Ungkapan mengatakan, jangan pernah melupakan sejarah. Kalimat itu tepat saat berwisata ke Ambarawa. Kota kecil yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah ini, memang menawarkan paket wisata kereta api uap bergigi dengan pemandangan khas pedesaan.
Sambangi saja Museum Kereta Api Ambarawa, atau dahulu dikenal sebagai Stasiun Willem I. Stasiun ini didirikan pada tahun 1873 selama pemerintahan kolonial Koningen Willem I. Sampai sekarang, beberapa ruangan dan perabot yang dulu sering digunakan selama masa tersebut, masih tampak terlihat terawat dengan baik. Anda bisa melihat bagian ruang tunggu yang masih lengkap dengan perabot meja kursi tempo dulu dan beberapa peralatan komunikasi dan kontrol jalur kereta api yang kesemuanya masih dalam kondisi baik. Sayangnya stasiun ini sudah tidak lagi berfungsi sebagai sarana transportasi umum, namun sebagai museum kereta api bisa menjadikannya lebih terawat. Pada jaman kolonial, kereta api yang ada di stasiun ini digunakan sebagai sarana transportasi umum untuk melayani penumpang dan hasil pertanian di sekitar lokasi. Untuk melintasi area perbukitan, pada bagian tengah dari rel kereta api terdapat plat besi khusus untuk memudahkannya mendaki bukit.
Gedung bekas peninggalan kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij atau Perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda kala itu, menyimpan sekitar 24 lokomotif kuno buatan tahun 1891-1966. Kereta besi itu menjadi koleksi setelah hampir satu decade bertugas menjelajahi Pulau Jawa. Sebut saja seperti lokomotif CC50 buatan Schweizerische Lokomotiv und Maschinenfabrik Winterthur, Swiss dan Werkspoor, Belanda. Loko ini dijuluki Bergkoningin alias Ratu Pegunungan. Julukan dalam bahasa Belanda ini didapat CC 50 karena lokomotif dengan tahun produksi 1927 itu, mampu melewati jalur pegunungan dengan tikungan-tikungan tajam.
Ada juga lokomotif kebanggaan perusahaan kereta api milik pemerintah Kolonial Belanda, Staatsspoorwegen (SS), C28. Loko buatan Henschel, Jerman, ini tercatat sebagai loko tercepat di seluruh dunia untuk ukuran rel sempit (1.067 mm) pada era 1920-an. Kecepatannya pada masa itu bisa mencapai 120 kilometer per jam.
Masih ada sejumlah lokomotif kuno lainnya, seperti loko F10 buatan Hanomag, Jerman, dengan enam pasang roda penggerak. Konon, keberadaan loko ini tergolong langka dan jarang ditemukan di belahan dunia lainnya. Lokomotif lainnya C54, loko kebanggaan Semarang Cheribon Stoomtram Maatscappij (SCS); dan loko C51, loko kebanggaan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatscappij (NIS). Keseluruhan koleksi itu bebas untuk diabadikan gambarnya oleh pengunjung.
Selain menikmati kegagahan loko yang pernah melintasi sepanjang rel di Pulau Jawa ini, Museum Kereta Api juga menawarkan paket perjalanan wisata kereta uap. Perjalanan dimulai dari Stasiun Ambarawa ini menempuh rute sepanjang sembilan km, dengan tujuan stasiun Bedono. Laju kereta api uap sangat lambat, sehingga membuat waktu tempuh sekitar sejam lamanya dengan kecepatan maksimum hanya 10 km/jam. Sementara dua gerbong penumpang seluruh dindingnya terbuat dari kayu. Demikian pula tempat duduk penumpang semuanya dari kayu. Di dinding gerbong tak ada kaca jendela. Sehingga penumpang dapat menikmati semilir angin nan sejuk dan pemandangan selama perjalanan.
Perjalanan antara Stasiun Ambarawa-Stasiun Jambu belum terasa istimewa. Mengingat jalurnya masih datar. Sementara kanan kiri rel pemandangan yang terlihat hanyalah perkampungan penduduk.
Baru antara Stasiun Jambu-Stasiun Bedono terasa ada yang berbeda. Karena jalan sudah mulai menanjak maka posisi lokomotif diubah. Bila sebelumnya ada di depan, maka posisi lokomotif kini ada di belakang. Jadilah KA. bukan ditarik lokomotif, melainkan didorong oleh lokomotif. Jalur Stasiun Jambu-Stasiun Bedono ini berada di ketinggian 693 meter di atas permukaan air laut. Panorama di sepanjang perjalanan semakin luar biasa. Hamparan Gunung Ungaran dan Gunung Merbabu menjadi latar belakang yang mempesona.
Karena letaknya yang cukup tinggi inilah di sepanjang jalur Stasiun Jambu-Stasiun Bedono ini terdapat rel bergerigi. Fungsinya adalah untuk menahan agar KA tidak mengalami kesulitan menanjaki jalur tersebut. Rel di jalur ini menjadi rel gerigi satu-satunya di Indonesia yang hingga sekarang masih difungsikan.
Selain jalur menuju Stasiun Bedono, rute yang patut dicoba ialah Ambarawa-Tuntang. Pemandangan pada rute ini tak kalah menariknya. Keelokan Danau Rawa Pening akan menyapa para penumpang kereta wisata di rute tersebut. Keindahan panorama pada rute Ambarawa-Tuntang sebenarnya tidak berhenti pada keelokan Danau Rawa Pening.
Lebih kurang sekitar dua kilometer dari Stasiun Tuntang terdapat Agrowisata Tlogo milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan fasilitas penginapan di tengah kebun kopi dan karet. Di perkebunan peninggalan Tlogo Maatscappij Amsterdam tahun 1856 itu kita bisa menikmati suasana hening perkebunan dengan panorama Gunung Rong (675 meter). Dari puncak gunung ini Anda bisa menyaksikan kecantikan Danau Rawa Pening, sepasang Gunung Merbabu dan Merapi di sisi selatan, serta Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran di bagian utara.
Rasakan pula perjalanan dengan tujuan menuju Stasiun Tanggung dan Stasiun Kedungjati di Kabupaten Grobogan. Keduanya adalah dua stasiun KA tertua di Indonesia, yang hingga kini bangunannya masih terpelihara dengan baik.
Menikmati kesederhanaan bangunan Stasiun Tanggung yang telah dipugar pada tahun 1910 itu adalah kepuasan tersendiri. Siapa sangka, stasiun yang saat ini tidak disinggahi kereta api tersebut, adalah stasiun KA pertama di Indonesia. Di stasiun dengan dinding masih berupa kayu jati bercat putih itu, akan menemui lemari kayu penyimpanan karcis kereta api zaman dahulu, lengkap dengan rute-rute tujuan. Stasiun ini dibangun bersamaan dengan pembangunan rel KA pertama antara Semarang Kemijen dan Tanggung sejauh 25 km dan resmi digunakan untuk umum pada 10 Agustus 1867. Satu-satunya bangunan modern yang dapat dilihat di stasiun ini adalah ruangan sinyal berukuran 4 x 2,5 meter, yang menempati areal bekas peron stasiun.
Bicara per kereta api Indonesia, tentu tidak bisa melupakan peran Gubernur Jendral Hindia Belanda L.A.J.W. Baron Sloet van Beele Broke. Dialah yang membuka jalur pertama kereta api, tepatnya tanggal 17 Juni 1864, dengan rute perjalanan pertama antara Semarang dan Tanggung di tahun 1867.
Stasiun Tanggung bukanlah satu-satunya stasiun KA tertua di Indonesia yang mampu menyedot kekaguman pengunjung. Sekitar 10 kilometer dari Stasiun Tanggung kemegahan bangunan Stasiun Kedungjati akan segera terpampang.
Bangunan dengan arsitektur klasik seperti bangunan Stasiun Willem I Ambarawa itu resmi dioperasikan pada 21 Mei 1873. Peresmian Stasiun Kedungjati pada Mei 1873 itulah yang sekaligus menandai beroperasinya lintas Ambarawa-Kedungjati untuk pertama kalinya.
Ditilik dari segi arsitekturnya, bangunan ini dari awal dibangun dengan skala publik sehingga kualitas material, seperti baja untuk rangka emplasemen, dibuat mampu bertahan hingga ratusan tahun. Keduanya berfungsi untuk stasiun transit pasukan Belanda.
Perlahan tapi pasti, lokomotif memasuki peron stasiun. Pluit panjang pun terdengar menandakan perjalanan usai sudah. Saat penumpang turun, maka lokomotif pun akan menanti kembali perjalanan esok hari.
sumber: www.artukat.com
Bernostalgia dengan Kereta Api Bergerigi
Diantara perkampungan penduduk
Sekitar 15-20 menit kemudian kita sampai di stasiun Jambu. Tapi jangan berpikir akan melihat bangunan stasiun seperti biasanya. Stasiun ini hanya berupa tanah lapang dan tiga jalur rel. Malah rel-rel sepur belok tidak terlihat karena tingginya rumput. Di stasiun ini, lokomotif yang tadinya di depan akan pindah ke belakang untuk mendorong, karena jalur di depan (menuju stasiun Bedono) kondisinya menanjak.
Tiba di stasiun Jambu
Datang dari belakang untuk mendorong
Selepas stasiun jambu, pemandangan mulai berganti menjadi pemandangan semi hutan. Rumah-rumah penduduk mulai jarang dan jalan mulai menanjak, ditandai dengan adanya rel gerigi.
Pemandangan sawah hijau dan gunung
Rel bergerigi
Dengan jalur yang berkelok, dijamin para edan sepur akan menikmati perjalanan menuju stasiun Bedono. Nanti jalur KA akan bersinggungan dengan jalan raya Ambarawa-Magelang.
Akhirnya rangkaian kereta sampai di stasiun Bedono.
Stasiun Bedono
Di stasiun Bedono, lokomotif uap melakukan proses isi air. Kira-kira waktu prosesnya 15-20 menit. Menunggu waktu tersebut para edan sepur berpuas mengabadikan momen-momen pengisian air. Tapi bagi non edan sepur, menunggu waktu tersebut rasanya membosankan. Karena di Bedono tidak ada apa-apa. Hanya sebuah bangunan stasiun yang telah tutup. Paling-paling ada penjual pecel yang menjadi hiburan bagi perut .
Lokomotif mengisi air
Setelah mengisi air, maka lokomotif kemali menggandeng rangkaian dan melanjutkan tour, yaitu kembali ke Stasiun Ambarawa (Willem I). Saat perjalanan pulang rasanya mengantuk sekali, karena kebetulan sejak dari Surabaya kurang tidur. Beberapa railfans memang terlihat tertidur (malah ada yang tidur pas perjalanan berangkat tadi).
Kelokan menurun di perjalanan pulang
Jalan raya Ambarawa - Magelang
Perjalanan kembali rasanya lebih cepat, karena kondisi jalur yang menurun, selain itu tidak ada proses ganti posisi di stasiun Jambu. Akhirnya setelah 30-40 menit perjalanan, kita telah kembali di stasiun Willem I. Berakhirlah perjalanan kita dengan kereta uap. Lokomotif dan kereta di istirahatkan di Dipo Loko Uap untuk nanti berangkat lagi di siang hari.
Sebelum pulang, sebaiknya kita nikmati juga pajangan berbagai tipe lokomotif uap yang ada di bagian kanan setasiun. Selain itu juga ada beberapa foto-foto lawas. (Sayang saya gak foto-foto karena dah capek). Untuk yang masih ingin jalan-jalan lagi, bisa mencoba lori wisata seharga 10.000 yang melintasi bukit cinta.
sumber: shindu-b-raditya.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar