Homo floresiensis Rentang fosil: Pleistosen Akhir | ||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Penemuan kerangka Homo floresiensis. Pada sampul majalah Nature. | ||||||||||||||
Klasifikasi ilmiah | ||||||||||||||
| ||||||||||||||
Nama binomial | ||||||||||||||
Homo floresiensis P. Brown et al., 2004 |
Homo floresiensis ("Manusia Flores", dijuluki Hobbit) adalah nama yang diberikan oleh kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh dan volume otak kecil, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu) dari sembilan individu yang ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores, pada tahun 2001. Kesembilan sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1 sampai LB9) menunjukkan postur paling tinggi sepinggang manusia moderen (sekitar 100 cm).
Para pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia berargumen menggunakan berbagai ciri-ciri, baik ukuran tengkorak, ukuran tulang, kondisi kerangka yang tidak memfosil, serta temuan-temuan sisa tulang hewan dan alat-alat di sekitarnya. Usia seri kerangka ini diperkirakan berasal dari 94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.
Penemuan
Liang Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah ditemukan banyak kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia (seperti makhluk mirip gajah Stegodon, biawak, serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan makanan mereka. Di samping itu ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban penghuninya.
Kerja sama penggalian Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional (dulu Puslit Arkenas) dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari Universitas New England. Pada bulan September 2003, setelah penggalian pada kedalaman lima meter (ekspedisi sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman itu), ditemukan kerangka mirip manusia tetapi luar biasa kerdil, yang kemudian disebut H. floresiensis. Tulang-tulang itu tidak membatu (bukan fosil) tetapi rapuh dan lembab. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang lengkap. Diperkirakan, Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan, dilakukan pengeringan dan perekatan terlebih dahulu.
Individu terlengkap, LB1, diperkirakan adalah betina, ditemukan pada lapisan berusia sekitar 18.000 tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri), serta beberapa tulang badan. Individu-individu lainnya berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun. Walaupun tidak membatu, tidak dapat diperoleh sisa material genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis DNA untuk dilakukan. Perlu disadari bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia lapisan tanah bukan dari tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua daripada usia kerangka. Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon sulit dilakukan karena metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk dilakukan.
Ciri-ciri
Kontroversi
Pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, dimotori oleh Prof. Teuku Jacob dari UGM. Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan, yang menderita gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali ("kepala kecil"). Menurut tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita microcephali, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil.
Perdebatan yang terjadi sempat memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan beberapa gua di sekitarnya dinyatakan tertutup untuk peneliti asing. Sepeninggal Prof. Jacob (wafat 2007), lokasi penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.
Pada bulan September 2007, para ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan merupakan spesies yang berbeda. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah ilmuwan mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun manusia Neandertal.
Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif daripada H. sapiens dan berada pada wilayah variasi H. erectus. Publikasi pertama yang dimuat di Anthropological Science membandingkan LB1 dengan spesimen H. sapiens (baik normal maupun patologis) dan beberapa Homo primitif. Hasil kajian morfometri ini menunjukkan bahwa H. floresiensis tidak dapat dipisahkan dari H. erectus dan berbeda dari H. sapiens normal maupun patologis karena mikrosefali. Hasil analisis kladistika dan statistika morfometri terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu LB1 (betina), dan dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern dengan mikrosefali, beberapa kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta tengkorak hominin purba menunjukkan bahwa H. floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda dari manusia modern dan lebih dekat kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal Significance. Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan H. floresiensis dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.
Sumber: wikipedia
Perbandingan tengkorak Homo Floresiensis dengan Homo Sapiens
Hobbit Flores, Species Baru Hominin
TEMPO Interaktif, Jakarta – Debat tentang fosil Manusia Flores, Homo floresiensis, sering disebut juga dengan hobbit Flores, masih terus berlangsung. Selama ini ada dua arus pendapat. Pertama, yang menganggap Homo floresiensis sebagai spesies baru dari hominin, sering disebut Hobbit, pendapat ini dimotori oleh para peneliti dari Australia, seperti antropolog Peter Brown, Michael Morwood, dan para koleganya. Pendapat kedua mengatakan, Homo floresiensis bukan merupakan spesies baru, tetapi merupakan bagian dari spesies manusia modern dari bangsa Homo erectus yang menderita sindroma kekerdilan dan penyakit microchepaly, –penyakit yang menyebabkan pengerdilan volume otak dan ukuran tubuh, pendapat ini dimotori Profesor Teuku Jacob dan para koleganya dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Baru-baru ini, para peneliti dari Universitas Medis Stony Brook, New York, Amerika Serikat, mengumumkan hasil penelitiannya terhadap fosil Homo florensiensis yang cenderung mendukung pendapat pertama dan menyimpulkan bahwa fosil itu merupakan spesies manusia kuno baru, atau hobbit, dan kelainan mereka bukan disebabkan oleh suatu penyakit sehingga ukuran tubuhnya menjadi mini. Dengan menggunakan metode penelitian analisa statistik terhadap kerangka fosil yang ditemukan, para peneliti meyakini Homo floresiensis merupakan sebuah spesies baru dari manusia kuno, atau hobbit, yang bertubuh mini, dan bukan versi manusia modern yang terkena penyakit sehingga tubuhnya menjadi kerdil dan kemudian diturunkan secara genetis. Sehingga Homo floresiensis merupakan generasi manusia yang belum sempurna jika dibandingkan dengan generasi Homo erectus, dan generasi manusia sempurna Homo sapiens yang kini mendiami bumi. Detail lengkap dari hasil penelitian ini baru akan dipublikasikan dalam Jurnal Significance, terbitan Royal Statistical Society, pada edisi bulan Desember mendatang. Fosil Homo florensiensis pertama kali ditemukan pada tahun 2003 oleh sekelompok peneliti Australia dan Indonesia, di Liang Bua, Nusa Tenggara Timur.
Dari hasil rekonstruksi diketahui fosil ini merupakan kerangka dari manusia yang memiliki tubuh mini, volume otak kecil, dan mirip dengan hominin, yaitu bangsa manusia kuno. Dari uji karbon terhadap fosil temuan, spesies ini diperkirakan hidup di Flores sekitar 18.000 tahun yang lalu. Jika Anda menonton seri film Lord of The Ring, manusia hominin ini disebut dengan hobbit yang bertubuh kecil. Para peneliti dari Universitas Medis Stony Brook yang dipimpin William Jungers dan Karen Baad melakukan penelitian terhadap kerangka fosil Homo floresiensis berjenis kelamin perempuan yang diberi code LB1 dan diberi nama penelitian ‘Little Lady of Flores’ atau ‘Flo’, menyimpulkan fosil itu merupakan spesies hasil evolusi hobbit. Penelitian meliputi fosil bagian tengkorak, rahang, telapak tangan, kaki, dan telapak kaki, yang dibandingkan dengan ukuran fosil-fosil manusia temuan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan, kapasitas otak LB1 diperkirakan hanya sekitar 400 cm saja, yang sebanding dengan ukuran otak Simpanse atau Siamang berkaki dua di Afrika. Ukuran tengkorak dan tulang rahang Homo floresiensis, juga lebih primitif dari ukuran fosil manusia modern normal yang ditemukan daerah dimanapun.
Temuan fosil Homo floresiensis relatif lengkap, sehingga para ilmuwan dapat melakukan rekonstruksi sosoknya, yang dapat dibandingkan dengan sosok manusia modern. Tulang paha dan tulang betisnya jauh lebih pendek daripada yang dimiliki manusia modern, bahkan jika dibandingkan dengan temuan fosil manusia kerdil serupa di Afrika Tengah, Afrika Selatan, dan manusia kerdil negritto di Kepulauan Andaman dan Filipina. Sehingga para peneliti berspekulasi ini merupakan bagian dari sebuah rantai evolusi dari bangsa hominid, yang menyebar di berbagai lokasi dunia pada masa lalu. “Sulit dipercaya proses evolusi dipengaruhi juga dengan kemampuan gerak agar lebih ekonomis,” ujar Jungers, “spesies ini mengembangkan paha dan kaki yang lebih pendek, agar dapat berjalan kaki lebih baik dan efektif pada waktu itu.”
Analisis statistik dari Jungers dengan persamaan regresi yang dia kembangkan, menunjukkan rata-rata tinggi Homo floresiensis sekitar 106 cm, jauh lebih pendek dari rata-rata tinggi manusia modern kerdil yang rata-rata memiliki tinggi 150 cm. Rekonstruksi menunjukkan sosok fisik LB1, juga jauh berbeda dengan umumnya orang kerdil serupa yang ditemukan di Asia Tenggara maupun Afrika, baik pada tinggi maupun ukuran tubuh. “Anatomi Homo floresiensis jauh lebih unik daripada anatomi manusia yang terkena penyakit seperti microcephaly dan sindroma kekerdilan,” tegas Dr. Baab.
Debat apakah Homo floresiensis merupakan jenis manusia modern yang menderita penyakit kelainan atau salah satu varian hobbit, tampaknya masih belum akan final. Namun jika Anda ingin mengenal sosoknya, Anda bisa mengunjungi Museum Geologi Institut Teknologi Bandung, Bandung, Jawa Barat, yang membuat dan memajang patung sosok Hobbit Flores ini didepan museum.
SCIENCEDAILY l WAHYUANA
sumber: www.tempointeraktif.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar