Jumat, 18 Februari 2011

Minum Teh Bareng Taliban

Selama tiga tahun, Deedee Derksen, wartawati merangkap koresponden koran Belanda de Volkskrant, melaporkan situasi di Afghanistan. Pengalamannya ia tuangkan dalam buku Thee met de Taliban (Minum Teh Bersama Taliban). Menurutnya, sudah tiba saatnya mengubah persepsi negatif seputar Taliban.

Jadi, buku Anda bertajuk Minum Teh Bersama Taliban, Meliput Perang untuk Pemula?” tanya seorang penyiar radio.
Betul,” jawab Deedee.

Anda benar-benar ngeteh bersama Taliban?”
Ya!”

Bagaimana kesan Anda?”
Mula-mula, saya berharap bertemu monster atau iblis. Tapi…

Lho, bukankah mereka itu makhluk biadab. Merajam perempuan dan memenggal kepala musuh.”

Demikian reaksi kebanyakan orang awam ketika mendengar Taliban. Taliban memasang bom di bahu jalan, mengiris batang hidung lawan mereka, dan melempari perempuan dengan batu. Gambaran itu ada benarnya. Mereka melarang wanita berperan di kegiatan sehari-hari dan tak segan mencincang tubuh lawannya. Setidaknya, sebagian besar media Barat menulis hal-hal itu. Taliban identik dengan sumber malapetaka, ancaman stabilitas, dan bukti buruknya pemerintahan Afghanistan. Padahal, pemerintah Afghanistan dibentuk melalui campur tangan negara-negara Barat. Mudah menuding London, Washington, Canberra, atau Den Haag. Yang lebih pelik adalah meluruskan persepsi salah kaprah itu.

Mulai 2008, Deedee ditugaskan di Kabul, Afghanistan. “Kesempatan langka buat saya. Pembaca bisa mendengar suara lain dan bukan cuma konferensi pers jubir pasukan perdamaian di sana. Saya pun dapat melihat konflik dari dua sisi dan bertatap muka langsung dengan pejuang Taliban,” ungkapnya. Mula-mula, Deedee hanya memperoleh secuil informasi dari pasukan internasional yang bertugas di sana. Mereka menyamakan kelompok Taliban dengan makhluk ruang angkasa yang harus segera ditendang ke planet asalnya. Deedee pun punya bayangan, Taliban adalah pejuang yang bergerak diam-diam di desa-desa terpencil dan memiliki kekuatan misterius.
Jujur saja. Saya melihat Taliban sebagai musuh,” ujar Deedee. Bagi Taliban pun, Deedee adalah mata-mata berbahaya. “Anda tak takut?” hardik seorang komandanTaliban melalui telepon. Deedee cuma bisa menghela nafas bersama penerjemah dan pemandunya. Seusai wawancara, mereka melaju di Toyota Corolla berplat nomor 3191 KBL. Mereka berpacu dengan nyawa. Ban mobil mereka berderit di Logar, sebuah propinsi tak jauh dari Kabul. Semua pejuang Taliban tahu nomor mobil mereka. “Kami baik-baik saja,” pungkas Deedee dalam logat Dari, bahasa resmi di Afghanistan. “Jantung kami berdegup kencang dan saya hanya bisa melihat bayangan melalui burka yang saya kenakan. Kami khawatir dicegat anggota Taliban memegang laras kalashnikov. Ingin bersorak rasanya ketika kami selamat tiba Kabul,” lanjut Deedee.

Beberapa bulan kemudian, penerjemah yang sama disewa oleh jurnalis New YorkTimes, David Rohde. Ia disandera oleh seorang panglima Taliban. Untung, Juni 2009 ia berhasil melarikan diri setelah tujuh bulan disekap. Rohde bukan wartawan pertama dan terakhir yang diculik oleh Taliban. Ada 12 jurnalis harus kehilangan nyawa sewaktu ditugaskan di Afghanistan, sebagian akibat serangan terorganisir. Martin Bell, jurnalis surat kabar Inggris The Guardian, 2008 silam pernah menulis, “Dulu, para koresponden perang tak sengaja terseret konflik. Sekarang, mereka justru jadi sasaran penculikan dan eksekusi.” Akibatnya, makin banyak kuli tinta media cetak maupun televisi hengkang dari green zone wilayah perang.

Namun, ada yang bersikeras meliput ditemani militer atau embedded. Setiap wartawan yang bertugas di Afghanistan biasanya sudah paham dan bisa menyiasati bahaya ini, kendati tetap sulit membuat laporan obyektif. Data-data mereka kerap didapat dari kolonel misi perdamaian, petugas palang merah, diplomat kawakan, dan penduduk ‘lokal’ yang lama bermukim di luar negeri. Taliban tetap tak tersentuh, outsiders, dan terkesan barbar.

Saya belum lupa lari tergopoh-gopoh ditemani serdadu Amerika menuju helikopter di perbatasan Pakistan sambil merunduk. Peluru bisa berdesing kapan saja,” kenang Deedee. “Haji Matin dan pengikutnya sudah mengintai kami di balik bukit,” sambung Deedee. Sebetulnya, Haji Matin bukan simpatisan Taliban. Ia adalah penganut aliran Islam Wahabi. Haji Matin berang dengan tentara Amerika karena membom rumahnya. Ia, sehari-hari adalah tukang kayu, diadu domba oleh rekan dagangnya dan seenaknya dicap teroris.

Lambat laun, Deedee makin banyak mendengar keluh kesah dan jeritan rakyat Afghanistan. Pandangannya terhadap misi ISAF (International Security Assistance Forces) pun berubah. Mereka menyerang rumah penduduk tak berdosa. Bisa ditebak, rakyat miskin pun lebih simpati ke Taliban yang melindungi mereka. Selain itu, pemerintah setempat juga senang menjarah dan tak menabukan korupsi. Deedee bertemu dengan pejabat-pejabat di sekitar Kandahar, Wardak, Helmand, dan Ghazni – deretan propinsi yang kerap disebut sebagai sarang Taliban. Sudah menjadi rahasia umum, aparat pemerintahan Afghanistan bersekongkol pula dan terlibat perdagangan narkoba.

Kadang, baku tembak antar geng tak dapat dihindari dan seringkali mereka berdalih sedang membasmi Taliban. Sebetulnya, Taliban sudah setuju gencatan senjata pada 2001 lalu dan menunggu perkembangan pemerintahan baru pimpinan Hamid Karzai. Sayang, seorang komandan Taliban ditembak mati dan digantung di tengah alun-alun kota Tarin Kowt. Insiden tersebut membuat situasi di Uruzgan memanas lagi dan kabinet Karzai mendukung pembantaian itu. Kendati pelaku-pelaku peristiwa tersebut – Jan Mohammad dan Matiullah – dicopot jabatannya, mereka tetap memegang peran dalam penunjukan kepala desa, gubernur, dan korps polisi – serta memiliki satuan tentara sipil.

Menurut Deedee, Taliban menyebar ideologi untuk menarik simpati. Mereka gusar dengan tentara bayangan pengikut-pengikut Karzai. Negara-negara pengemban misi ISAF pun punya serdadu-serdadu lokal ‘favorit’. Mereka seringkali mengawal tentara ISAF berpatroli. “Ini bertentangan dengan tujuan misi perdamaian ISAF dan sama saja dengan penyalahgunaan wewenang,” sergah Deedee. Ia menghubungi dan berbicara lewat telepon dengan jubir Taliban dan mewawancarai komandan Taliban. Deedee paham propaganda Taliban. Ironisnya, banyak pengikut Taliban yang tak tahu-menahu soal itu. Deedee pun berhasil minum teh dengan salah satu gembong Taliban, pembuat rompi bom bunuh diri sekaligus pejuang ‘sejati’ Taliban yang sudah 25 tahun bergerilya.

Ia menguraikan, “Acara minum teh itu sangat buru-buru dan terkesan simbolis. Tanpa sorotan diplomat Barat, pekerja organisasi kemanusiaan, militer, dan pers. Namun, itu semua membuka mata saya mengenai akar masalah di Afghanistan. Memang, Taliban punya pasukan berani mati dan pengikut hardliners mereka makin membatasi peran perempuan di kehidupan sehari-hari.
“Tapi, jangan lupa, ekstrimis pun duduk di kursi pemerintahan dan menyetir rakyat berkat kasak-kusuk Barat.”

Isa Alïmusa

Sumber dan ilustrasi: Harian de Volkskrant “Theedrinken met de Taliban” (12-10-2010)

kolomkita.detik.com

Kita Miskin Karena Miskin



Arab Saudi stop Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kabar itu mengejutkan. Sebab dari warta itu terbayang membludaknya pengangguran, tambahnya penduduk miskin. Kriminalitas, bunuh diri, serta aksi terorisme pun punya peluang berbiak. Kapan negara mampu memberi lapangan kerja bagi saudara-saudara kita itu?

Terus terang kabar itu menyesakkan dada sebagian pencari kerja dari Jawa. Sebab sejuta TKI pengadu nasib di Arab Saudi yang terombang-ambing dalam keresahan itu memang mayoritas berasal dari pulau ini. Balik pulang tidak jelas mau kerja apa. Tetap bertahan nasibnya tergantung di ranting rapuh. Kendati Arab Saudi secara resmi menyebut itu bukan kebijakan pemerintah.

Dalam pandangan klasik, orang Jawa itu nrimo ing pandum. Menerima apa yang diberikan Gusti Allah. Mereka tahan menderita, tenang dihimpit kemiskinan, dan tabah dalam ketidak-berdayaan. Pameo mangan ora mangan asal kumpul. Makan tidak makan asal kumpul pas sebagai atribut.

Namun puluhan tahun lalu saat masih hidup di desa saya dibuat tertegun dengan para tetangga saya. Semua lelaki bertaburan meninggalkan kampung. Mereka ada yang ke Malaysia, Arab Saudi, bahkan tidak sedikit yang ke Amerika Serikat. Desa tinggal dihuni anak-anak, para istri, dan perangkat desa.

Keterkejutan itu memunculkan kejutan puluhan tahun berikutnya. Rumah reyot dari bambu hilang dari pandangan, berganti rumah tembok full keramik. Isi rumah dipenuhi perabot mewah . Dan mobil atau motor tidak sulit ditemukan parkir di depan rumah.
Kemakmuran itu, terus terang, berkat nekad sebagai tenaga kerja di negara lain. Disebut nekad, karena mereka tidak mengerti apa itu paspor, apalagi visa. Yang di Malaysia jadi buruan polisi dan 'dipermurah' tenaganya oleh para tekong. Yang di Amerika 'dirawat negara' karena alasan sama, itu adalah tetangga saya. Termasuk Amrozi almarhum. Tapi begitu, saat pulang dia masih punya sisa uang yang cukup lumayan.

Sekarang, mereka banyak yang sudah punya izin tinggal. Ada yang menjadi warga negara setempat, punya usaha, dan berpenghasilan tak terbayangkan seandainya tetap hidup di desa. Wargaku, tetanggaku, yang tek-iyek (asli) Lamongan itu kini kalau pulang ke desa adalah klangenan. Nostalgia melihat potret kemiskinan masa lalu. Keguyuban memang cermin hidup di pedesaan. Pertemanan dan kekeluargaan lekat satu sama lain. Kalaulah mereka kemudian kabur meninggalkan kampung halaman pun rela menjadi warga negara di luar Indonesia, itu karena terpaksa. Dia dipaksa keadaan. Daerah Lamongan yang terbanyak menjadi TKI juga karena alasan sama.

Daerah ini sangat miskin. Kemiskinan itu tergambar dalam rangkaian kata 'rendeng gak iso ndodok, ketigo gak iso cewok'. Musim hujan tidak bisa duduk karena dimana-mana banjir. Dan musim panas tidak ada air, bahkan hanya sekadar untuk cebok. Ini penyulut revolusi 'tak penting kumpul, yang penting bisa makan' menjadi ikon. Pemerintah dari tahun ke tahun selalu bilang ekonomi membaik dan kemiskinan menurun. Angka yang 'debatable' itu selalu dijadikan indikator kesuksesan. Tapi coba lihat asal uang yang masuk untuk membiayai negara ini (APBN). Dari sana  tampak, rasanya pemerintah gagal memberi pekerjaan dan salah menjalankan roda kebijakan.

Mungkin ekonomi membaik, tetapi ekonomi siapa? Mungkin kemiskinan turun, itu jika terus digenjot 'ekspor orang miskin' berlipat-lipat ke berbagai negara di dunia tanpa perlindungan, tanpa perduli kesakitan dan nistanya sebuah negara. Untuk itu saya tabik pada para TKI, legal atau ilegal. Sebab mereka lebih punya inisiatif dibanding negara yang belum punya inisiatif untuk memberi pekerjaan, apalagi kesejahteraan bagi rakyatnya.

Biarlah pemerintah terus asyik dengan kebijakan pro growth, pertumbuhan yang menciptakan konglomerasi dan membuang rakyat miskin penghuni mayoritas negeri ini. Sebab seperti kata Ragnar Nurkse, teoritikus kemiskinan itu, sebuah negara itu miskin, karena dia memang miskin. Miskin harta, miskin otak, dan miskin ide. Adakah benar kita miskin?
 
Djoko Suud Sukahar 
Pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

Sumber: detik.com

Muhammadiyah: Ungkap Aktor Intelektual di Balik Antonius Richmond

Muhammadiyah Jawa Tengah mendesak pemerintah untuk mengungkap siapa yang berperan 'dibalik' Antonius Richmond Bawengan, pelaku penistaan agama yang terjadi di Temanggung. Pasalnya, jika pemerintah --dalam hal ini aparat penegak hukum-- tak bisa mengungkap aktor intelektual kasus penistaan agama ini, kalangan Muhammadiyah mencemaskan persoalan yang sama masih akan terjadi di kemudian hari.

"Siapa yang ada dibelakang Antonius Richmond ini juga harus diungkap. Kalau pemerintah tidak tegas kasus- kasus penistaan bisa terus berlanjut," ungkap Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, KH Drs Musman Tholib MAg, di Semarang, Jumat (18/2).

Menyikapi aksi amuk massa yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap proses persidangan penistaan agama di PN Temanggung ini, Musman menyayangkan sikap pemerintah yang hanya fokus pada penanganan dampak akibat terjadinya kerusuhan. Sementara 'wilayah' penyebab kerusuhan ini sama sekali tidak ditangani dengan baik. Padahal pemicu terjadinya kerusuhan ini sangat sensitif bagi isu kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama.

Ia juga menjelaskan, kasus penistaan serupa pernah terjadi di Kabupaten Kudus pada tahun 80-an. Peristiwa ini bahkan dialaminya sendiri saat masih menjadi ulama di wilayah Desa Prambatan, Kecamatan Kaliwungu.Motifnya juga sama, mendatangi rumah- rumah warga sambil mengedarkan selebaran penistaan agama yang dilakukan oleh seorang oknum anggota TNI. Hanya saja persoalannya tak sampai melebar seperti di Temanggung.

Musman --yang didampingi sejumlah pengurus Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah-- juga yakin, Antonius tidak sendirian dalam melakukan tindakan penistaan agama di Temanggung. Di belakangnya masih ada pengikut lain dan motif besar yang siap menjadi 'bom waktu'.Sehingga pihaknya berkesimpulan kalau pemerintah tak konsisten dalam mengambil tindakan terhadap pelaku penyebar buku penistaan agama berikut pengikutnya, akan berdampak pada persatuan dan kesatuan bangsa.

Selain itu juga rentan merusak kerukunan --baik sesama maupun antara-- umat beragama yang telah terbina dengan baik serta sewaktu- waktu juga bisa menjadi 'bom waktu' bagi stabilitas nasional.Oleh karena itu, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah meminta pemerintah menindak tegas penulis serta para pengikut penyebar penistaan agama Islam di Kabupaten Temanggung ini.

Selain itu juga menindak tegas mereka yang terbukti secara hukum menjadi pelaku tindak kerusuhan. "Termasuk juga berani menindak tegas organisasi atau sekte yang mengajarkan penistaan terhadap agama Islam," tegas Musman.

Suber: www.republika.co.id

Related Posts with Thumbnails