 
 Tiwul bukan menu baru bagi masyarakat  Indonesia,  khususnya di pulau Jawa. Sudah sejak lama makanan ini dikonsumsi oleh  orang Papua, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,  dan Lampung. Siapa sangka bila ternyata tiwul yang identik dengan menu  pokok marginal itu ternyata memiliki kalori dan gizi yang memenuhi  standar untuk dijadikan makanan pengganti beras. Tapi tunggu dulu. Tiwul  yang dimaksud tentu bukan tiwul sembarangan, tapi tiwul istimewa.
Dikatakan istimewa sebab tiwul itu diolah dengan berbagai bahan campuran full gizi.  Bukan air tapi susu segar dicampur dengan telur. Waktu dihidangkan di  meja makan pun temannya juga bukan ikan asin, tapi ayam bakar, sop  kambing, kadang-kadang ikan bakar.
Tiwul  adalah pilihan. Jika terjadi devisit beras, stabilitas dan ketahanan  pangan keluarga tak akan terganggu sebab terdapat berbagai makanan pokok  alternatif. Itu artinya ketergantungan terhadap padi sebagai bahan  pangan pokok perlahan akan berkurang. Substitusi bahan pangan nonpadi  yang tersedia secara regional sesuai dengan daya dukung agroekologi dan  pranata budaya masyarakat ini, bagaimanapun, tetap memperhatikan kadar  gizi makro dan mikro yang tinggi. Jangan sampai karena berganti tiwul,  standar gizinya
Sumber  kalori potensial nonpadi adalah jagung dan cassava. Produksi jagung  domestik lebih rendah dari permintaan sehingga mesti dipenuhi dari  jagung impor sekitar 1,5 juta ton per tahunnya. Sedangkan, produksi  cassava masih surplus. Dari 100 persen produksi hanya 90 persen yang  digunakan untuk pangan, pakan, dan industri.
Dari  sisi kandungannya, cassava ternyata punya keunggulan daripada padi. Ia  punya lebih banyak kandungan lemak, kalsium, zat besi, vitamin A dan C.  Bila tepung cassava dicampur dengan 18 persen tepung kedelai maka tepung  komposit tersebut menjadi bahan pangan pokok bergizi tinggi dan lebih  lengkap jika dibandingkan dengan padi. Ditambah dengan telur maka  lengkaplah tiwul itu memiliki kandungan protein sebesar 29 persen.
Cassava  juga punya keunggulan lain yaitu kemampuan tanaman ini beradaptasi  dengan lingkungan marginal. Ia juga bisa ditanam di berbagai medan  secara lebih merata di seluruh wilayah di negeri ini. Jika dipanen  hasilnya bisa mencapai 25 ton per hektare per 9 bulan atau 134  kkal/hari, sedangkan padi sawah dengan asumsi dua kali panen hanya 12  ton per hektare setara dengan 125 kkal/hari. Artinya, dengan pengolahan  yang sederhana saja menjadi tepung komposit ubi kayu bisa menjadi bahan  pangan bergizi tinggi dan lengkap.
Keunggulan  tepung komposit inilah, ternyata, yang menjadi faktor pendorong PT.  Bogasari untuk membangun industri tiwul instan di Gunung Kidul,  Yogyakarta. Industri ini akan menambah keunggulan cassava sebagai sumber  kalori alternatif utama. Oleh karena itu, peran cassava dalam sistem  pangan global menuju tahun 2020 menjadi semakin penting. Pernyataan  tersebut diperkuat oleh hasil pengumpulan data pola konsumsi penggunaan  sumber kalori utama nonpadi di Papua, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur,  Jawa Tengah, Jawa Barat dan Lampung.
Sumber: kadangtani.blogspot.com
 
 
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar