Sabtu, 22 Januari 2011
Fasilitas Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat semestinya mendengarkan aspirasi rakyat. Demikian komentar Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP, menanggapi sikap DPR yang gigih ingin meneruskan rencana pembangunan gedung baru. Anggaran pembangunan gedung megah dan mewah bertingkat 36 itu mencapai sekitar Rp1,3 triliun, yang dianggap terlalu tinggi oleh masyarakat. Antara lain Sebastian Salang, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen, berpendapat pembangunan gedung baru bukan kebutuhan mendesak. Janganlah penambahan tenaga ahli dijadikan alasan.
Yang tidak seimbang dengan kegigihan untuk mendapatkan gedung baru, DPR sebagai badan legislatif di lain pihak dinilai gagal menuntaskan tugas dan tanggung jawabnya. Diberitakan, dari 70 RUU prioritas tahun 2010, hanya delapan yang menjadi UU.
Selain menjalankan fungsi dan tugas rutinnya, DPR kadang-kadang juga terkesan membuat pilihan-pilihan yang berselisih dengan harapan rakyat. Termasuk penyelenggaraan berbagai studi banding ke luar negeri dan pembangunan fasilitas yang dinilai mengada-ada. Misalnya, Gedung Perwakilan Rakyat bukan hotel. Mengapa harus ada kolam renang di sana?
Perpustakaan perwakilan rakyat
Sebagai wakil rakyat, para anggota DPR berpenghasilan memadai untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat wajib menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan anggota dalam rangka menjalankan tugasnya. Yang diharapkan, tersedia fasilitas-fasilitas yang mampu mengembangkan kualitas para anggota demi peningkatan kinerja.
Salah satu yang mungkin meminta perhatian adalah fasilitas pendidikan. Tidak disangsikan, para anggota DPR telah memenuhi persyaratan pendidikan formal mereka. Namun, latar belakang fokus pendidikan tidak sama, selain misi ideologi partai juga berbeda-beda. Maka, diperlukan pendalaman pendidikan sesuai tugas legislatifnya, termasuk pengetahuan hukum dan kemasyarakatan. Fasilitas bisa beragam: berbentuk riset, seminar, diskusi, atau pelatihan yang dilakukan bersama atau masing-masing.
Sekadar untuk studi banding, tersebutlah sebuah fasilitas perwakilan rakyat Amerika yang dianggap termegah di seluruh dunia, terkenal sebagai lembaga kultural pemerintah federal yang tertua--berdiri pada 1800--dengan nama The Library of Congress, di Washington DC. Sekarang koleksinya mencakup sekitar 32 juta buku dan penerbitan jenis lain, yang terbit dalam 470 bahasa. Sekitar 130 juta selebihnya berbentuk lain. Bila dideretkan dalam rak buku, panjang seluruhnya mencapai hampir 1.200 km. Bandingkan dengan British Library yang memiliki koleksi 25 juta buku dan 150 juta benda koleksi perpustakaan. Bila dideretkan dalam rak panjangnya sekitar 625 km.
Library of Congress yang kini meraksasa itu berdiri setelah Kongres Amerika dibentuk pada 1789 berdasarkan konstitusi. Perpustakaannya dibangun 11 tahun kemudian. Undang-undang menetapkan alokasi dana sebesar US$5.000 untuk pembelian buku-buku perpustakaan. Pada awalnya, buku-buku dipesan dari London. Jumlahnya tidak lebih dari 740 buku.
Kongres waktu itu barangkali merasakan perlunya memiliki perpustakaan untuk fasilitas riset. Sebagai badan pembuat undang-undang, koleksinya semula hanya yang berkaitan dengan hukum. Sayangnya, akibat serangan tentara Inggris tahun 1814, Library of Congress dengan koleksi 3.000 buku hancur. Namun dalam waktu satu bulan, Presiden AS Thomas Jefferson menyerahkan lebih dari 6.000 koleksinya sebagai pengganti.
Menjelang penutup abad ke-19, Library of Congress mengalami reorganisasi yang membuatnya berkembang pesat. Pada abad ke-20 dia sudah lebih terbuka dan disebut sebagai 'library of the last resort', semacam perpustakaan sentral. Dia bekerja sama dengan perpustakaan-perpustakaan lain dan terbuka untuk publik yang dianggap memenuhi persyaratan, termasuk para ilmuwan periset. Banyak bahan dari negara-negara lain didatangkan untuk memperkaya koleksi.
Dalam perjalanan sejarahnya, ada usaha-usaha untuk mengembangkan peran perpustakaan itu agar lebih melayani kebutuhan nasional daripada legislatif. Namun, undang-undang reorganisasi tahun 1970 mengembalikannya pada peran melayani badan legislatif, dengan lebih fokus pada riset untuk komite-komite Kongres. Sekarang hanya anggota-anggota Kongres, Mahkamah Agung dan stafnya, staf Library of Congress sendiri serta pejabat-pejabat tertentu, diizinkan memindahkan buku dan lainnya dari gedung perpustakaan. Lain-lainnya hanya boleh meminjam untuk dibaca di ruang baca.
Prioritas fasilitas
Fasilitas-fasilitas perwakilan rakyat mencerminkan dinamika dan kinerja para anggota. Sejak berdiri pada 1800, lebih dari dua abad yang lalu, The Library of Congress dipimpin berturut-turut oleh 13 intelektual terkemuka. Harian New York Times menyatakan pada tahun 1987 bahwa posisi pemimpin perpustakaan itu ‘perhaps the leading intelellectual public position in the nation.'
Apakah orientasi masyarakat kita lebih berat ke depan atau ke belakang? Kelengahan untuk sekali-sekali merenungkan hal-hal demikian membuat kita hanyut pada kerepotan berjangka pendek, membuat kita segan menggunakan kreativitas karena khawatir kalau-kalau merusak kemapanan, Padahal kita punya cukup banyak orang cakap dengan ide-ide baru dan kreativitas. Mengutip kata seorang intelektual, "Jumlah orang pintar di Indonesia 'ombyokan' (sangat banyak). Masalahnya, apakah kita sudah memanfaatkan pemikiran mereka?"
Di luar bidang ekonomi dan politik, masih ada bidang-bidang sosial yang memerlukan sumbangan pemikiran baru dan segar. Hasil konkretnya mungkin tidak bisa dirasakan sekarang. Tetapi kalau diabaikan, dampaknya akan besar di masa depan. Ambil contoh sederhana: soal minat baca. Sebagai bangsa, kita patut prihatin melihat betapa rendahnya minat baca kita, padahal bacaan yang mantap memberikan rangsangan pengembangan pemikiran. Tanpa bacaan, kita akan tetap menjadi bangsa yang bertopang pada tradisi lisan yang berjalan lamban dan pesannya sering tidak akurat. Apakah ini perlu diprihatinkan? Rasanya perlu. Kita bisa menghimpun ide-ide segar dan baru dari bacaan yang datang dari segenap penjuru dunia. Kalau yang kita dengar dan katakan hanya itu-itu saja, bukankah kita akan berjalan di tempat?
Soal minat baca ataupun fasilitas-fasilitas pendukungnya memang kedengarannya sederhana dan tidak bersifat mendesak. Sekadar contoh, persentase bacaan harian kita amat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. UNESCO menetapkan seyogianya 10%. Hal-hal sederhana seperti ini pun sebenarnya menjadi tantangan bagi Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk masa depan, yang ditunggu bukan hanya warisan berbentuk bangunan atau monumen. Rasanya masa depan justru membutuhkan warisan spirit pemikiran.
Oleh Toeti Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Grup
Sumber: mediaindonesia.com
DEMOKRASI: Antara Kedaulatan Ilmu dan Kedaulatan Kambing
Pria yang ramah dan cerdas ini, sebelum belakangan menjadi orang rumahan, dulu merupakan orang lapangan yang langkah da’wahnya sudah merambah hampir seluruh propinsi di Indonesia. Kenapa sekarang betah tinggal di rumah? “Terlalu asyik mengajar orang lain bisa membuat kita lupa mengajar diri dan keluarga. Padahal, diri dan keluarga itulah sasaran da’wah yang pertama dan harus diutamakan.” Begitulah jawaban diplomatisnya. “Tapi suatu hari, saya juga akan terjun ke lapangan lagi,” katanya.
Tapi, siapa sih dia? Dia menolak namanya dipublikasikan, apalagi disertai fotonya. Yang pasti, dari obrolan sekitar dua jam, yang berkisar pada fungsi dan peran Al-Qurãn di zaman sekarang, tulisan di bawah ini adalah hasilnya.
Tolong jelaskan, bagaimanakah Al-Qurãn menjawab tantangan zaman?
Pertanyaan itu saya sambut dengan pertanyaan lagi. Pertama, apa tantangannya? Kedua, tahu tidak cara mendapatkan jawaban dari Al-Qurãn? Sejarah menegaskan bahwa Al-Qurãn turun sebagai response (jawaban) atas satu challenge (tantangan). Itu yang terjadi pada masa Nabi. Kini juga bisa terjadi, peran Al-Qurãn sebagai respon seperti dulu itu berulang, atau sebenarnya tetap demikian. Ibarat alat, dia tidak akan kehilangan fungsi. Tapi, masalahnya, maukah kita memfungsikannya?
Demokrasi bukan tantangan bagi Al-Qurãn. Tapi, sebaliknya saya menantang, bisakah prinsip demokrasi diubah, dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan ilmu?
Kedaulatan rakyat itu kan sama dengan kedaulatan kambing! Akhirnya yang muncul ke permukaan adalah serigala. Kenapa? Karena serigala berilmu, punya strategi dan taktik untuk membuat kambing memilih mereka sebagai pemimpin, sehingga mereka jadi bebas makan kambing toh?
Jadi, seperti kata Nurcholis bahwa demokrasi bisa membuat tuyul terpilih jadi presiden?
Ya, karena itu tadi, prinsip kedaulatan rakyat.
Jadi, Tuhan berbicara melalui rakyat, begitu? Yang saya tahu, Tuhan berbicara melalui kitab-Nya, kepada para rasul-Nya. Lalu para rasul itulah yang berbicara kepada rakyat, menyampaikan ajaran Tuhan. Bila si rakyat menerima ajaran Tuhan, otomatis mereka akan menyuarakan ajaran Tuhan. Mereka akan berani berkata kepada para pemimpin, “Hai, kalian jangan korupsi!” misalnya.
Tapi bila ajaran Tuhan tidak ada di otak mereka, bisa-bisa mereka malah menggemakan suara Setan! Artinya, bisa saja suara rakyat memang identik dengan suara Tuhan, bila si rakyat itu memang tahu suara Tuhan dan mereka menyuarakan aspirasi Tuhan, bukan aspirasi perut mereka. Bila mereka hanya menyuarakan aspirasi perut, atau aspirasi libido (seks) seperti kata Freud, ya suara rakyat identik dengan suara Setan. Bila rakyat sudah mewakili aspirasi Setan, wajar saja bila mereka memilih tuyul atau setan gundul sebagai pemimpin. Lalu, di lapangan informasi, misalnya, bertebaranlah media massa yang menawarkan pornografi dan pornoaksi.
Saya maksud dengan kedaulatan ilmu adalah ilmu sebagai imam atau pemimpin. Seperti kata Nabi, ilmu adalah imam bagi amal (perilaku) manusia. Tapi kebanyakan manusia bergerak, hidup, mengikuti tradisi atau bahkan kelatahan saja. Kebanyakan manusia tidak mempertanyakan apakah yang mereka lakukan setiap hari itu benar atau tidak menurut ukuran suatu ilmu? Bagi umat Islam, misalnya, benar atau tidak yang mereka lakukan itu menurut ukuran kitab suci mereka, yang merupakan ’standar ilmiah’ mereka?
Maksud Bapak?
Ya, orang Islam itu kan setiap melakukan sesuatu harus dimulai dengan Bismillah. Tapi sadar tidak kita, struktur ilmu apa yang harus dibangun ketika kita mengucapkan Bismillah?
Wah, saya makin tak mengerti nih!
Anda kan mempertanyakan tentang kedaulatan ilmu. Sebelum bicara kedaulatan ilmu dalam skala besar, katakanlah dalam konteks kenegaraan, kita harus periksa diri sendiri dulu. Pertama adalah cara berpikir kita. Sudahkah kita berpikir ilmiah? Berpikir ilmiah itu kan mulainya dari metode. Metode itu sebenarnya kan struktur, atau bangunan, atau bentuk ilmu. Setiap ilmu mempunyai metode sendiri, yang membedakannya dari ilmu-ilmu lain. Nah, Al-Qurãn sebagai ilmu juga kan ada metodenya.
Memangnya Al-Qurãn itu ilmu?
Lha, ajaran dukun saja diakui sebagai ilmu, kenapa ajaran Allah tidak?
Dianggap lebih tinggi tapi diperlakukan lebih rendah, itulah kenyataannya! Artinya, karena Al-Qurãn dianggap bukan ilmu, maka kita jadi setengah hati dalam menjadikannya pedoman hidup. Akhirnya pedoman itu menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan sejak awal sekali, mulai dari penerjemahan, karena Al-Qurãn dianggap bukan ilmu, maka penerjemahannya pun menjadi tidak ilmiah. Sebagai contoh, Bismillahirrahmanirrahim diartikan “Dengan nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang ….
Di mana letak kesalahan terjemahan itu?
Coba terjemahan itu dibawa ke Aceh, ketika baru hancur karena tsunami! Atau ke tempat yang baru-baru ini dilanda air dari Situ Gintung. Di sana yang terlihat dan terasa adalah Allah Mahakejam, bukan Pengasih dan Penyayang.
Bukan! Itu pikiran orang-orang yang tidak ilmiah, karena memang tidak diajari berpikir ilmiah oleh para Kiai mereka. Coba perhatikan (sambil tertawa), setiap ada bencana, para Kiai itu menghibur dengan kata-kata, ada juga yang berdoa sambil nangis-nangis. Lucunya, sambil menangis mereka mendikte Allah untuk berbuat begini dan begitu, atau jangan berbuat begini dan begitu. Sebenarnya siapa yang jadi Tuhan? Allah atau kita? Kalau kita mendikte Allah, berarti kita dong yang jadi Tuhan! Setiap terjadi bencana, di mana-mana, dengan berbagai cara, muncul pengakuan tentang kedudukan Tuhan sebagai Penguasa, tapi tidak ada pengakuan bahwa Tuhan itu Pengatur, yang peraturan-Nya harus diikuti.
Dalam konteks Aceh, bukankah di Aceh justru sudah diberlakukan Syari’at Islam, peraturan Allah?
Dalam kenyataan, apa benar ajaran Allah diterapkan di sana? Bagaimana dengan bisnis ganja yang terus berjalan? Bahkan setelah peristiwa tsunami, masih ada orang yang tertangkap karena hendak menyelundupkan ganja. Itu hanya contoh ekstrim saja ya! Yang ingin saya katakan adalah bahwa Islam di Aceh, atau di belahan bumi Indonesia yang lain, sama sajalah dengan di negara-negara Arab atau yang lain. Resminya negara Islam, tapi tetap saja yang berlaku secara real adalah peraturan tuyul. Masih ada para penguasa yang feodalis, ada korupsi di sana-sini, ada penindasan, pelecehan seksual, dan macam-macam.
Itu dari sisi perilaku manusianya. Dari sisi konsepnya, apa yang disebut Syari’at Islam itu kan Fiqih. Fiqih itu kan macam-macam, ada beberapa aliran, ada beberapa mazhab. Di antara mazhab-mazhab itu, entah yang mana yang mewakili ajaran Allah yang sebenarnya. Ya, orang boleh saja mengatakan bahwa perbedaan pendapat, yang melahirkan mazhab-mazhab itu, adalah rahmat. Tapi bagi saya, lahirnya mazhab-mazhab itu hanya membuktikan bahwa manusia tidak mau tunduk pada peraturan Allah. Islam yang tadinya hanya satu, satu Tuhannya, satu kitabnya, satu rasulnya, oleh manusia yang lahir belakangan kok dijelmakan menjadi puluhan atau ratusan mazhab?
Anda boleh berbeda pendapat dengan saya, kalau antara anda dan saya tidak mempunyai tujuan real dan praktis yang sama. Misalnya, kita cuma ingin beradu wacana. Tapi kalau kita punya tujuan nyata dan praktis yang sama, keunggulan sebuah konsep atau wacana ditentukan oleh kemampuannya mencapai tujuan itu. Ketika kita hendak membangun sebuah rumah, misalnya, kita harus berangkat dari sebuah gambar yang dibuat oleh seorang arsitek yang kita sepakati. Kalau kita membawa dua gambar dari dua arsitek yang berbeda, padahal kita hendak membangun rumah di satu lahan yang sama, apa yang akan terjadi? Baguslah kalau nanti dua rumah bisa dibangun. Tapi bagaimana kalau kita malah berantem memperebutkan lahan, untuk mewujudkan gambar masing-masing?
Maksud saya, ketika kita berhadapan dengan Al-Qurãn sebagai sebuah teks, saya kira sudah hampir pasti bahwa kita akan berbeda pendapat.
Ya, kalau kita berangkat secara liar, semau gue, memang bisa begitu. Tapi coba kita berangkat dari satu titik keberangkatan yang sama. Nah, titik keberangkatan ini kalau dalam konteks ilmu adalah metode atau prosedur. Kalau kita menggunakan metode yang sama dalam mengkaji Al-Qurãn, hasilnya, kesimpulan yang kita dapat pasti akan sama.
Dari mana kita dapatkan jaminan kepastian itu?
Kalau anda mempelajari teori ilmu, filsafat ilmu, anda pasti tahu bahwa sebuah metode itu tidak berdiri sendiri tapi ada perangkat-perangkat lain yang membuat metode itu bisa tegak, bisa membawa kita pada tujuan nyata dan praktis tadi. Nah, sepanjang kita berpegang pada satu metode dengan segala perangkat pendukungnya, lalu kita hubungkan dengan tujuan nyata dan praktisnya, maka di situ kita bisa memusatkan perhatian secara bersama-sama.
Bagaimana bila tujuannya berbeda?
Kalau tujuannya berbeda, metodenya berbeda juga dong! Tapi kita, sesama umat Islam, masak sih punya tujuan berbeda. Ambil contoh gampang saja; kita bikin masjid, misalnya, apa tujuan kita beda?
Ya, karena masjid hanya sarana fisik, yang seandainya dia tidak ada pun, kita tetap bisa melaksanakan tujuan kita. Untuk shalat ritual, misalnya. Tapi, bila tujuannya hanya shalat ritual, shalat tidak harus dilakukan di dalam masjid. Tapi ketika sebuah masjid dibangun, tujuan hakiki yang mau dicapai bukan lagi sekadar melakukan shalat ritual. Masjid itu harus menjadi sarana pemersatu, bukan malah menjadi alat pemisah satu mazhab dengan mazhab yang lain.
Ngomong-ngomong soal masjid, dalam peristiwa tsunami di Aceh dulu itu, ada beberapa masjid yang selamat, sementara bangunan-bangunan lain hancur. Begitu juga dalam peristiwa Situ Gintung. Bagaimana Bapak membaca hal itu?
Tidak semua masjid selamat, banyak juga yang hancur. Saya dengar ada 270 masjid yang hancur. Untuk yang tidak hancur, mungkin karena bangunannya memang bagus. Sedangkan masjid yang dekat Situ Gintung itu, kan jelas kelihatan bahwa masjid itu tidak terhantam langsung oleh limpahan air. Air hanya lewat di sampingnya. Tapi bisa jadi juga, Allah memang campur tangan di situ. Karena seperti yang terjadi di Turki, di sebuah lokasi gempa, ada sebuah masjid yang tetap tegak dan utuh, sementara bangunan-bangunan di sekelilingnya hancur.
Ya, siapa tahu? Tapi, kalau memang ada kejadian seperti itu, lalu siapa yang campur tangan? Setan? Punya kuasa apa setan? Mungkin itu memang peringatan dari Allah, bahwa masjidnya memang sudah benar, tapi manusianya yang masih salah.
Jadi, bencana di Aceh dan Situ Gintung itu memang layak mereka terima, sebagai hukuman?
Bencana alam itu tidak pilih bulu! Salah atau benar, kalau dia ada di tempat bencana, pasti kena juga. Kalau bicara hukum, itulah hukum alam, sunnatullah. Tapi kalau bicara hukuman, hukuman Allah hanya untuk orang-orang yang berdosa. Bagi yang tidak berdosa, bencana itu merupakan ujian. Tapi kalau bicara masjid, Rasulullah dulu juga membangun masjid. Tapi bersamaan dengan pembangunan masjid, atau malah sebelumnya, mental manusianya juga dibangun. Kita sekarang membangun masjid yang bagus-bagus, hingga bisa tahan gempa, tapi mental manusianya dibiarkan tidak terbangun. Maksud saya terbangun, terbentuk menjadi manusia-manusia yang mau hidup dengan ajaran Allah.
Bukankah masjid-masjid itu selalu ramai dengan kegiatan keagamaan?
Ya, masjid-masjid ramai, tapi kosong dari petunjuk. Kosong dari nilai-nilai Al-Qurãn. Yang ramai di sana cuma kegiatan-kegiatan ritual, malah cenderung bersifat hura-hura. Selesai dari kegiatan ritual dan hura-hura, masjid-masjid itu menjadi bangunan yang mati dan terasing. Hati manusia yang tinggal di sekelilingnya, tidak ada di sana. Kenapa? Karena masjid tidak menawarkan nilai-nilai pragmatis yang mereka butuhkan.
Apa yang Bapak maksud dengan nilai-nilai pragmatis itu?
Ya nilai-nilai yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti rasa persatuan, kebersamaan, persaudaraan, dan sebagainya, yang dampaknya tentu akan luas. Akan berpengaruh pada banyak segi kehidupan, termasuk masalah ekonomi. Gampangnya, bila sebuah masjid berfungsi sebagaimana mestinya, manusia-manusia yang tinggal di sekitarnya akan hidup dalam suasana persatuan, kebersamaan, dan persaudaraan. Sehingga tidak perlu ada orang yang merana sendirian karena kemiskinan, misalnya.
Ya, katakanlah begitu. Peran masjid memang sangat berhubungan dengan zakat, tapi bukan zakat seperti yang dipahami kebanyakan orang sekarang. Zakat yang saya maksud adalah, antara lain, zakat sebagai suatu sistem ekonomi.
Bagaimana pula zakat yang merupakan sistem ekonomi?
Gampangnya: zakat itu kebalikan dari riba. Bila riba itu menguntungkan segelintir orang berduit dengan memeras orang miskin, zakat adalah sebaliknya. Orang berduit memberikan manfaat dari duitnya kepada orang-orang miskin, tapi bukan dengan cara memberikan derma! Seperti kata Nabi, berikan kail, bukan berikan ikan. Saya kira, ini butuh penjabaran yang cerdas.
Sekarang sudah banyak berdiri Bank Syari’ah. Apakah itu penjabaran cerdas yang Bapak maksud?
Cerdas dalam hal meniru yang sudah ada. Sedikit memodifikasi. Intinya sama saja. Tapi saya tak ingin bicara banyak tentang itu. Kita lihat saja.
Kembali ke soal agama dan ilmu. Bapak seperti menyamakan agama dengan ilmu. Padahal, katanya agama dan ilmu itu berbeda. Beragama tidak boleh berlogika, misalnya.
(Tertawa) Manusia itu makhluk logika, hayawanu-natiq! Tak ada manusia yang tak berlogika. Logika itu jalan pikiran toh? Justru logika itulah yang membedakan orang dewasa dengan anak kecil, orang terpelajar dengan orang yang kurang ajar. Logikalah yang membedakan satu manusia dengan manusia yang lain. Yang satu ada yang berlogika ilmu, yang lain berlogika dongeng, berlogika mitos.
Nah, kita yang mengaku beragama Islam ini kebanyakan berlogika dongeng. Al-Qurãn, yang sebenarnya ilmiah, kita pahami dengan logika itu, sehingga terkesan ada pemisahan antara logika agama dengan logika ilmu. Sebagai contoh, mari kembali ke soal terjemahan Bismillah. Secara harfiah, oke-lah ar-rahmãn diterjemahkan Pengasih dan ar-rahïm diartikan Penyayang. Bahwa Allah bersifat Pengasih dan Penyayang, itu memang benar. Tapi bagaimana bentuk nyata dari sifat-sifat itu? Itu yang harus ditegaskan, sehingga tidak perlu ada yang keliru memahaminya. Dan tidak perlu ada yang mempertanyakan sifat-sifat itu ketika terjadi bencana alam, misalnya.
Ya, masalah tafsir memang. Tapi bukan berarti masalah ilmiah murni yang merupakan lahan garapan para pakar. Ini berkaitan juga dengan sistem pengajaran agama yang harus bersifat mencerahkan, bukan hanya berupa dogma atau doktrin. Dalam pengajaran Al-Qurãn, misalnya, orang harus dibimbing untuk memahami logika Al-Qurãn, bukan malah dicekoki logika para pengajar atau juru tafsir. Nah, ini sebenarnya jawaban dari pertanyaan anda yang pertama: “Bagaimana Al-Qurãn menjawab tantangan zaman?”
Jawaban itu memang ada dalam Al-Qurãn. Tapi dibutuhkan usaha, kerja keras, untuk menggalinya. Itu tidak bisa diberikan secara gampangan, oleh saya, misalnya. Karena masalahnya berhubungan dengan pembentukan logika tadi. Al-Qurãn punya logika tersendiri. Kita juga mempunyai logika sendiri-sendiri. Ketika berhadapan dengan Al-Qurãn, sering kali logika kitalah yang main, sehingga logika Al-Qurãn akhirnya tidak ‘bicara’. Itu kan kurang ajar namanya!
Kurang ajar atau tidak tahu?
Ya, kurang ajar itu kan sama dengan kurang ajaran (kurang belajar), kurang diberi pelajaran, alias kurang pendidikan, makanya jadi tidak tahu!
O, iya. Al-Qurãn kan petunjuk untuk manusia, hudan lin-nãs(i), bukan hanya petunjuk untuk para ustadz atau Kiai.
Makanya jangan disebut mempelajari tafsir dong. Mempelajari Al-Qurãn saja. Mempelajari kitab Allah, yang kita akui sebagai pedoman hidup kita. Bila tidak dipelajari, berarti pengakuan itu bohong. Sulit memang sulit. Tapi kalau kita butuh, yang sulit itu kan terus dicari.
Tidak bisakah orang-orang awam diberi penjelasan seperlunya saja, tanpa harus terlibat dalam proses belajar?
Kalau anda mau jadi serigala, dan orang lain mau anda jadikan kambing, silakan. Tapi melalui Al-Qurãn itu Allah mengajarkan prinsip-prinsip hidup. Di antaranya adalah prinsip tawãshau bil-haqq(i), saling menasihati atau saling menjaga agar sesama orang beriman itu tidak menyimpang dari kebenaran. Prinsip itu tidak akan bisa berjalan bila ilmu tidak memasyarakat, tidak menjadi kesadaran masyarakat.
Contohnya?
Dulu ada Kiai yang menikah satu malam. Masyarakat heboh mempertanyakan, mungkin ingin mengeritik, tapi tak punya ilmu. Prinsip tawãshau bil-haqq macet, karena ilmu juga tidak mengalir, tidak dialirkan, alias hanya tergenang di satu tempat, yaitu di otak para Kiai itu. Alhasil, walau salah, Kiai tetap tidak bisa disalahkan. Seolah-olah can do no wrong. Apa yang diperbuat selalu benar. Di dunia tasauf, misalnya, semakin aneh kelakuan seorang guru (mursyid) malah dianggap semakin membuktikan ketinggian derajat kewaliannya. Biar heran, muridnya tak boleh protes. Kalau protes juga, jawabannya adalah: pemahaman kamu belum sampai! Saya pikir, itu adalah trick untuk memojokkan orang bodoh, atau untuk membuat sang guru jadi tidak tersentuh. Yang jelas, kalau kita memperhatikan sejarah Nabi Muhammad, tidak ada cerita bahwa beliau pernah berperilaku ganjil. Perilaku beliau adalah perilaku yang menjawab pertanyaan, bukan menimbulkan pertanyaan, karena bisa ditiru.
Ya, tentu saja. Saya tidak pernah mengatakan bahwa itu mudah. Karena itulah kita harus belajar, harus berlatih. Dalam belajar, tentu ada trial and error. Itu biasa. Tapi jangan salah dalam prinsip. Kalau prinsipnya benar, trial and error itu berjalan dalam garis yang benar. Berarti kita menjalankan rencana Allah. Bila prinsipnya salah, trial and error itu berjalan dalam garis rencana Iblis. Bila kita ingin belajar Al-Qurãn, misalnya, itu benar. Lakukan trial and error, tapi cukup di tataran ilmu, jangan di tataran praktis.
Mengapa?
Bila main di tataran praktis, sebelum ilmu dikuasai dengan mantap, bisa-bisa kita jadi teroris!
Apa bahayanya bila kita jadi teroris?
Sedikitnya ada dua bahayanya kalau kita jadi teroris. Pertama, citra agama kita rusak. Kedua, tindakan teror itu bisa dimanfaatkan orang untuk menghancurkan agama kita melalui tangan kita sendiri.
Ketika anda belajar, di sekolah misalnya, jelas sekali antara ilmu yang anda pelajari dengan parktiknya itu ada kesenjangan. Ada jarak. Kenapa? Karena sekolah adalah tempat menuntut ilmu saja. Praktiknya nanti, di luar. Jadi, ada giliran untuk belajar, dan ada giliran untuk menerapkan ilmu yang dipelajari. Tapi repotnya sekarang, setelah lulus sekolah anak-anak malah tidak bisa bekerja. Kalau begitu, masalahnya bukan jarak, bukan giliran, tapi ada dikotomi antara ilmu yang dipelajari dengan kenyataan yang harus dihadapi. Di situ kita lihat ilmu tidak menjadi petunjuk hidup, tapi sebatas alat untuk asah otak. Tapi yang saya lihat, sekolah malah membuat otak anak kita jadi tumpul. Menghadapi masalah kecil saja mereka sudah mengeluh.
Bagaimana soal pendidikan agama?
Dalam pendidikan agama, lain lagi ceritanya. Para Kiai mengajarkan ilmu praktis yang bernama Fiqih. Hidup kita diatur dengan hukum halal-haram, wajib-sunat, makruh-mubah. Shalat hukumnya wajib. Mengerjakan shalat dapat pahala, tidak mengerjakan berdosa. Apa yang dibaca dalam shalat? Al-Qurãn. Kalau yang dibaca tidak dipahami bagaimana? O, tidak apa-apa. Paham nggak paham, pahala tetap dapat. Ini kan konyol. Di satu sisi Allah menurunkan Al-Qurãn untuk mencerdaskan kita, eh para Ahli Fiqih malah menyuruh umat untuk tetap bodoh.
Jadi, yang ingin saya tegaskan di sini adalah manusia hidup itu harus ilmiah. Karena itu ada kewajiban untuk menuntut ilmu. Selagi ilmu belum dikuasai, jangan beramal dulu, jangan praktik dulu. Nah, para Ahli Fiqih mengajarkan sebaliknya. Bagi mereka, ilmu belakangan; yang penting praktik. Muncullah tindakan-tindakan konyol. Orang beramal tanpa dasar ilmu. Contoh gampangnya, para artis, pejabat, pengusaha, pergi haji karena mereka punya duit. Pulang beribadah haji, mereka jualan daging lagi; pamer paha, pamer dada, korupsi, menipu. Seiring dengan itu, orang-orang miskin yang tak punya dana untuk makan, untuk menyekolahkan anak, dibiarkan menonton mereka sambil gigit jari.
Kan ada alternatif di samping Fiqih. Tasauf, misalnya.
Ah, Tasauf itu lebih gila lagi! Di satu sisi Nabi melarang kita memikirkan zat Allah, tapi mereka malah mengajak orang mencari-cari Allah. Sudah jelas bahwa Allah menurunkan Al-Qurãn sebagai wakil-Nya. Kenapa mereka tidak menekuni Al-Qurãn saja?
Ya, tapi hanya untuk pembenaran pikiran mereka.
Kata mereka, Nabi Muhammad juga dulu pada hakikatnya seorang sufi?
(Tertawa keras) Itu jalan pikiran yang bagus. Tapi kalau Nabi Muhammad seorang sufi, mengapa perilaku mereka berbeda dengan Nabi Muhammad? Kalau Nabi Muhammad seorang sufi, maka sufi sejati adalah yang memiliki persamaan terbanyak dengan Nabi Muhammad, bukan malah memperlihatkan perbedaan yang menyolok. Yang jelas, seperti kata ‘Aisyah, akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Qurãn, dan saya lihat konsep Al-Qurãn dengan ajaran Tasauf itu bertolak belakang.
Karena akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Qurãn, maka yang harus diutamakan adalah pengkajian Al-Qurãn, begitu?
Ya.
Saya melihat yang terberat itu adalah sisi pragmatisnya. Maksud saya, ini masalah situasi kejiwaan ya, yang menuntut kita untuk bersikap pragmatis. Ketika kita hendak mengkaji Al-Qurãn, misalnya, kita harus berusaha memproyeksikan diri ke dalam posisi ketika Nabi Muhammad mengkaji Al-Qurãn.
Caranya?
Misalnya, Nabi Muhammad pada waktu itu dalam keadaan haus akan informasi akurat. Kita pun harus memproyeksikan diri seperti itu. Haus informasi akurat dari Allah, karena jenuh dengan informasi bohong dari sekeliling kita!
Itu yang sulit. Saking sulitnya, saya sampai mengarang doa: Ya Allah, jadikanlah aku orang yang amat sangat cinta pada ajaran-Mu, amat sangat cinta pada rasul-Mu …!” Sulit, sulit sekali. Jangankan amat sangat cinta, cuma cinta biasa saja sudah sulit.
Saya sering mendengar orang mengatakan itu! Tapi jelasnya bagaimana?
Kita kan sudah bicara panjang-lebar bahwa Al-Qurãn itu ilmu, pedoman, petunjuk, dan sebagainya. Nah, walaupun sulit mempelajarinya, setelah belajar kan kita mendapatkan ilmu-Nya. Selanjutnya, ilmu-Nya itulah yang akan mendatangkan kemudahan, karena dia benar-benar jadi pedoman. Jadi petunjuk yang benar-benar fungsional, bermanfaat secara praktis!
http://id-id.facebook.com
Sumber: adibsusilasiraj.blogspot.com
Dalam Hegemoni Kedaulatan Dusta
Mengapa wajah Indonesia demikian karut-marut? Kapan wajah karut-marut ini berubah menjadi wajah yang menarik? Masih ada harapankah wajah negeri ini berubah menjadi wajah yang menyejukkan, mendamaikan, dan mencerahkan?
Pertanyaan tersebut sudah sampai pada tahap pemberian label bahwa negeri ini sedang berpenyakit parah, bervirus kanker sampai pada stadium mematikan, atau mengidap keropos di berbagai sendi-sendinya, yang jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin negeri ini sampai pada ranah tinggal kenangan.
Pelabelan itu memang tidak terelakkan, pasalnya nyaris di berbagai sektor strategis, yang notabene sebagai sektor yang berhubungan dengan kepentingan publik, justru terjadi pembiaran dan bahkan pengembangbiakan atau ledakan (booming) penyakit. Antara pengidap penyakit yang satu dan yang lain, seperti terjadi proses tukar-menukar, saling mengadopsi, dan saling mengadaptasi.
Penyakit yang membuat negeri ini lama mengidap kanker karut-marut adalah dusta. Belakangan ini, penyakit dusta dianalogikan dengan kebohongan publik. Mulai dai politisi, akademisi, dan tokoh-tokoh agama seperti disadarkan kembali untuk mengkritik pilar-pilar bangsa yang suka melakukan kebohongan publik atau memberikan tempat bagi kedaulatan dusta.
Filosof Goethe mengingatkan bahwa 'orang yang berbohong itu senantiasa ingin melarikan diri, sedangkan tiada seorang pun yang mengejarnya, namun orang yang benar itu berani seperti singa'. Peringatan filsuf itu bermaksud menunjukkan pada kita bahwa pendusta atau pembohong merupakan model sosok manusia yang suka melarikan diri dari tanggung jawab.
Seseorang atau segolongan pendusta tidak bisa menjadi sosok manusia bermental singa. Pasalnya dalam dirinya terdapat beragam penyakit yang membuatnya tergiring pada kecenderungan untuk mengaburkan kebenaran dan kejujuran sehingga yang ditunjukkan pada orang lain atau publik, sebatas yang dikalkulasi atau dikonsiderasi menguntungkan, menyenangkan, dan menyelamatkannya.
Yang terbaca dalam diri manusia Indonesia belakangan ini, khususnya dari kalangan elite, adalah segolongan pilar negara yang ucapan maupun perbuatannya sangat menyakitkan, yang bermuatan dusta. Mereka bermain-main dengan semantik yang tidak menyejukkan dan mencerdaskan rakyat, tetapi membohongi, melecehkan, dan membiaskan kepentingan tersembunyinya.
Idealisasinya, sebagai pilar negara, bukan dusta atau kebohongan publik yang diberikan tempat berdaulat, melainkan kejujuran sebagai bangsa beragama dan berpancasila. Sangat disayangkan jika pilar negara, yang sudah dipercaya rakyat untuk mengawal dan menjaga dinamika kehidupan bangsa, justru menggelincirkan (membenarkan) praktik pembohongan publik.
Gema yang disuarakan tokoh-tokoh agama beberapa waktu lalu kepada pemerintah atau negara yang dianggap sudah melakukan banyak kebohongan publik sebenarnya sebagai bentuk peringatan keras atau tuntutan kepada para pemimpin negeri ini untuk melakukan evaluasi moral, terlebih dalam hubungannya dengan kewajiban menyejahterakan rakyat atau usaha-usaha maksimal dalam memeratakan (membumikan) kemakmuran.
Sudah berbulan-bulan pers dalam negeri mengingatkan pemerintah untuk peduli pada persoalan harga kebutuhan pokok rakyat. Pemerintah tetap saja minimalis. Namun, akibatnya sangat fatal. Skenario inflasi 2010 berantakan. Rakyat terus menjerit. Selain itu, pers bersama komunitas pemerhati ekonomi terus mengingatkan pemerintah untuk memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi. Statistik ekonomi kita tampak tangguh. Namun, ketangguhan statistik itu tidak bertransmisi pada kesejahteraan rakyat. Di tengah kekecewaan rakyat, pemerintah malah terus membusung dada dengan klaim-klaim tentang sukses pengelolaan ekonomi negara. Pemerintah memaksa rakyat untuk percaya bahwa pertumbuhan ekonomi kita bagus, tetapi ketika diminta mengendalikan harga beras cabai atau minyak goreng, pemerintah nyaris tidak memberi respons apa pun. (SK, 11 Januari 2011).
Itu menunjukkan bahwa masyarakat sudah demikian sering dan diakrabkan dengan praktik pembohongan publik. Praktik itu digelindingkan dari atas hingga ke bawah dengan semantik yang seragam, seperti kosakata 'keberhasilan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan, dan menekan laju inflasi' dan sejenisnya, supaya masyarakat secepatnya bisa mendapatkan informasi dan menerima kinerja pemerintah.
Pemerintah memang sah-sah saja mengampanyekan (menginformasikan) kinerjanya, tetapi pemerintah seharusnya tetap mengindahkan etika akuntabilitas publik bahwa masyarakat membutuhkan kejujuran kinerjanya, bukan semantik atau keindahan rajutan kata-kata yang menyahihkannya.
Sayangnya, pemerintah belum sampai pada kesadaran etis, kalau kejujuran kinerja merupakan fondasi membangun negara ini. Masih berjayanya para koruptor atau 'bandit-bandit kekuasaan' di Indonesia ini setidaknya membenarkan bahwa pilar-pilar strategis negara masih mengidap krisis kesadaran etis (kejujuran). Anomali kekuasaan tidak akan sampai mendarah daging, bilamana pilar-pilar negara ini selalu menempatkan kesadaran etis sebagai 'panglima' yang memimpin dirinya.
Seperti kata filsuf Goethe, bahwa karakter singa dibutuhkan untuk memperbaiki bangsa ini. Karakter itu merupakan tampilan mental mengaum keras dalam menyuarakan, mengungkapkan, dan memberikan testimoni secara objektif, bukan gaya berelasi kamuflase dan berapologi kepalsuan.
Kalaupun akibat auman tokoh-tokoh agama hingga Gayus ternyata mampu menguak berbagai ragam penyakit serius, di antaranya sampai menyeret sejumlah orang penting atau punggawa elite negara ini, atmosfer itu idealnya harus disikapi secara arif. Antara petisi moral yang digelindingkan tokoh agama dan testimoni berbasis kejujuran yang disampaikan Gayus akan bisa digunakan sebagai pijakan moral bahwa perubahan besar mensyaratkan keberanian, di antaranya keberanian menguak praktik pembohongan publik.
"Kalau orang kecil berdusta, dustanya tidak banyak mengandung bisa (racun) bagi orang lain, tapi kalau yang berdusta orang berpangkat atau berkedudukan mapan, bisa atau racunnya bisa menjalar ke mana-mana, bisa menggerogoti dan merapuh negara, bahkan bisa membuat negara tinggal jadi tulang-tulang." (Huda, 2008). Pernyataan itu mengingatkan setiap elemen negara ini supaya tidak suka memproduksi dan 'mengindonesiarayakan' dusta, pasalnya dalam dusta itu terkandung bisa (racun) yang menyakiti, merapuhkan, menghancurkan, dan mematikan bangsa ini. Siapa saja yang terkena bisa, alamat dirinya tidak cukup kuat dan punya imunitas untuk menghadapi problem ketidakberdayaan kemasyarakatan (social empowerless).
Dus, wajah karut-marut Indonesia masih bisa diharapkan akan berubah menjadi wajah menyenangkan dan menyejahterakan rakyat, bilamana setiap pilar negara ini berani menegakkan khitah kejujuran dan mengalahkan praktik pembohongan publik. Ketidakberanian mengalahkan penyakit kanker ini identik dengan sikap menyerah untuk dilegasi sebagai bangsa yang mengultuskan kedaulatan dusta. Jangan sampai berlanjut julukan bangsa ini sebagai bangsa beragama, yang menghalalkan kedaulatan dusta. Jangan sampai dusta dibiarkan menggiring Pancasila sebatas aksesori yang mengisi ruang kerja punggawa elite negara.
Oleh Prof Dr Bashori Muchsin, MSi
Guru besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang
Sumber: mediaindonesia.com
[Nurdin lagi!]Kongres PSSI di Bali Akal-akalan
DENPASAR - Kongres PSSI di Bali diyakini bakal berjalan sesuai "skenario". Tidak akan ada keputusan penting dan fundemental terkait organisasi yang mengelola sepak bola di tanah air itu. Hal itu karena PSSI sudang "menyelesaikan" semua agenda di Jakarta, sebelum pelaksaaan kongres sesungguhnya di Bali.
"Semuanya sudah beres sebelum kongres ini dimulai. Mulai dari pimpinan sidang yang akan dipimpin ketua umum langsung, tata tertib kongres, hingga agenda pembahasan konggres. Tak ada perubahan berarti," kata Sekjen PSSI Nugraha Besoes di Pan Pasific Nirwana Bali Resort kemarin (21/1).
Menurut Nugraha, agenda kongres antara lain laporan hasil pelaksanaan program kerja 2010, penyampaian rencana kerja 2011, skorsing kepada klub dan pengkab yang berpaling dari PSSI, pengesahan tiga klub dan satu pengkab baru PSSI, dan laporan keuangan.
Terkait dengan sanksi untuk klub, hal itu mengarah kepada Persibo Bojonegoro, PSM Makasar, dan Persema Malang yang meninggalkan Indonesia Super League (ISL) dan hijrah ke Liga Primer Indonesia (LPI). Sedang satu pengkab yang dibekukan adalah pengkab Surakarta.
"Mereka turut menyukseskan bergulirnya LPI di Solo. Padahal untuk memberikan izin bergulirnya pertandingan di luar PSSI bukan kewenangan PSSI Surakarta," ungkap Nugraha. Bagaimana dengan anggota baru PSSI? "Nanti saja setelah kongres. Salah satu tujuan kongres memang mengesahkan anggota baru itu. Bukan sekarang," tutur pria yang sudah menjadi pengurus PSSI sejak 1983 itu.
Sementara itu, jelang pembukaan kongres tadi malam, PSSI menggelar pertemuan tertutup dengan perwakilan pengprov. Acara ini dipimpin langsung oleh Ketua Umum PSSI Nurdin Halid. Pada pertemuan yang dimulai pukul 14.30 hingga 16.30 Wita tersebut, wartawan dilarang meliput. Beberapa pria berwajah sangar berjaga di depan arena pertemuan.
Seusai pertemuan, Nurdin membantah bahwa acara itu adalah pengkondisian menjelang kongres. "Tak ada pengkondisian. Pertemuan ini hanyalah brainstorming seputra isu dan fitnah yang beredar menjelang kongres," katanya.
Nurdin juga membantah kabar bakal ada pengesahan klub baru untuk menggantikan PSM, Persibo, dan Persema. Hal ini bertolakbelakang dengan pernyataan Nugraha. "Saya tegaskan bahwa klub ISL hanya 15. Untuk apa ada penambahan" Ketiga klub yang hengkang sudah berbeda jalan dengan kami. Apa yang perlu dijelaskan lagi?," ujar mantan narapidana itu.
Terkait dengan status PSSI Surakarta, Nurdin menyatakan bahwa keputusan itu dibuat karena mereka memfasilitasi pembukaan LPI di Stadion Manahan, Solo, pada 8 Januari lalu. Meski begitu, PSSI tetap mengundang Ketua Umum PSSI Surakarta FX Hadi Rudyatmo ke arena kongres. "Statusnya peninjau, bukan pemilik suara PSSI Surakarta," ucap Nudin. Sebagai ketua executive committee (exco) PSSI, Nurdin memang bisa mengundang siapa saja. (dra/ca)
Peserta Kongres PSSI
- 33 pengprov
- 15 klub ISL
- 16 klub Divisi Utama dari hasil kompetisi berjalan (2010/2011)
- 14 klub Divisi I hasil kompetisi berjalan (2010/2011)
- 12 klub Divisi II hasil kompetisi berjalan (2010/2011)
Sumber: www.jpnn.com
Penegakan Hukum Terbentur Intervensi Kekuatan Politik
Perbincangan mengenai hukum dan penegakan hukum di Indonesia seolah tak pernah ada habisnya untuk dibahas. Tidak tuntasnya penyelesaian kasus tertentu, serta ketidakadilan hukuman bagi pelaku yang bersalah menjadi masalah utama penegakan hukum di Indonesia.
Inilah yang menjadi bahasan utama dalam seminar Meningkatkan Profesionalisme dan Etika Sebagai Penegak Hukum, yang digelar Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul, Kamis (20/1).
Seminar yang menghadirkan pembicara Wakil Jaksa Agung Darmono, Anggota Komisi Yudisial, Taufiqurrohman Syahuri, dan Advokat dari PERADI, Fauzie Yusuf Hasibuan ini banyak membahas soal penegakan hukum dan etika dari para penegak hukum.
Para penegak hukum (Advokat, Notaris, Polisi, Jaksa, dan Hakim) dikritik tidak sepenuhnya memahami tugas utama mereka sebagai "pelayanan hukum dan masyarakat."
Justru sebaliknya mereka mulai mengartikan pekerjaan mereka sebagai bagian dari industri yang dikendalikan keuntungan (profit-driven industry).
Di mata Taufiqurrohman, jabatan Hakim di satu sisi merupakan jabatan yang sangat mulia, dan di sisi lain, jika tidak hati-hati dapat merendahkan martabatnya.
Sebagaimana diketahui jabatan Hakim boleh dikatakan merupakan jabatan yang dekat sekali dengan godaan-godaan duniawi.
"Di tangan seorang Hakim, nasib dan masa depan seseorang akan ditentukan. Orang yang tadinya kaya raya dan terkenal sebagai donator di lingkungannya, bisa tiba-tiba jatuh martabatnya sebagai manusia karena masuk penjara akibat putusan Hakim," papar Taufiqurrohman.
Oleh karena itu, sudah menjadi suatu pandangan umum apabila orang yang berurusan dengan pengadilan akan berusaha semaksimal mungkin, dengan segala cara melakukan segala hal asalkan putusan hakim dapat berpihak kepadanya.
Sedangkan, Darmono melihat lemahnya penegakan hukum di Indonesia, terutama karena dipengaruhi beberapa faktor penyebab. Idealnya, menegakkan supremasi hukum berarti menempatkan hukum sebagai patokan tertinggi berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Tegasnya orientasi penegakan hukum diarahkan untuk mencapai tujuan hukum dan tujuan sosial melalui institusi penegak hukum yang berwenang, berkewajiban, dan bertanggung jawab atas pelaksanaan penegakan hukum. Tapi proses ini tidaklah mudah. Para penegak hukum seringkali bertubrukan dengan hal-hal yang membatasi tugas dan wewenang mereka dalam melakukan penegakan hukum.
"Penegakan hukum masih sulit dilakukan saat ini karena masih banyak praktik-praktik penyalahgunaan wewenang penegak hukum, masih banyak campur tangan pejabat, penguasa, kekuasaan politik dalam penegakan hukum," papar Darmono.
"Selain itu, penyelesaian masalah atau kasus yang tidak tuntas. Masih adanya intervensi lembaga penegak hukum yang satu terhadap lembaga penegak hukum lainnya, dan penegakan hukum yang tidak didasarkan atas dasar prinsip kejujuran dan keadilan, tapi atas dasar faktor atau pengaruh lain," imbuhnya.
Darmono lalu mengambil contoh kasus mafia perpajakan Gayus Tambunan. Rabu (19/1) kemarin, vonis hakim akhirnya dijatuhkan kepada Gayus. Hakim menghukum Gayus selama tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta. Bagi masyarakat, ada kesan tuntutan itu lemah dan dianggap tidak menyelesaikan kasus mafia pajak secara tuntas.
"Dalam perkara Gayus ada perkara lain yang lebih besar. Pastinya akan ada hukuman tambahan lagi bagi Gayus untuk kasus-kasus besar lainnya. Kita akan ungkap secara tuntas. Tapi untuk vonis yang dijatuhkan, hakim telah bekerja dan menjalankan sesuai profesionalisme dan etikanya," terang Darmono.
Solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut tentu saja perlunya dilakukan perbaikan menyeluruh pada Standar Operating Procedure (SOP). Perbaikan ini juga diikuti dengan perbaikan kesejahteraan para penegak hukum. Meski itu juga belum menjamin berhasilnya penegakan hukum.
Sedangkan pembicara lain, Fauzie melihat lemahya penegakan hukum karena disebabkan faktor kepemimpinan presiden yang memimpin Indonesia saat ini. "Presiden membias, jadinya membuat penegakan hukum tidak maksimal," pungkas Fauzi.
Fauzie lalu menambahkan sebagai salah satu penegak hukum, Advokat juga ingin menegakkan hukum dan keadilan untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Advokat tidak boleh melanggar hukum, sehingga apabila kliennya menawarkan menggunakan keterangan atau kesaksian palsu dalam rangka pembelaan, advokat harus menolaknya.
"Praktiknya banyak hambatan-hambatan untuk mewujudkan prinsip peradilan yang bebas, independensi serta terciptanya sistem peradilan yang bersih dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Hal ini disebabkan karena diantara penegak hukum belum dapat berinteraksi sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam mewujudkan ketertiban hukum dan keadilan di dalam institusi peradilan dengan tetap menjaga rule of law," pungkas Fauzie.
Sumber: mediaindonesia.com
Wow, Foto Karya "Anak Cibinong" Ini Mendunia!
Andiyan Lutfi, fotografer amatir asal Cibinong, Jawa Barat, berhasil mengabadikan momen alam yang menakjubkan dengan kameranya. Foto jepretannya ini menjadi headline dalam rubrik Science and Technology di Dailymail, Kamis (13/1/2011).
Andiyan Lutfi, fotografer amatir asal Cibinong, Jawa Barat, berhasil mengabadikan momen alam yang menakjubkan dengan kameranya. Lantaran itu pula, foto jepretannya menjadi headline dalam rubrik Science and Technology di Dailymail, Kamis.
Dalam salah satu hasil jepretannya, tampak koloni semut sedang menyerang seekor lalat yang berusaha masuk ke teritorinya. Foto ini menggambarkan perilaku semut yang mati-matian mempertahankan wilayahnya dari "makhluk" asing.
Pada foto lain Andiyan menggambarkan semut kelaparan yang berupaya meraih sepotong brownies cokelat. Semut-semut tersebut tampak membangun formasi, yaitu satu semut berada di bawah, sementara semut lain berada di atasnya. Mereka terlihat tengah menikmati brownies cokelat itu.
Adapun jenis semut yang tampak pada foto-foro Andiyan adalah semut merah atau biasa disebut semut rangrang. Jenis semut ini adalah salah satu yang paling sering ditemukan di taman.
Diketahui, jenis semut merupakan satu di antara 11.000 jenis semut yang ada di dunia. Mereka hidup dalam koloni. Ada yang berperan sebagai pekerja, pejantan, serta menjadi ratu.
Semut ini juga memiliki penyengat. Walau ukurannya kecil, sengatannya bisa terasa menyakitkan.
Andiyan menuturkan, ia memotret semut-semut tersebut di bawah pohon mangga di halaman rumahnya.
"Saya sering melihatnya dan saya pikir mereka luar biasa," ujarnya.
Tentu, orang terpukau dengan fotonya. Karena dari jepretannya itu, semut-semut merah tersebut tampak mampu bercerita sendiri.
Foto yang dihasilkan Andiyan tergolong dalam fotografi makro, yaitu jenis fotografi yang membuat pembesaran terhadap suatu obyek atau bisa dikatakan fokus terhadap obyek mikro. Fotografi ini sangat berguna untuk ilmu pengetahuan, misalnya dalam identifikasi spesies baru.
Foto lainnya dari Dailynews:
Sumber: jempol.web.id
Hukum dan Kekuasaan: Capeee Deh ...
Perang dingin antara Indonesia dan Malaysia, membuat masing-masing warga kedua negara ini juga jadi perang tanding-tandingan. Bagusan mana, negaraku atau negaramu? Segala seginya pun dibahas, termasuk soal penegakan hukumnya. Malaysia yang usianya jauh lebih muda, kelihatannya tidak membutuhkan waktu panjang dalam masalah penegakan hukum. Sedangkan Indonesia yang sudah mereguk kemerdekaan lebih lama dibanding Malaysia…. .rasanya kok belum merdeka juga ya dari belitan masalah penegakan hukum yang belum tegak juga?
Kalau Malaysia yang lebih muda bisa menegakkan hukumnya, Indonesia kok belum bisa? Salahnya di mana? Apa karena Malaysia menggunakan hukum cambuk dan hukum gantung? Makanya efek jeranya lebih kuat? Apa Indonesia juga mesti main cambuk dan main gantung? Biar masalah penegakan hukum tidak jadi masalah yang berlarut-larut?
No way...!!!! Begitu kata beberapa pendapat! Primitif banget sih! Banyak juga kan negara yang bisa menegakkan hukumnya tanpa perlu menakut-nakuti dengan cambuk dan tiang gantungan. Kalau begitu, Indonesia harus bagaimana? Meniru cara Malaysia, nanti dituduh primitif. Meniru negara maju, kok belum behasil juga ya? Salahnya dimana?
Membenahi hukum memang tidak semudah membalik telapak tangan. Karena membenahi “hukum saja” tanpa membenahi “kekuasaan”, adalah usaha sia-sia.
Karena hukum selalu melekat pada kekuasaan. Hukum dan kekuasaan selalu jadi satu paket.
Keduanya seakan dua kembar siam yang tidak bisa dipisahkan.
Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan. Sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah anarki. Ini salah satu slogan dalam bahasan filsafat hukum modern di Indonesia, yang dicetuskan oleh Mochtar Kusumaatmaja.
Hukum dan kekuasaan adalah duet yang bisa menguntungkan, bisa juga merugikan. Efeknya bagaikan pisau bermata dua. Menguntungkan jika hukum itu bisa bermanfaat dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dan merugikan jika hukum dan kekuasaan itu menyelonong dan menjadi timpang. Hukum dan kekuasaan tanpa rasa keadilan justru melanggar dogma hukum yang seharusnya normatif. Rasa keadilan akhirnya berpulang pada nurani. Tanpa rasa keadilan, hukum bisa diplintir menurut kepentingan sang penguasa.
Hukum bisa berlaku karena penetapan negara, kata Aristoteles. Sejak mazhab Aristoteles, Plato sampai mazhab hukum modern, eksistensi hukum sendiri sudah jelas. Yaitu mesti memenuhi asas keadilan dan kepastian. Yang jadi masalah adalah “si pemegang kekuasaan” itu. Apakah betul-betul berniat mewujudkan keadilan dan kepastian itu?
Lha…kalau memang betul-betul berniat, seperti dokter yang ingin mengobati penyakit, tentu saja harus mengenali dulu gejalanya.
Tanpa mengenali gejalanya, sulit menentukan diagnosa. Tanpa ketepatan diagnosa, sulit juga menentukan obat untuk menyembuhkan penyakitnya.
Oke, kalau begitu gejala apa saja sih yang tampak sampai Indonesia ini dituduh sudah kropos banget dalam soal penegakan hukum?
Adakah barometer yang bisa digunakan untuk mengetahui sejauhmana praktek hukum dan kekuasaan sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat?
Mungkin indikasi di bawah ini belum bisa jadi peta keseluruhan tentang kondisi penegakan hukum di Indonesia. Tapi paling tidak gambaran di bawah ini adalah barometer secara garis besarnya saja:
Pertama, “Masih adakah korupsi?”
Praktek korupsi baik sembunyi-sembunyi apalagi terang-terangan adalah salah satu indikasi, masih lemahnya penegakan hukum. Keberanian aparat melakukan korupsi kelas kakap maupun pungli kelas teri, menunjukkan masih adanya celah–celah hukum yang lemah dan bisa dimainkan.
Kedua, “Bagaimanakah hubungan antara para penegak hukum, pelaku kekuasaan dan konglomerat?”
Tak jarang masih ada kasus yang membeku dan menguap begitu saja setelah dilimpahkan ke kepolisian maupun ke kejaksaan.
Bisa ditebak, biasanya kasus semacam ini adalah kasus yang melibatkan pejabat berpengaruh atau konglomerat yang dekat dengan kekuasaan. Kalaupun kasus ini kena dakwaan, maka vonis-nya ringan ataupun kurang memenuhi rasa keadilan. Atau malah tidak jarang dakwaan jaksa berhasil dimentahkan. Selama ini masih terjadi, jelaslah keadilan dan kepastian hukum masih jauh dari harapan.
Ketiga, “Kolusi dan Nepotisme”
Praktek-praktek kolusi terjadi biasanya karena satu sama lain bisa saling menguntungkan (secara illegal). Praktek kolusi, yang prinsipnya mirip-mirip “kerjasama berdasarkan asas suka sama suka” (kok kayak orang pacaran ya)….bedanya ini kerjasama melawan hukum, adalah salah satu penyakit yang paling sulit dibasmi. Tentang nepotisme, ini ada ceritanya sendiri. Mantan presiden Soeharto pernah diingatkan salah seorang menteri, tentang kritik masyarakat terhadap dominasi anak-anaknya di proyek-proyek basah. Pak Harto agak ngambek dengan kritik ini, lalu mengatakan, “kalau anak-anak saya tidak boleh berbisnis, lebih baik saya berhenti jadi presiden”. Setelah itu kita tahu bagaimana kelanjutan kasus dakwaan korupsi terhadap anak-anak Pak Harto. Dengan peta kultur Indonesia yang khas, mungkin budaya nepotisme merupakan tantangan tersendiri bagi tegaknya hukum di Indonesia.
Keempat, “Intervensi penguasa terhadap penegakan hukum”
Selama penguasa masih memainkan kepentingannya secara subyektif dan mempengaruhi proses penegakan hukum, tidak diragukan lagi, ini bisa memanipulasi dunia peradilan. Silahkan anda menilai sendiri bagaimana dengan komentar Jaksa Agung dan Jusuf Kalla tentang kasus Yusril Isra Mahendra dan Hamid Awaluddin.
Kelima, “Jangan lupa…..kondisi lalu lintas di jalan raya!”
Indikasi yang paling kuat dan paling mendasar untuk melihat bagaimana kualitas penegakan sistem hukum suatu negara adalah kondisi lalu lintasnya.
Secara psikologis, perilaku rakyat di jalan raya menunjukkan bagaimana wajah penegakan peraturan suatu negara. Kalau di jalanan saja rakyat sulit untuk mematuhi peraturan, bisa dibayangkan bagaimana wibawa hukum di mata rakyatnya.
Saya tidak tahu mesti bilang apa, ketika kolega saya, orang Belanda, mengatakan dia dimintai “uang rokok” oleh seorang polisi di Indonesia karena dianggap melanggar peraturan lalu lintas. “Wah, gampang ya di Indonesia….asal bayar uang rokok, urusan selesai”, katanya.
Semua barometer yang disebutkan di atas adalah masalah klise, sudah basi, semua orang juga tahu. Kalau sampai sekarang masih juga dibahas, paling komentar kita cuma, “capeeeee deeeeh....!!!!”.
Sebenarnya kalau masyarakat masih bereaksi “capeee deh…” , mungkin belum seberapa jauh efeknya. Tapi yang payah kalau masyarakat berubah jadi apatis. Dan kalau masyarakat sudah jadi apatis terhadap penegakan hukum, jelas akan timbul penyakit lain. Penyakit yang membuat wibawa hukum semakin morat marit. Yaitu penyakit tidak percaya lagi pada hukum. Akibatnya masyarakat percaya pada aturan hukumnya sendiri. Yaitu hukum rimba. Siapa yang kuat, berkuasa dan berduit, dialah yang menang.
Mentalitas main hakim sendiri, “menyetor di bawah meja”, kurang lebih terbentuk karena krisis kepercayaan terhadap keadilan dan kepastian hukum serta lemahnya penegakan hukum.
Oke, orang yang awam hukum juga mengerti dan mengenali semua gejala di atas sebagai indikasi bagaimana kroposnya penegakan hukum di Indonesia.
Kalau sudah mengenali gejalanya, tidak penting lagi apakah mau meniru gaya Malaysia atau negara lain dalam soal penegakan hukum. Yang penting adalah NIAT dari si “kekuasaan” sendiri. Sebetulnya punya niat nggak sih untuk mengadakan reformasi besar-besaran demi terwujudnya penegakan hukum?
Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan. Kekuasaan tanpa hukum adalah anarki. Itu menurut teori filsafat hukum-nya Pak Mochtar. Tapi tampaknya di Indonesia teori ini bisa berubah jadi, “hukum bareng kekuasaan, masihkah angan-angan?“. Dan kekuasaan tanpa ataupun bareng hukum….. tampaknya masih sami mawon tuh, teteeeep aja bisa jadi anarki!“.
Walentina Waluyanti
Nederland, 26 Agustus 2009
Sumber: kolomkita.detik.com
Perbedaan Penganan Kasus Mafia Pajak dengan Teroris
Perlakuan berbeda terhadap kasus Teroris dan Mafia Hukum serta Mafia Pajak nampak terlihat dari penanganan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penegak hukum, terutama Polri. Sampai saat ini, lembaga dan aparat kepolisian masih menjadi sorotan publik dan cenderung belum memperoleh simpatik masyarakat luas, hal ini ditunjukkan oleh kinerja Polri yang masih tebang pilih. Kalau kita simak lebih jauh, nampak sekali kepolisian sangat serius melakukan pemberantasan terorisme, berusaha melakukan penanganan sampai pada akar-akarnya (salut dah), bahkan sampai dengan cara tembak ditempat, walaupun masih banyak salah tangkap dan salah tembak.
Beberapa kali konferensi pers pun digelar Mabes Polri untuk menjelaskan secara detail seluk beluk dari kasus terorisme ini. Polri pun tak segan-segan untuk menunjukkan gambar-gambar orang yang diduga sebagai teroris, atau yang diduga terkait jaringan terorisme, bahkan aliran hubungan antara satu dengan yang lainnya pun dijelaskan secara detail, tak ada yang ditutup-tutupi, begitu gamblang dan transparan. Sungguh, perlakuan ini agak bertolak belakang dengan cara penanganan kasus mafia hukum dan mafia pajak. Apakah pernah pihak Mabes Polri melakukan konferensi pers terkait dengan struktur dan jaringan mafia hukum serta mafia pajak?
Penanganan terhadap mafia hukum dan mafia pajak, nampak begitu berbeli-belit, cenderung untuk ditutup-tutupi, kalaupun ada penjelasan dari aparat kepolisian hanya sebatas wawancara yang sifatnya terbatas dan hanya sepotong-sepotong, tidak se-transparan kasus terorisme, misalnya kasus Gayus keluar tahanan, yang diributkan Bali-nya, bukan persoalan substansial yang jauh lebih dahsyat dari sekedar nonton Tenis di Bali. Fenomena ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan dan kejanggalan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberantasan mafia hukum dan mafia pajak masih tetap setengah hati dan menimbulkan distorsi fungsi penegakan hukum.
Lantas, kapan Polri hendak mereformasi lembaganya secara komprehensif, apa kabar pak Kapolri? Apakah Komisi-III DPR RI tak pernah mengevaluasi kinerja Polri dan lembaga penegak hukum lainnya? Apakah agenda dewan cuman Raker(jo) doang? Kemudian, bagaimana pula dengan Presiden RI dengan team evaluatornya? Tahukah anda, sampai sejauh mana kinerja Polri saat ini? Padahal dari 15 program aksi prioritas KIB-II, di urutan pertama adalah: "Pemberantasan mafia hukum di semua lembaga negara dan penegakan hukum, seperti makelar kasus, suap menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, pungutan tidak semestinya dan sebagainya yang bertentangan dengan rasa keadilan dan kepastian hukum".
Penegakan Hukum di Indonesia Meninggalkan Moralitas
Justice for All (geocities.com)
Paradigma hukum di Indonesia memang telah dijalankan, tetapi meninggalkan moralitas, karena hukum yang berjalan saat ini semakin memarjinalkan rakyat.
"Hukum telah diceraikan dari moralitasnya. Hukum yang berjalan saat ini lebih banyak berpihak pada penguasa, pengusaha, dan politisi," kata pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Sudjito pada seminar refleksi kebangsaan: tinjauan kehidupan berbangsa masa kini dan ke depan, di Yogyakarta, Selasa (29/12).
Ia mengatakan, kondisi hukum di Indonesia akan semakin buram jika masih berkutat dengan penerapan paradigma hukum lama, yakni positivistik. Paradigma itu cenderung sekuler, materialistis, dan mengandung cacat ideologis.
"Rakyat membutuhkan keadilan substansial dan keadilan sosial yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan keadilan dari proses tawar-menawar dan pemberlakuan hukum formal," katanya.
Namun, menurut dia, hal itu diibaratkan "api jauh dari panggangan". "Jadilah penegakan hukum, `yes`, penegakan moral, `no`," katanya.
Meskipun demikian, bangsa ini tetap harus optimistis untuk mewujudkan hukum Indonesia yang lebih baik. Hal itu dilakukan dengan melakukan sebuah lompatan paradigma, dari paradigma lama yang positivistik ke paradigma baru, yakni paradigma holistik.
"Dengan demikian, hukum dapat dijalankan dan ditegakkan dengan baik berdasarkan moralitas," kata Guru Besar Fakultas Hukum UGM itu.
Sementara itu, pengamat ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM Ellan Satriawan mengatakan, pembangunan ekonomi yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan indikator kebendaan lainnya memang akan tumbuh dan berekspansi.
Orientasi pembangunan semacam itu, menurut dia, memang menumbuhkan perekonomian, tetapi juga melahirkan berbagai persoalan pembangunan yang kontraproduktif terhadap pembangunan ekonomi itu sendiri.
"Ketimpangan yang melebar antarkelompok pendapatan, antara desa dan kota, dan antarwilayah merupakan suatu indikasi bahwa pembangunan ekonomi kita masih berorientasi pada pertumbuhan kebendaan, belum sepenuhnya pada manusia," katanya.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengawal pembangunan ekonomi dan membina hubungan dengan swasta secara proporsional. Selama ini, peran pemerintah dalam perekonomian sering tidak proporsional dan salah tempat.
Salah satu contohnya adalah sikap pemerintah dalam menghadapi usaha besar cenderung longgar, sementara saat berhadapan dengan usaha kecil dan koperasi, pemerintah terlalu dalam melakukan intervensi.
"Hal itu yang perlu kembali ditegaskan dan selanjutnya menjadikannya roh bagi desain dan implementasi kebijakan ke depan," katanya.
Sumber: primaironline.com
Penegakan Hukum Masih Akan Terjerat Politik Transaksi
Upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum untuk tahun 2011 masih akan banyak terjerat oleh politik transaksi. "(Politik transaksi) Tidak hanya soal uang, tapi soal pertukaran jangka pendek yang kasat mata," kata pendiri dan CEO PolMark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah dalam konferensi pers di Hotel Atlet Century, Kamis 20 Januari 2011.
Ia mencontohkan penyelesaian kasus mafia pajak dan mafia hukum Gayus Halomoan Tambunan, yang dinilainya sarat kepentingan politik. "Saya yakin di balik itu ada kepentingan politik yang bermain," ujarnya.
Eep mengatakan, adanya kepentingan politik di balik kasus Gayus dapat diketahui dengan mudah dari penanganan hukumnya yang berlarut-larut. "Padahal kasus Gayus ini sangat mudah (penyelesaiannya)."
Indikasi itu diperkuat dengan keterangan beberapa pakar hukum yang pernah bersaksi dalam sidang Gayus. Para pakar, lanjutnya, juga menyatakan kasus hukum Gayus sebenarnya sederhana, tapi penyelesaiannya yang ternyata berlarut. "Penanganannya dari aparat hukum tidak sigap," ujarnya.
Eep mengatakan, pemberantasan korupsi dan penegakan hukum menjadi mandul lantaran absennya pemimpin yang bersifat otentik. Otentisitas pemimpin mendorongnya untuk tidak terjerat dalam upaya yang memundurkan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. "Otentisitas ini harus ada dari dirinya sendiri, lingkaran di sekelilingnya, dan seterusnya," kata dia.
Ia berpendapat, segala kemunduran dan ketidaktegasan dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di tanah air bukan terjadi karena kebohongan pemimpin. "Tapi ibarat menyembunyikan kotoran di bawah karpet. Karpet telah disalahgunakan."
Menyinggung pernyataan para tokoh agama bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melakukan kebohongan, Eep menghimbau masyarakat lebih berhati-hati menilai. Antara bohong dan belum atau tidak memenuhi janji, lanjutnya, adalah suatu hal berbeda.
"Itu harus diklasifikasikan secara jelas. Karena kalau tidak, semua akan disamaratakan. Belum tepati janji dikatakan bohong," tandasnya.
Sumber: tempointeraktif.com
Orang Indonesia Bertambah Kaya
Lembaga Riset The Credit Suisse menyebutkan total kekayaan orang Indonesia tumbuh lima kali lipat dalam satu dekade terakhir mencapai 1,8 triliun dolar AS pada 2010.
Angka itu akan naik lagi dua kali lipat menjadi 3,0 triliun dolar pada 2015. Siaran pers The Credit Suisse yang diterima di Jakarta, Kamis mengatakan, kekayaan rata-rata orang dewasa di Indonesia juga melesat 384 persen sejak tahun 2000 menjadi 12.112 dolar yang merupakan pertumbuhan tercepat di Asia Pacific dan tertinggi keempat di dunia.
Lebih dari 90 persen kekayaan rumah tangga di Indonesia adalah aset non finansial, terutama property. Aset finansial hanya menyumbang kurang dari 10 persen selama satu dekade terakhir. Dari total populasi, sekitar 20 persen penduduknya berada di bagian tengah piramida kekayaan (dengan rata-rata kekayaan berkisar dari 10.000-100.000 dolar) dan mayoritas penduduk memiliki kekayaan di bawah 10.000 per orang dewasa. Laporan tersebut menunjukkan, bahwa kekayaan global yang dimiliki 4,4 miliar orang dewasa telah bertumbuh 72 persen sejak 2000 dan mencapai 195 triliun dolar. Didorong oleh ekspansi ekonomi di negara-negara berkembang, Credit Suisse Research Institute memperkirakan kekayaan global akan meningkat 61 persen menjadi 315 triliun dolar pada 2015.
Bagian tengah dari piramida kekayaan terdiri dari satu miliar penduduk dunia yang berdomisili di negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia dan menguasai seperenam atau 32 triliun dolar dari kekayaan global. Secara keseluruhan, hampir 60 persen atau 587 juta orang di bagian tengah piramida kekayaan berdomisili di Asia Pacifik. China tercatat sebagai negara penghasil orang kaya terbesar ketiga di dunia, hanya tertinggal dari Amerika Serikat da Jepang, serta 35 persen di depan Perancis sebagai negara terkaya Eropa.
Sumber: petapolitik.com
Gaji Presiden RI 28 Kali Lebih Tinggi dari Pendapatan Per Kapita
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono curhat soal gajinya yang tak naik-naik selama tujuh tahun berkuasa. Namun menurut majalah bergengsi asal Inggris, The Economist, gaji presiden di Indonesia adalah gaji dengan kesenjangan tertinggi ketiga dari 22 negara yang disurvei tahun lalu.
The Economist menyurvei soal gaji presiden atau perdana menteri yang dibandingkan dengan pendapatan per kapita masing-masing negara. Data tersebut secara tak langsung mencerminkan bagaimana kesederhanaan seorang kepala negara dan sekaligus kesenjangan pendapatan presiden dengan rakyatnya.
Berdasar urutan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menduduki ranking ketiga yang kesenjangan antara gaji dia dengan pendapaan per kapita masyarakat.
Gaji per tahun yang diterima Presiden SBY mencapai 124.171 dolar per tahun. Menurut catatan majalah itu, dengan angka tersebut berarti gaji SBY 28 kali lipat dari pendapatan per kapita.
Urutan nomor pertama kesenjangan gaji tertinggi adalah presiden Kenya yang gajinya pokoknya 427.886 dolar yang berarti 240 kali lipat dari pendapatan per kapita rakyatnya.
Di susul urutan kedua PM Singapura yang besarnya gaji 2.183.516 dolar atau 42 kali lipat pendapatan per kapitan rakyat Singapura.
Sumber: republika.co.id
Menunggu Kegaduhan Politik dari DPR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di awal tahun mendapat kejutan surprise dari Mahkamah Konstitusi (MK). MK telah mengabulkan gugatan terhadap Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
MK memutuskan Pasal 184 ayat (4) UU Nomor 27/2009 bertentangan dengan konstitusi. Dalam pasal 184 ayat (4) UU Nomor 27/2009 disebutkan bahwa usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari Rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) anggota DPR dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota yang hadir. Dengan adanya putusan MK ini maka memudahkan anggota dewan dalam memgawasi jalannya pemerintahan.
Tahun 2011 yang diramalkan banyak pihak sebagai tahun panasnya suhu politik nasional seakan mendapat legitimasi dengan adanya putusan MK itu. Bisa dipastikan kegaduhan politik akan mudah tersulut terutama dari parlemen. Jadi siapa pun anggota dewan yang ingin menyatakan pendapat berupa kritik, saran ataupun masukan kepada pemerintah tidak perlu lagi harus menggalang dukungan 3/4 dari jumlah anggota dewan secara keseluruhan.
Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu dengan jumlah kursi DPR terbesar akan kehilangan power politiknya. Tidak hanya itu saja, Partai Demokrat yang selama ini menjadi bulan-bulanan partai-partai politik yang ada DPR nampaknya harus bekerja ekstra lebih keras dalam melakukan lobby maupun bargaining politik. Mengaca pada pengalaman, banyak anggota Fraksi Demokrat yang masih kalah jam terbang bila harus meladeni pertarungan politik dengan anggota Fraksi Partai Golkar maupun Fraksi PDI Perjuangan.
Kekalahan politik dalam kasus bank century di mana Fraksi Demokrat harus menelan pil pahit karena ada beberapa fraksi yang seharusnya mendukung tapi pada saat keputusan berbalik arah dan terang-terangan berseberangan dengan Fraksi Demokrat.
Kasus Century serta kasus Gayus Tambunan dan Mafia Pajak agaknya menjadi awal dimulainya kegaduhan politik nasional. Mengingat selama ini hak menyatakan pendapat sering dipakai oleh partai politik untuk melakukan barter maupun bargaining kepentingan politik segelintir elit politik saja. Selain itu, Presiden saat ini tengah melakukan evaluasi kinerja para menterinya. Di sisi lain, beberapa menteri merupakan ketua umum partai politik. Jadi dengan adanya putusan MK itu rasanya agak sulit bagi presiden untuk mereshuffle menteri yang juga ketua umum partai politik.
Untuk internal DPR, pembangunan gedung baru yang sudah menyulut kegaduhan politik antar sesama fraksi, akan membuat posisi Partai Demokrat semakin terjepit. Bila selama ini Fraksi Demokrat bisa memandang sebelah mata bagi Fraksi Gerindra dan Fraksi Hanura maka untuk kedepannya bila tidak ingin ada kegaduhan politik yang merongrong pemerintah, Fraksi Demokrat mau tidak mau harus mampu ngemong fraksi-fraksi kecil.
Selain itu, di tengah ketidakbecusan para anggota dewan dalam menyelesaikan sejumlah undang-undang sesuai dengan fungsi legislasinya, maka dalam kegaduhan politik yang sebentar lagi akan terjadi dalam parlemen, bisa dipastikan target DPR dalam menyelesaikan sejumlah undang-undang pasti akan terbengkalai lagi.
Namun terlepas dari itu semua, putusan MK terkait pengapusan pasal Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, justru mengembalikan khittah DPR itu sendiri. Di mana dalam mengawasi serta mengkritisi jalannya pemerintahan tidak perlu harus melalui mekanisme rumit.
Dalam konteks inilah, masyarakat luas pasti akan lebih terbuka matanya dalam menilai kinerja dan keberpihakan wakil rakyatnya. Bila putusan MK hanya dipakai oleh para anggota dewan untuk barter dan bargaining kepentingan politik sesaat serta melupakan kepentingan rakyat maka akan semakin memperjelas bahwa anggota dewan adalah wakil partai dan bukan wakil rakyat. Dan jika itu terjadi sudah saatnya rakyat turun ke jalan membuat parlemen jalanan.
Sumber: petapolitik.com
Gayusgate : Politisasi Gelontoran Milyaran Rupiah
Biarpun cuma pegawai golongan III A di direktorat pajak, ternyata omset Gayus Tambunan dalam permainan pajak mencapai angka ratusan milyar rupiah. Jumlah yang sangat fantastis bila dibandingkan dengan jumlah harta kekayaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya dikisaran Rp. 6 milyar.
Persidangan kasus Gayus Tambunan yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan rabu 8 Desember 2010 lalu, juga membuka tabir perusahaan-perusahaan yang selama ini memberikan order koreksi pajak. Tanpa tedeng aling, Gayus mengumbar mulut bahwa telah menerima uang sebesar 3,5 juta dolar AS (sekitara Rp 35 miliar) dari tiga perusahaan Bakrie Group, antara lain PT Bumi Resources, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Arutmin.
Gelontoran milyaran rupiah itu didapatkannya, pertama dari membantu pengurusan surat ketetapan pajak (SKP) PT KPC untuk tahun 2000, 2001, 2002, 2003, dan 2005. Berkat jasanya ini, Gayus mendapat imbalan sebesar 500.000 dolar AS. Sesi berikutnya, Gayus kembali menerima sebesar 1 juta dolar AS (kurang lebih Rp 10 miliar) atas jasanya membantu persiapan sidang banding PT Bumi Resources. Sedangkan penerimaan ketiga yang diperolehnya sebesar 2 juta dolar AS (sekitar Rp 20 miliar) dari PT Arutmin Indonesia terkait sunset policy perusahaan tersebut untuk pajak tahun 2007.
Uang palakan itu, sebanyak Rp 28 miliar disimpan Gayus dalam 21 rekening di Bank Panin dan BCA serta di 10 safety box. Sedangkan sisa sebesar Rp 7 miliar cukup disimpan dirumahnya saja.
Puluhan hingga ratusan milyar uang yang diperoleh Gayus telah menyeret para aparat penegak hukum duduk di kursi pesakitan. Mulai dari Kejaksaan, Kepolisian dan Kehakiman terdapat oknum-oknum yang memanfaatkan posisi dan pekerjaan Gayus layaknya atm berjalan. Di mana pun Gayus ditempatkan, disitu pula banyak oknum yang kecipratan uang haram. Kasus Kepala Rumah Tahanan (Rutan) Brimob di Depok menjadi indikasi bahwa dengan uang yang dimiliki, Gayus bisa berbuat apa saja. Rutan Brimob di Depok dengan penjagaan super ketat ternyata tidak berlaku untuk Gayus. Ia bebas melenggang keluar kapana saja, bahkan ketika keluar pun diantarakan oleh oknum aparat rutan.
Tidak itu saja, kasus Gayus pun menyeret nama tokoh politik yang juga ketua umum salah satu partai besar di negeri ini. Kasus Gayus masuk dalam ranah politik. Kepentingan politik jangka pendek banyak dimanfaatkan oleh banyak politisi untuk mendapatkan keuntungan politik dari mencuatnya kasus Gayus. Sidang yang dilaksanakan rabu kemarin menjadi momen bagi Gayus untuk mau tidak mau harus mengucapkan nama perusahaan yang telah dibantunya dalam kongkalikong pajak.
Umbaran mulut Gayus Tambunan itu, bukannya memperjelas kasus, tapi kelihatannya hanya akan membuat kekisruhan politik tanah air. Penegakan hukum ternyata menjadi sebuah kesia-siaan karena gelontoran milyar yang ada pada Gayus menjadi amunisi para politisi untuk saling jegal menjegal. Para petinggi penegak hukum (terutama kejaksaan dan kepolisian) yang baru saja dilantik, tampak terbata-bata ketika harus mennyelesaikan kasus Gayus. Kumis tebal para petinggi penegak hukum itu masih belum membuktikan tebalnya nyali dalam menuntaskan kasus mafia pajak.
Sumber: petapolitik.com
SBY Curhat Gaji Presiden Belum Naik
"Hingga tahun keenam atau ketujuh, gaji Presiden belum naik," kata Presiden yang disambut tawa peserta Rapat Pimpinan TNI dan Polri di Balai Samudera, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (21/1).
Presiden mengungkapkan belum naiknya gaji Presiden karena masih ada pejabat pemerintah yang belum mendapatkan gaji yang layak. "Saya ingin semua mendapat kenaikan yang layak dan adil," ujarnya. Presiden berharap kenaikan itu bisa dimanfaatkan dengan baik.
Menurut Presiden, pemerintah sangat perhatian dalam peningkatan kesejahteraan prajurit terutama dalam kenaikan gaji TNI dan Polri, juga tunjangan. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk kenaikan gaji TNI dan Polri. "Ini bukan janji kosong dan kebohongan," kata Presiden.
Presiden menyampaikan pemerintah juga telah memberikan remunerasi kepada TNI dan Polri yang telah disetujui DPR pada akhir tahun lalu. Remunerasi TNI, Polri dan 4 institusi lainnya telah menelan anggaran Rp 5,4 triliun. "Kami berikan untuk tingkatkan kinerja," ujarnya.
Selain gaji dan tunjangan, Presiden meminta masalah perumahan untuk prajurit juga diselesaikan, bisa dengan skema tabungan wajib perumahan atau skema khusus yang nantinya untuk mendapatkan perumahan.
Sumber: tempointeraktif.com
Presiden dan Super Gayus
Jagad Indonesia kembali heboh. Adalah seorang Gayus yang lagi-lagi menjadi aktornya. Pria yang terseret kasus mafia perpajakan ini kembali berulah dengan 'pelesirannya' ke berbagai kota di luar negeri seperti singapura, Kuala Lumpur, Macau dan lain sebagainya. Tak masuk akal memang bagi seorang tahanan bisa 'bebas' jalan-jalan dengan segala perdebatannya, tapi itulah fakta yang tak terbantahkan.
Kejadian ini adalah tamparan keras bagi aparat penegak hukum kita seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman untuk benar-benar serius menangani kasus ini. Sekali lagi, ini adalah realitas bahwa aparat penegak hukum kita sangat lemah dan bisa dibeli dengan 'uang'.
Kejadian ini dipastikan akan semakin menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap keseriusan pemerintah menegakkan keadilan melalui pemberantasan korupsi dan praktik mafia yang sangat telanjang ini. Masyarakat seakan telah kehilangan kesabaran menjalani proses penegakan hukum ini.
Lantas siapa yang paling bertanggungjawab atas semua ini? Bagi saya, presidenlah yang harus malu dan paling bertanggungjawab secara moral melihat ketidakmampuan para pembantunya mengimplementasikan semua petunjuk penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang telah dicanangkannya.
Jangan salahkan masyarakat bila mereka sangat mengandalkan keseriusan seorang presiden yang memang memiliki segala wewenang dan kekuasaan untuk melakukan segalanya termasuk bersikap tegas dan keras terhadap siapa pun yang 'melecehkan' hukum di negara yang kita cintai ini.
Ketegasan dimaksud bukan dengan keprihatinan semata tetapi dengan 'tindakan tegas' meminta seluruh aparat penegak hukum menuntaskan kasus ini dengan cepat. Bila perlu 'ganti' semua pembantunya yang tidak mampu mengemban tugas dengan baik.
Dalam situasi yang serba tidak menentu dan jelas ini, presiden harus mampu hadir menjadi pemimpin yang ideal seperti harapan Jim Collins dalam bukunya Good to Great, di mana senantiasa tidak merasa puas atas keberhasilan yang telah dicapainya, apalagi dalam konteks kegagalan.
Sejatinya, kegagalan adalah barang 'haram' yang tidak akan pernah dilakukan oleh semua pembantunya. Negara ini tidak boleh kalah oleh seorang Gayus dan para pihak yang mengsupportnya. Negara harus menunjukkan 'kedigjayaannya' demi rakyat yang terkhianati oleh sepak terjang mereka.
Apalagi kasus ini merupakan kasus mafia pajak dan peradilan yang beromzet ratusan milyar yang sangat merugikan negara. Apalagi kasus ini telah secara vulgar ditonton publik dari semenjak awal kemunculannya dan benar-benar sangat menyakiti perasaan masyarakat. Seluruh 'tabir' kasus ini wajib dibuka selebar-lebarnya dan dituntaskan tanpa meninggalkan setitik sisa sedikit pun.
Semoga Pak SBY dan para pembantunya mau mendengar setitik keluh kesah masyarakat melalui tulisan singkat ini. Kita hanya bisa berharap dan berdoa semoga beliau benar-benar menjadi pemimpin yang bisa menjadi 'obor' di tengah kegelapan dan ketidakpastian penegakan hukum dan pemberanatsan korupsi ini.
Pak Presiden SBY, engkaulah benteng dan harapan terakhir masyarakat yang diutus olehNya (sebagai seorang khalifah) untuk menegakkan keadilan dan menumpas segala bentuk ketidakadilan di bumi Indonesia tercinta ini demi untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Sholehudin A Aziz
Peneliti CSRC UIN Jakarta
Sumber: detiknews.com
Langganan:
Postingan (Atom)