Mount Kawi | |
---|---|
Ketinggian | 2,551 metres (8,369 ft) |
Lokasi | |
Lokasi | Jawa, Indonesia |
Koordinat | 7°55′S 112°27′E / 7.92°LS 112.45°BT |
Geologi | |
Jenis | Stratovolcano |
Umur batuan | Holocene |
Gunung Kawi adalah sebuah gunung berapi di Jawa Timur, Indonesia, dekat dengan Gunung Butak. Tidak ada catatan sejarah mengenai letusan gunung berapi ini.
Gunung Kawi, terletak di sebelah barat kota Malang merupakan obyek wisata yang perlu untuk dikunjungi bila kita berada di Jawa Timur karena keunikannya, obyek wisata ini lebih tepat dijuluki sebagai "kota di pegunungan". Di sini kita tidak akan menemukan suasana gunung yang sepi, tapi justru kita akan disuguhi sebuah pemandangan mirip di negeri tiongkok zaman dulu.
Di sepanjang jalan kita akan menemui bangunan bangunan dengan arsitektur khas Tiongkok, dimana terdapat sebuah kuil/klenteng tempat untuk bersembahyang atau melakukan ritual khas Kong Hu Cu. Biasanya orang-orang Tionghoa mengunjungi tempat ini pada hari-hari tertentu untuk melakukan ritual keagamaan seperti memohon keselamatan , giam si , ci suak dsb namun tak jarang pula yang hanya sekedar berpelesir untuk melepas lelah. Di sepanjang jalan juga banyak terdapat penginapan baik itu hotel, losmen, atau bahkan rumah penduduk dapat juga disewa untuk dijadikan tempat menginap.
Ada banyak hal unik yang berhubungan dengan kepercayaan yang dapat kita temukan di gunung Kawi, Salah satu diantaranya adalah sebuah pohon yang konon dipercaya bila kita kejatuhan buahnya, maka kita akan mendapat rejeki. Pada malam-malam tertentu akan banyak sekali orang yang duduk di bawah pohon ini. Selain pohon, terdapat juga makam Mbah Djoego, seorang pertapa pembantu Pangeran Diponegoro, yang juga sangat dijaga oleh penduduk setempat.
Seperti dataran tinggi lainnya, Gunung Kawi menawarkan keindahan pegunungan asri dengan udara yang menyegarkan. Lebih dari itu, Gunung Kawi ternyata memiliki magnet “lain” yang sangat kuat sebagai daya tarik. Karena bagi sebagian orang, Gunung Kawi adalah salah satu tujuan wisata religius sekaligus simbol kemakmuran.
Memiliki ketinggian 2.860 meter dpl, Gunung Kawi tak pernah sepi pengunjung. Di kaki gunung ini, tepatnya di tengah kota Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, terdapat pesarean (pemakaman) yang sangat terkenal, bahkan hingga ke mancanegara, yakni Pesarean Eyang Kyai Zakaria II atau Eyang Djoego dan Raden Mas Imam Soedjono atau Eyang Soedjo. Konon, keduanya adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro yang berhasil selamat dari peperangan melawan kompeni Belanda, dan kemudian menetap di Gunung Kawi hingga akhir hayatnya.
Memasuki kawasan pesarean, pengunjung disambut gapura selamat datang “Pendopo Pesarean Agung” berbentuk seperti candi lengkap dengan aksara jawa di bagian atasnya. Bagian depan dinding gapura kanan dan kiri terdapat lukisan timbul yang menceritakan aktivitas Eyang Djoego dan Eyang Soedjo semasa hidup, lengkap dengan tahun keberadaan mereka, tahun 1871.
Yang menarik, masih di gerbang pesarean, pengelola juga dipasang papan pengumuman berisi jadwal kunjungan. Ada empat jadwal kunjungan, yakni pagi, siang, malam, dan tengah malam. Jadwal kunjungan pagi dimulai pukul 08.00, siang 14.00, dan malam 19.00. Sementara jadwal berkunjung dan berkeliling pesarean tengah malam dibatasi hanya satu jam dari pukul 24.00.
Selain ziarah di makam kedua bangsawan Yogyakarta itu, di kawasan pesarean juga terdapat dua tempat kunjungan yang sangat dikultuskan etnis Tionghoa, yakni kediaman Tan Kie Lam dan Kuil Dewi Kwan Im.
Mpek Lam—sapaan Tan Kie Lam—adalah warga Tionghoa yang merupakan murid kesayangan Eyang Soedjo. Itu sebabnya, meski Mpek Lam telah meninggal 44 tahun lalu, kawasan Pesarean Gunung Kawi, terutama Kuil Kwan Im dan kediaman Mpek Lam, menjadi tempat tujuan warga keturunan Tionghoa. Bahkan, kehadiran mereka sangat dominan dibanding etnis lainnya. Pluralitas agama ini terlihat sangat harmonis. Ini bisa diwakili dengan letak Masjid Imam Soedjono yang berdiri tak jauh dari Kuil Kwan Im.
Selain lokasinya yang dekat dengan masjid, keberadaan kuil itu tampak mencolok dengan lilin raksasa sebagai simbol dari Ti Kong. Lilin jumbo itu tampak mewah berada di lantai kuil berbahan batu granit. Namun, yang paling menarik dari kuil itu adalah patung Dewi Kwan Im berwarna emas berbahan dasar perunggu setinggi delapan meter yang diletakkan di ruang khusus di depan tempat lilin Ti Kong.
Patung seharga Rp 2,5 miliar itu sumbangan Liem Hong Sien alias Anthony Salim, putra Liem Sioe Ling alias Sudono Salim, pendiri Salim Grup. Patung Dewi Kwan Im dalam posisi Boddhisattva Avalokitesvara itu didatangkan langsung dari Taiwan pada Oktober 2008 lalu. Untuk mempermudah pengiriman, patung dipotong-potong kemudian disambung di Gunung Kawi. “Penyambungan baru selesai akhir tahun kemarin,” ujar Eko, cucu juru kunci Gunung Kawi.
Masyarakat “Ketiban” Rezeki
Setiap hari kediaman Mpek Lam maupun Kuil Dewi Kwan Im tak pernah sepi pengunjung. Selain berziarah, para pengunjung umumnya mempunyai satu tujuan ngalap berkah (mencari kemakmuran). Bahkan pada hari-hari tertentu jumlah pengunjung bisa berlipat-lipat, mengikuti penanggalan Jawa dan China, seperti hari Jumat Legi, Hari Raya Imlek, dan perayaan Tahun Baru Jawa atau bulan Suro.
Kebetulan di bulan yang diyakini sebagai bulan keramat, tepatnya tanggal 12 Suro atau 9 Januari lalu, diperingati warga Wonosari sebagai haul (hari meninggalnya) Eyang Soedjo. Saat ngalap berkah, para peziarah biasanya menjalani ritual tertentu yang mereka yakini. Setelah itu mereka mencari tempat di sekitar kawasan Pesarean Gunung Kawi untuk menyepi. Yang paling menarik adalah berjibunnya pengunjung duduk di bawah pohon dewandaru. Konon, saat kepala kejatuhan daun dewandaru, keinginan bisa terwujud.
Pengunjung yang tak pernah sepi di Pesarean Gunung Kawi, memberi berkah tersendiri bagi warga Wonosari. Kecamatan di sebelah barat Kabupaten Malang itu berkembang pesat. Penginapan dan hotel tumbuh subur di sepanjang jalan menuju pesarean. Tak ketinggalan kios-kios suvenir khas Gunung Kawi.
Oleh-oleh kuliner asli adalah telo (ketela) Gunung Kawi. Bentuknya sangat kecil memanjang seperti ibu jari. Berwarna ungu tua. Bila dimasak terutama dengan cara dikukus, rasanya sangat manis seperti madu.
Lepas dari itu, aliran kejawen yang erat dengan ritual selamatan tampaknya menjadi ladang bisnis tersendiri. Pengunjung tak perlu repot-repot menyiapkan aneka masakan dan sesaji ubo rumpe seperti cok bakal, pisang raja, dan kelapa muda untuk keperluan selamatan, karena di sana ada loket pemesanan tumpeng dan perlengkapan selamatan, lengkap dengan jadwal selamatan.
Ini semua adalah kepercayaan dan keyakinan masyarakat kita, tapi kita harus tetap percaya dengan satu kekuatan yang Maha segala-galanya yakni Allah SWT, yang menguasai seluruh alam semseta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar