Dari Banda, Indonesia Bermula
Pemandangan di depan dermaga Pelabuhan Banda Naira itu mengingatkan akan kejayaan Banda masa silam. Jauh sebelum republik ini berdiri, Banda telah menjadi surga bagi bangsa-bangsa Eropa. Kapal-kapal Portugis, Inggris, dan Belanda bergantian buang sauh di Banda Naira untuk mengenyam alam Banda yang subur dan elok itu.
Kehangatan dan aroma khas pala (Myristica fragrans) Banda yang tumbuh subur di tanah vulkanik sulit ditemukan di belahan dunia mana pun. Kala itu, biji dan fuli (bunga) pala sangat dibutuhkan sebagai bahan pengawet, penyedap, parfum, dan kosmetik.
Portugis, Inggris, dan Belanda berebut dan bergantian menguasai gugusan pulau yang terletak di tengah Laut Banda, Maluku- berjarak 116 mil (186 kilometer) dari Ambon, ibu kota Provinsi Maluku.Des Alwi, tokoh masyarakat Banda, dalam buku Sejarah Banda Naira terbitan Pustaka Bayan (2010) mengisahkan, hasil monopoli pala yang harganya lebih mahal daripada emas kala itudigunakan Belanda untuk membangun kota Amsterdam dan Rotterdam.
Kokohnya imperialisme Belanda di Banda ditandai dengan berdirinya benteng, gedung perkantoran, istana, dan rumah- rumah bergaya Eropa. Belanda bahkan memindahkan pengasingan Hatta dan Sjahrir dari Boven Digoel, Papua, ke Banda Naira tahun 1936-1942. Tokoh pergerakan nasional lain, Dr Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusumasumantri juga diasingkan di sini.
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Banda Naira - Suasana pagi di Kepulauan Banda, Maluku, Sabtu (24/7). Pesona keindahan alam, terumbu karang, serta berbagai peninggalan sejarah sisa pendudukan penjajah, yang masih terjaga membuat Banda Naira memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Des Alwi yang melewati masa kanak-kanak ketika Hatta dan Sjahrir diasingkan di Banda mengenang betapa kontrasnya materi pelajaran sekolah pagi yang diterima dari Belanda dengan yang dikenyam saat sore hari.
"Di sekolah pagi, para meneer mengajari kami bahwa Teuku Umar dari Aceh serta Diponegoro dari Jawa sebagai penjahat dan sejarah negeri Belanda disebut sebagai sejarah 'Tanah Air'. Sebaliknya, di sekolah sore, Hatta dan Sjahrir menyebut dua tokoh itu sebagai pemberontak atas penindasan Belanda."
Oleh Des Alwi dan anak-anak sebayanya kala itu, Hatta akrab disapa "Oom Kacamata". Adapun Sjahrir biasa disapa "Oom Rir". "Sosok Hatta itu serius, kutu buku, dan lengket dengan kacamata tebal. Kalau Sjahrir, suka gaul dan suka nyanyi," ujarnya.Menurut Des Alwi, budaya setempat menegaskan bahwa semua anak yang lahir di Banda otomatis dianggap orang Banda. Tidak terkecuali anak-anak pendatang, termasuk yang berasal dari China dan Arab. "Hatta dan Sjahrir menularkan semangat kebangsaan kepada anak-anak di Banda dalam nuansa pluralisme. Wajar jika muncul ungkapan 'Dari Banda, Indonesia bermula'. Benih Tanah Air berawal dari sini," kata Des Alwi.
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Banda Naira - Perahu kayu bersandar di kawasan Pelabuhan Banda Naira, Banda, Maluku, Jumat (23/7). Perahu kayu dengan tarif Rp 3.000 - Rp 5.000 per penumpang tersebut merupakan alat transportasi andalan warga kepulauan tersebut dalam mendukung berbagai aktivitas yang seringkali harus dilakukan secara antarpulau.
Sumber: tanahair.kompas.com
Surga di Banda Neira
Cantiknya pulau-pulau di Indonesia timur memang sangat terkenal hingga mancanegara. Sebuah pulau yang terletak di bagian tenggara pulau Ambon, yaitu pulau Neira adalah salah satunya. Kekayaan alamnya berupa buah pala membuat para penjajah mendatanginya.
Pulau ini termasuk dalam Kepulauan Banda dan hanya terdapat satu kota di kepulauan tersebut, yaitu Banda Neira. Untuk dapat mencapainya memang membutuhkan waktu cukup lama, tetapi itu semua akan terbayar saat melihat keindahan pulaunya.
Kota Banda Neira ini tidak terlalu luas. Anda bisa mengitari pulau dengan naik becak, perahu atau ojek. Sambil menikmati keindahan pulau, ada beberapa tempat sejarah yang wajib didatangi salah satunya adalah Istana Mini Banda Neira.
Istana tersebut merupakan tempat tinggal Gubernur Jendral VOC JP. Coen. Bentuk istana tersebut ternyata merupakan cikal bakal bentuk Istana Negara yang ada di Jakarta. Dilihat dari depan, memang sama dengan bentuk Istana Negara tetapi versi mini.
Berlanjut ke tempat bersejarah lainnya, yaitu rumah pengasingan Bung Hatta. Rumah ini masih dilengkapi meja, tempat tidur, mesin ketik dan barang-barang asli lainnya. Dari luar tampak kecil, tetapi di dalamnya cukup luas. Bahkan terdapat sekolah kecil di mana bung Hatta pernah mengajar anak-anak setempat. Salah satu muridnya adalah anak angkatnya yang merupakan sejarawan dan mantan diplomat Indonesia, Des Alwi.
Tidak jauh dari rumah tersebut, terdapat benteng Belgica. Hanya membutuhkan waktu 10 menit dengan berjalan kaki ke benteng tersebut. Benteng pertahanan peninggalan Belanda ini hanya memiliki satu pintu masuk yang menghadap selatan. Bagian dari benteng ini yang harus dikunjungi adalah bagian paling atas yang merupakan steling atau tempat peletakan meriam dan masih terdapat meriam tua di dalamnya.
Dari atas benteng, mata dimanjakan dengan pemandangan yang luar biasa. Sekeliling pulau bisa terlihat, termasuk gunung vulkanik di seberang pulau. Udara sejuk juga membuat betah berlama-lama di atas benteng.
Lalu, tempat selanjutnya yang wajib dikunjungi adalah Hotel Maulana yang pemandangannya paling indah sepulau Banda. Letaknya sangat pas, Anda bisa melihat gunung vulkanik dari dekat yang dibatasi laut sambil melihat kapal berlalu-lalang. Di pinggiran hotel yang langsung menghadap ke laut, dengan air laut sangat jernih, juga membuat mata bisa menikmati lincahnya gerakan ikan-ikan yang bersembunyi di balik karang-karang berwarna-warni.
Surga bawah laut itulah sebutan yang banyak dikatakan oleh para penyelam. Tidak heran jika spot penyelaman di laut sekitar pulau Banda menjadi impian dan incaran banyak penyelam dari seluruh dunia. Tanpa menyelam saja mata sudah bisa menikmati keindahan karang-karangnya. Airnya seperti kaca terang yang berfungsi ‘memamerkan’ keindahan di dalamnya.
Meskipun memiliki pemandangan yang luar biasa hotel milik Des Alwi ini jauh dari kesan mewah. Bangunannya sangat tua dan sederhana. Di sinilah Des Alwi tinggal menghabiskan masa tuanya. Tidak heran ia tampak sehat di usianya yang sudah 83 tahun karena tinggal di daerah ‘surga dunia’. Bahkan ia menyebutkan Banda adalah kepanjangan namanya.
“Banda itu adalah singkatan. Bantuan Des Alwi,” katanya sambil tertawa. “Tokoh-tokoh pendiri negara pernah dibuang ke sini. Seperti Hatta, Syahrir, Iwa Kusumasumantri dan masih banyak lagi. Bisa dikatakan Indonesia berawal dari Banda,” ujar beliau menceritakan.
Warga setempat juga sangat ramah terhadap wisatawan. Mereka sangat ingin pulau tempat mereka tinggal lebih banyak dikunjungi oleh wisatawan bukan hanya asing tetapi juga dari Indonesia sendiri. Menurut mereka selama ini lebih banyak wisatawan asing yang datang daripada wisatawan lokal.
“Tolong ceritakan bagaimana keindahan pulau ini. Ajak teman-temannya kemari agar bisa melihat keindahan pulau Banda,” kata salah satu warga.
Transportasi memang masih menjadi kendala untuk dapat mengunjungi pulau Banda. Untuk mencapainya ada dua jalur yang dapat dipilih yaitu jalan laut atau udara. Membutuhkan waktu sekitar 45 menit dari bandara Pattimura, Ambon, jika menggunakan pesawat perintis.
Lalu, jika menggunakan kapal laut menghabiskan waktu sekitar enam jam. Untuk menggunakannya pun harus mengecek dulu jadwal keberangkatan. Karena jadwal kapal laut dua minggu sekali dan pesawat perintis satu minggu sekali.
Meski cukup terpencil, tetapi pertimbangkanlah pulau Banda untuk menjadi tempat liburan Anda. Dijamin Anda pasti akan jatuh cinta dibuatnya.
oleh A Ponco Anggoro dan Nasrullah NaraSumber: kosmo.vivanews.com
kampungku tercintaaaaaaa
BalasHapus