Sabtu, 22 Januari 2011
Penegakan Hukum Terbentur Intervensi Kekuatan Politik
Perbincangan mengenai hukum dan penegakan hukum di Indonesia seolah tak pernah ada habisnya untuk dibahas. Tidak tuntasnya penyelesaian kasus tertentu, serta ketidakadilan hukuman bagi pelaku yang bersalah menjadi masalah utama penegakan hukum di Indonesia.
Inilah yang menjadi bahasan utama dalam seminar Meningkatkan Profesionalisme dan Etika Sebagai Penegak Hukum, yang digelar Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul, Kamis (20/1).
Seminar yang menghadirkan pembicara Wakil Jaksa Agung Darmono, Anggota Komisi Yudisial, Taufiqurrohman Syahuri, dan Advokat dari PERADI, Fauzie Yusuf Hasibuan ini banyak membahas soal penegakan hukum dan etika dari para penegak hukum.
Para penegak hukum (Advokat, Notaris, Polisi, Jaksa, dan Hakim) dikritik tidak sepenuhnya memahami tugas utama mereka sebagai "pelayanan hukum dan masyarakat."
Justru sebaliknya mereka mulai mengartikan pekerjaan mereka sebagai bagian dari industri yang dikendalikan keuntungan (profit-driven industry).
Di mata Taufiqurrohman, jabatan Hakim di satu sisi merupakan jabatan yang sangat mulia, dan di sisi lain, jika tidak hati-hati dapat merendahkan martabatnya.
Sebagaimana diketahui jabatan Hakim boleh dikatakan merupakan jabatan yang dekat sekali dengan godaan-godaan duniawi.
"Di tangan seorang Hakim, nasib dan masa depan seseorang akan ditentukan. Orang yang tadinya kaya raya dan terkenal sebagai donator di lingkungannya, bisa tiba-tiba jatuh martabatnya sebagai manusia karena masuk penjara akibat putusan Hakim," papar Taufiqurrohman.
Oleh karena itu, sudah menjadi suatu pandangan umum apabila orang yang berurusan dengan pengadilan akan berusaha semaksimal mungkin, dengan segala cara melakukan segala hal asalkan putusan hakim dapat berpihak kepadanya.
Sedangkan, Darmono melihat lemahnya penegakan hukum di Indonesia, terutama karena dipengaruhi beberapa faktor penyebab. Idealnya, menegakkan supremasi hukum berarti menempatkan hukum sebagai patokan tertinggi berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Tegasnya orientasi penegakan hukum diarahkan untuk mencapai tujuan hukum dan tujuan sosial melalui institusi penegak hukum yang berwenang, berkewajiban, dan bertanggung jawab atas pelaksanaan penegakan hukum. Tapi proses ini tidaklah mudah. Para penegak hukum seringkali bertubrukan dengan hal-hal yang membatasi tugas dan wewenang mereka dalam melakukan penegakan hukum.
"Penegakan hukum masih sulit dilakukan saat ini karena masih banyak praktik-praktik penyalahgunaan wewenang penegak hukum, masih banyak campur tangan pejabat, penguasa, kekuasaan politik dalam penegakan hukum," papar Darmono.
"Selain itu, penyelesaian masalah atau kasus yang tidak tuntas. Masih adanya intervensi lembaga penegak hukum yang satu terhadap lembaga penegak hukum lainnya, dan penegakan hukum yang tidak didasarkan atas dasar prinsip kejujuran dan keadilan, tapi atas dasar faktor atau pengaruh lain," imbuhnya.
Darmono lalu mengambil contoh kasus mafia perpajakan Gayus Tambunan. Rabu (19/1) kemarin, vonis hakim akhirnya dijatuhkan kepada Gayus. Hakim menghukum Gayus selama tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta. Bagi masyarakat, ada kesan tuntutan itu lemah dan dianggap tidak menyelesaikan kasus mafia pajak secara tuntas.
"Dalam perkara Gayus ada perkara lain yang lebih besar. Pastinya akan ada hukuman tambahan lagi bagi Gayus untuk kasus-kasus besar lainnya. Kita akan ungkap secara tuntas. Tapi untuk vonis yang dijatuhkan, hakim telah bekerja dan menjalankan sesuai profesionalisme dan etikanya," terang Darmono.
Solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut tentu saja perlunya dilakukan perbaikan menyeluruh pada Standar Operating Procedure (SOP). Perbaikan ini juga diikuti dengan perbaikan kesejahteraan para penegak hukum. Meski itu juga belum menjamin berhasilnya penegakan hukum.
Sedangkan pembicara lain, Fauzie melihat lemahya penegakan hukum karena disebabkan faktor kepemimpinan presiden yang memimpin Indonesia saat ini. "Presiden membias, jadinya membuat penegakan hukum tidak maksimal," pungkas Fauzi.
Fauzie lalu menambahkan sebagai salah satu penegak hukum, Advokat juga ingin menegakkan hukum dan keadilan untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Advokat tidak boleh melanggar hukum, sehingga apabila kliennya menawarkan menggunakan keterangan atau kesaksian palsu dalam rangka pembelaan, advokat harus menolaknya.
"Praktiknya banyak hambatan-hambatan untuk mewujudkan prinsip peradilan yang bebas, independensi serta terciptanya sistem peradilan yang bersih dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Hal ini disebabkan karena diantara penegak hukum belum dapat berinteraksi sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam mewujudkan ketertiban hukum dan keadilan di dalam institusi peradilan dengan tetap menjaga rule of law," pungkas Fauzie.
Sumber: mediaindonesia.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar