Selama tiga tahun, Deedee Derksen, wartawati merangkap koresponden koran Belanda de Volkskrant, melaporkan situasi di Afghanistan. Pengalamannya ia tuangkan dalam buku Thee met de Taliban (Minum Teh Bersama Taliban). Menurutnya, sudah tiba saatnya mengubah persepsi negatif seputar Taliban.
“Jadi, buku Anda bertajuk Minum Teh Bersama Taliban, Meliput Perang untuk Pemula?” tanya seorang penyiar radio.
“Betul,” jawab Deedee.
“Anda benar-benar ngeteh bersama Taliban?”
“Ya!”
“Bagaimana kesan Anda?”
“Mula-mula, saya berharap bertemu monster atau iblis. Tapi…”
“Lho, bukankah mereka itu makhluk biadab. Merajam perempuan dan memenggal kepala musuh.”
…
Demikian reaksi kebanyakan orang awam ketika mendengar Taliban. Taliban memasang bom di bahu jalan, mengiris batang hidung lawan mereka, dan melempari perempuan dengan batu. Gambaran itu ada benarnya. Mereka melarang wanita berperan di kegiatan sehari-hari dan tak segan mencincang tubuh lawannya. Setidaknya, sebagian besar media Barat menulis hal-hal itu. Taliban identik dengan sumber malapetaka, ancaman stabilitas, dan bukti buruknya pemerintahan Afghanistan. Padahal, pemerintah Afghanistan dibentuk melalui campur tangan negara-negara Barat. Mudah menuding London, Washington, Canberra, atau Den Haag. Yang lebih pelik adalah meluruskan persepsi salah kaprah itu.
Mulai 2008, Deedee ditugaskan di Kabul, Afghanistan. “Kesempatan langka buat saya. Pembaca bisa mendengar suara lain dan bukan cuma konferensi pers jubir pasukan perdamaian di sana. Saya pun dapat melihat konflik dari dua sisi dan bertatap muka langsung dengan pejuang Taliban,” ungkapnya. Mula-mula, Deedee hanya memperoleh secuil informasi dari pasukan internasional yang bertugas di sana. Mereka menyamakan kelompok Taliban dengan makhluk ruang angkasa yang harus segera ditendang ke planet asalnya. Deedee pun punya bayangan, Taliban adalah pejuang yang bergerak diam-diam di desa-desa terpencil dan memiliki kekuatan misterius.
“Jujur saja. Saya melihat Taliban sebagai musuh,” ujar Deedee. Bagi Taliban pun, Deedee adalah mata-mata berbahaya. “Anda tak takut?” hardik seorang komandanTaliban melalui telepon. Deedee cuma bisa menghela nafas bersama penerjemah dan pemandunya. Seusai wawancara, mereka melaju di Toyota Corolla berplat nomor 3191 KBL. Mereka berpacu dengan nyawa. Ban mobil mereka berderit di Logar, sebuah propinsi tak jauh dari Kabul. Semua pejuang Taliban tahu nomor mobil mereka. “Kami baik-baik saja,” pungkas Deedee dalam logat Dari, bahasa resmi di Afghanistan. “Jantung kami berdegup kencang dan saya hanya bisa melihat bayangan melalui burka yang saya kenakan. Kami khawatir dicegat anggota Taliban memegang laras kalashnikov. Ingin bersorak rasanya ketika kami selamat tiba Kabul,” lanjut Deedee.
Beberapa bulan kemudian, penerjemah yang sama disewa oleh jurnalis New YorkTimes, David Rohde. Ia disandera oleh seorang panglima Taliban. Untung, Juni 2009 ia berhasil melarikan diri setelah tujuh bulan disekap. Rohde bukan wartawan pertama dan terakhir yang diculik oleh Taliban. Ada 12 jurnalis harus kehilangan nyawa sewaktu ditugaskan di Afghanistan, sebagian akibat serangan terorganisir. Martin Bell, jurnalis surat kabar Inggris The Guardian, 2008 silam pernah menulis, “Dulu, para koresponden perang tak sengaja terseret konflik. Sekarang, mereka justru jadi sasaran penculikan dan eksekusi.” Akibatnya, makin banyak kuli tinta media cetak maupun televisi hengkang dari green zone wilayah perang.
Namun, ada yang bersikeras meliput ditemani militer atau embedded. Setiap wartawan yang bertugas di Afghanistan biasanya sudah paham dan bisa menyiasati bahaya ini, kendati tetap sulit membuat laporan obyektif. Data-data mereka kerap didapat dari kolonel misi perdamaian, petugas palang merah, diplomat kawakan, dan penduduk ‘lokal’ yang lama bermukim di luar negeri. Taliban tetap tak tersentuh, outsiders, dan terkesan barbar.
“Saya belum lupa lari tergopoh-gopoh ditemani serdadu Amerika menuju helikopter di perbatasan Pakistan sambil merunduk. Peluru bisa berdesing kapan saja,” kenang Deedee. “Haji Matin dan pengikutnya sudah mengintai kami di balik bukit,” sambung Deedee. Sebetulnya, Haji Matin bukan simpatisan Taliban. Ia adalah penganut aliran Islam Wahabi. Haji Matin berang dengan tentara Amerika karena membom rumahnya. Ia, sehari-hari adalah tukang kayu, diadu domba oleh rekan dagangnya dan seenaknya dicap teroris.
Lambat laun, Deedee makin banyak mendengar keluh kesah dan jeritan rakyat Afghanistan. Pandangannya terhadap misi ISAF (International Security Assistance Forces) pun berubah. Mereka menyerang rumah penduduk tak berdosa. Bisa ditebak, rakyat miskin pun lebih simpati ke Taliban yang melindungi mereka. Selain itu, pemerintah setempat juga senang menjarah dan tak menabukan korupsi. Deedee bertemu dengan pejabat-pejabat di sekitar Kandahar, Wardak, Helmand, dan Ghazni – deretan propinsi yang kerap disebut sebagai sarang Taliban. Sudah menjadi rahasia umum, aparat pemerintahan Afghanistan bersekongkol pula dan terlibat perdagangan narkoba.
Kadang, baku tembak antar geng tak dapat dihindari dan seringkali mereka berdalih sedang membasmi Taliban. Sebetulnya, Taliban sudah setuju gencatan senjata pada 2001 lalu dan menunggu perkembangan pemerintahan baru pimpinan Hamid Karzai. Sayang, seorang komandan Taliban ditembak mati dan digantung di tengah alun-alun kota Tarin Kowt. Insiden tersebut membuat situasi di Uruzgan memanas lagi dan kabinet Karzai mendukung pembantaian itu. Kendati pelaku-pelaku peristiwa tersebut – Jan Mohammad dan Matiullah – dicopot jabatannya, mereka tetap memegang peran dalam penunjukan kepala desa, gubernur, dan korps polisi – serta memiliki satuan tentara sipil.
Menurut Deedee, Taliban menyebar ideologi untuk menarik simpati. Mereka gusar dengan tentara bayangan pengikut-pengikut Karzai. Negara-negara pengemban misi ISAF pun punya serdadu-serdadu lokal ‘favorit’. Mereka seringkali mengawal tentara ISAF berpatroli. “Ini bertentangan dengan tujuan misi perdamaian ISAF dan sama saja dengan penyalahgunaan wewenang,” sergah Deedee. Ia menghubungi dan berbicara lewat telepon dengan jubir Taliban dan mewawancarai komandan Taliban. Deedee paham propaganda Taliban. Ironisnya, banyak pengikut Taliban yang tak tahu-menahu soal itu. Deedee pun berhasil minum teh dengan salah satu gembong Taliban, pembuat rompi bom bunuh diri sekaligus pejuang ‘sejati’ Taliban yang sudah 25 tahun bergerilya.
Ia menguraikan, “Acara minum teh itu sangat buru-buru dan terkesan simbolis. Tanpa sorotan diplomat Barat, pekerja organisasi kemanusiaan, militer, dan pers. Namun, itu semua membuka mata saya mengenai akar masalah di Afghanistan. Memang, Taliban punya pasukan berani mati dan pengikut hardliners mereka makin membatasi peran perempuan di kehidupan sehari-hari.
“Tapi, jangan lupa, ekstrimis pun duduk di kursi pemerintahan dan menyetir rakyat berkat kasak-kusuk Barat.”
Sumber dan ilustrasi: Harian de Volkskrant “Theedrinken met de Taliban” (12-10-2010)
kolomkita.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar