Sabtu, 22 Januari 2011
Dalam Hegemoni Kedaulatan Dusta
Mengapa wajah Indonesia demikian karut-marut? Kapan wajah karut-marut ini berubah menjadi wajah yang menarik? Masih ada harapankah wajah negeri ini berubah menjadi wajah yang menyejukkan, mendamaikan, dan mencerahkan?
Pertanyaan tersebut sudah sampai pada tahap pemberian label bahwa negeri ini sedang berpenyakit parah, bervirus kanker sampai pada stadium mematikan, atau mengidap keropos di berbagai sendi-sendinya, yang jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin negeri ini sampai pada ranah tinggal kenangan.
Pelabelan itu memang tidak terelakkan, pasalnya nyaris di berbagai sektor strategis, yang notabene sebagai sektor yang berhubungan dengan kepentingan publik, justru terjadi pembiaran dan bahkan pengembangbiakan atau ledakan (booming) penyakit. Antara pengidap penyakit yang satu dan yang lain, seperti terjadi proses tukar-menukar, saling mengadopsi, dan saling mengadaptasi.
Penyakit yang membuat negeri ini lama mengidap kanker karut-marut adalah dusta. Belakangan ini, penyakit dusta dianalogikan dengan kebohongan publik. Mulai dai politisi, akademisi, dan tokoh-tokoh agama seperti disadarkan kembali untuk mengkritik pilar-pilar bangsa yang suka melakukan kebohongan publik atau memberikan tempat bagi kedaulatan dusta.
Filosof Goethe mengingatkan bahwa 'orang yang berbohong itu senantiasa ingin melarikan diri, sedangkan tiada seorang pun yang mengejarnya, namun orang yang benar itu berani seperti singa'. Peringatan filsuf itu bermaksud menunjukkan pada kita bahwa pendusta atau pembohong merupakan model sosok manusia yang suka melarikan diri dari tanggung jawab.
Seseorang atau segolongan pendusta tidak bisa menjadi sosok manusia bermental singa. Pasalnya dalam dirinya terdapat beragam penyakit yang membuatnya tergiring pada kecenderungan untuk mengaburkan kebenaran dan kejujuran sehingga yang ditunjukkan pada orang lain atau publik, sebatas yang dikalkulasi atau dikonsiderasi menguntungkan, menyenangkan, dan menyelamatkannya.
Yang terbaca dalam diri manusia Indonesia belakangan ini, khususnya dari kalangan elite, adalah segolongan pilar negara yang ucapan maupun perbuatannya sangat menyakitkan, yang bermuatan dusta. Mereka bermain-main dengan semantik yang tidak menyejukkan dan mencerdaskan rakyat, tetapi membohongi, melecehkan, dan membiaskan kepentingan tersembunyinya.
Idealisasinya, sebagai pilar negara, bukan dusta atau kebohongan publik yang diberikan tempat berdaulat, melainkan kejujuran sebagai bangsa beragama dan berpancasila. Sangat disayangkan jika pilar negara, yang sudah dipercaya rakyat untuk mengawal dan menjaga dinamika kehidupan bangsa, justru menggelincirkan (membenarkan) praktik pembohongan publik.
Gema yang disuarakan tokoh-tokoh agama beberapa waktu lalu kepada pemerintah atau negara yang dianggap sudah melakukan banyak kebohongan publik sebenarnya sebagai bentuk peringatan keras atau tuntutan kepada para pemimpin negeri ini untuk melakukan evaluasi moral, terlebih dalam hubungannya dengan kewajiban menyejahterakan rakyat atau usaha-usaha maksimal dalam memeratakan (membumikan) kemakmuran.
Sudah berbulan-bulan pers dalam negeri mengingatkan pemerintah untuk peduli pada persoalan harga kebutuhan pokok rakyat. Pemerintah tetap saja minimalis. Namun, akibatnya sangat fatal. Skenario inflasi 2010 berantakan. Rakyat terus menjerit. Selain itu, pers bersama komunitas pemerhati ekonomi terus mengingatkan pemerintah untuk memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi. Statistik ekonomi kita tampak tangguh. Namun, ketangguhan statistik itu tidak bertransmisi pada kesejahteraan rakyat. Di tengah kekecewaan rakyat, pemerintah malah terus membusung dada dengan klaim-klaim tentang sukses pengelolaan ekonomi negara. Pemerintah memaksa rakyat untuk percaya bahwa pertumbuhan ekonomi kita bagus, tetapi ketika diminta mengendalikan harga beras cabai atau minyak goreng, pemerintah nyaris tidak memberi respons apa pun. (SK, 11 Januari 2011).
Itu menunjukkan bahwa masyarakat sudah demikian sering dan diakrabkan dengan praktik pembohongan publik. Praktik itu digelindingkan dari atas hingga ke bawah dengan semantik yang seragam, seperti kosakata 'keberhasilan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan, dan menekan laju inflasi' dan sejenisnya, supaya masyarakat secepatnya bisa mendapatkan informasi dan menerima kinerja pemerintah.
Pemerintah memang sah-sah saja mengampanyekan (menginformasikan) kinerjanya, tetapi pemerintah seharusnya tetap mengindahkan etika akuntabilitas publik bahwa masyarakat membutuhkan kejujuran kinerjanya, bukan semantik atau keindahan rajutan kata-kata yang menyahihkannya.
Sayangnya, pemerintah belum sampai pada kesadaran etis, kalau kejujuran kinerja merupakan fondasi membangun negara ini. Masih berjayanya para koruptor atau 'bandit-bandit kekuasaan' di Indonesia ini setidaknya membenarkan bahwa pilar-pilar strategis negara masih mengidap krisis kesadaran etis (kejujuran). Anomali kekuasaan tidak akan sampai mendarah daging, bilamana pilar-pilar negara ini selalu menempatkan kesadaran etis sebagai 'panglima' yang memimpin dirinya.
Seperti kata filsuf Goethe, bahwa karakter singa dibutuhkan untuk memperbaiki bangsa ini. Karakter itu merupakan tampilan mental mengaum keras dalam menyuarakan, mengungkapkan, dan memberikan testimoni secara objektif, bukan gaya berelasi kamuflase dan berapologi kepalsuan.
Kalaupun akibat auman tokoh-tokoh agama hingga Gayus ternyata mampu menguak berbagai ragam penyakit serius, di antaranya sampai menyeret sejumlah orang penting atau punggawa elite negara ini, atmosfer itu idealnya harus disikapi secara arif. Antara petisi moral yang digelindingkan tokoh agama dan testimoni berbasis kejujuran yang disampaikan Gayus akan bisa digunakan sebagai pijakan moral bahwa perubahan besar mensyaratkan keberanian, di antaranya keberanian menguak praktik pembohongan publik.
"Kalau orang kecil berdusta, dustanya tidak banyak mengandung bisa (racun) bagi orang lain, tapi kalau yang berdusta orang berpangkat atau berkedudukan mapan, bisa atau racunnya bisa menjalar ke mana-mana, bisa menggerogoti dan merapuh negara, bahkan bisa membuat negara tinggal jadi tulang-tulang." (Huda, 2008). Pernyataan itu mengingatkan setiap elemen negara ini supaya tidak suka memproduksi dan 'mengindonesiarayakan' dusta, pasalnya dalam dusta itu terkandung bisa (racun) yang menyakiti, merapuhkan, menghancurkan, dan mematikan bangsa ini. Siapa saja yang terkena bisa, alamat dirinya tidak cukup kuat dan punya imunitas untuk menghadapi problem ketidakberdayaan kemasyarakatan (social empowerless).
Dus, wajah karut-marut Indonesia masih bisa diharapkan akan berubah menjadi wajah menyenangkan dan menyejahterakan rakyat, bilamana setiap pilar negara ini berani menegakkan khitah kejujuran dan mengalahkan praktik pembohongan publik. Ketidakberanian mengalahkan penyakit kanker ini identik dengan sikap menyerah untuk dilegasi sebagai bangsa yang mengultuskan kedaulatan dusta. Jangan sampai berlanjut julukan bangsa ini sebagai bangsa beragama, yang menghalalkan kedaulatan dusta. Jangan sampai dusta dibiarkan menggiring Pancasila sebatas aksesori yang mengisi ruang kerja punggawa elite negara.
Oleh Prof Dr Bashori Muchsin, MSi
Guru besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang
Sumber: mediaindonesia.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar