh kekuatan air. Dalam jangka waktu yang panjang, kekuatan air itu telah mengerosi lereng membentuk lembah-lembah yang dalam dan lebar. Kenyataan ini menunjukkan bahwa umur Gunung Malabar sudah tergolong tua.
Kapan Gunung Malabar aktif dan kemudian ambruk, masih menyimpan teka-teki. Banyak pendapat mengenai hal ini, tetapi belum ada yang menyintesiskan dengan baik, masih berupa kepingan-kepingan yang terpisah. R. Soeria-Atmadja, et al. (1991) dalam tulisannya, The Tertiary Magmatic Belts in Java, menulis bahwa gunung ini aktif antara 4,4 – 2,6 juta tahun yang lalu. Kemudian, Edy Sunardi (1996) dalam disertasinya, “Magnetic Polarity Stratigraphy of the Plio-Pleistocene Volcanic Rocks around the Bandung Basin, West Java, Indonesia”, diketahui umur aliran lava di kaki Gunung Malabar, yaitu di tiga tempat di Gunung Koromong, Baleendah, hasilnya menunjukkan bahwa lava di sana berumur 3,40, 3,07, dan 2,87 juta tahun yang lalu.
Dalam peta geologi lembar Garut dan Pameungpeuk yang dibuat M. Alzwar, N. Akbar, dan S. Bachri (1992), dapat kita amati penampang yang memotong Gunung Malabar, di sana terlihat bahwa gunung ini terbangun di antaranya oleh aliran lava yang mengalir hingga ke utara, seperti yang diukur oleh Edy Sunardi, kemudian diikuti letusan yang menghasilkan material yang berupa perselingan lava, breksi, dan tuf yang ketebalannya antara 500 – 1.000 meter lebih dengan radius 15 km, yang terjadi pada awal Plistosen.
Selang beberapa ratus ribu tahun kemudian, terjadi patahan yang memanjang lebih dari 25 km arah barat – timur, dengan bagian selatannya yang turun. Pada Plistosen tengah, gunung ini aktif kembali dengan dahsyatnya, material letusannya mengisi lembah patahan, terdiri dari tuf dan breksi yang mengandung sedikit batu apung dan lava dengan ketebalan antara 100 – 1.000 meter lebih dengan radius 10 km.
Untuk mengetahui kronologi dan besaran letusan Gunung Malabar secara terperinci dan akurat memang perlu penelitian khusus. Tampaknya harus ada penelitian untuk disertasi yang mengambil judul ini sehingga akan diketahui sejarah gunung ini dengan baik, seperti yang pernah dilakukan Mochamad Nugraha Kartadinata (2005) untuk kronologi letusan Gunung Sunda.
Minggu terakhir Maret dan awal April 2008, jalanan di Majalaya dipenuhi lumpur selutut tebalnya. Ini semua terbawa dari lereng-lereng di selatan kota itu. Tidak mungkin lumpur itu turun dengan sendirinya. Pada lima tahun terakhir, hujan juga mengguyur kawasan itu, tetapi tidak membawa lumpur sebanyak ini. Lalu apa yang salah dengan banjir lumpur yang menimbun persawahan, perkampungan, mendangkalkan sungai, dan menguruk jalan-jalan serta menyengsarakan masyarakatnya? Jawabannya pasti, pengelolaan lahan di lereng-lereng Gunung Malabar sudah tak akrab lingkungan lagi. Inilah fakta yang tak terbantahkan!
Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat 3 Juni 2008