Masakan yang satu ini memang khas Jawa. Betapa tidak, dari namanya saja orang sudah bisa menebak, bakmi Jawa. Menemukan bakmi yang cita rasanya pas di lidah orang Semarang memang gampang-gampang susah. Namun, salah satu yang cocok adalah warung bakmi Jawa di komplek kampus Undip Tembalang. Nama warungnya Bakmi Jowo Totem Pak Pardi yang berada di pertigaan antara Jalan Prof Sudharto dan Jalan Sirojudin Tembalang.
Warungnya berada tepat di halaman Toko Tembalang (totem). Nama totem inilah yang akhirnya dipakai Pardi sang pemilik untuk mempermudah orang mencari warungnya.
Pria 50 tahun itu menyediakan menu bakmi Jawa goreng, bakmi godok, nasi goreng, dan kwetiau. Semua disajikan melalui tangan dinginnya yang terampil mengolah bumbu dan bahan lainnya. Selain itu sebagai pelengkap disediakan sate ayam yang gurih, atau dibakar bila pelanggan menginginkannya.
Jangan tanya rasa bakmi buatan lelaki kelahiran Tawangsari Sukoharjo ini, siapapun dibikin ketagihan bila merasakan racikannya. Harganya yang ekonomis, membuat warung bakminya laris manis dipenuhi mahasiswa Undip. “Satu porsi bakmi dan lainnya rata-rata Rp 5000,” jelas Pardi sembari melayani para pelanggannya.
Selain para mahasiswa, yang menjadi langgananya adalah karyawan swasta dan PNS atau dosen. “Menu yang paling banyak dipesan bakmi goreng dan nasi goreng,”imbuhnya.
Hampir tidak ada masakan yang tersisa di warung setiap harinya. Artinya berapapun bahan masakan yang dibawa Pardi selalu habis diserbu pelanggan. Kelezatan bakmi Jawa di warung Totem ini diakui oleh para pelanggannya, salah satunya adalah Indra yang merupakan mahasiswa tingkat akhir Jurusan Teknik Undip. Menurutnya bakmi goreng buatan Padi berbeda dengan bakmi goreng di warung lainnya. Selain porsinya banyak, rasanya juga sangat pas di lidah. “Rasa bakmi gorengnya sangat lezat. Tidak terlalu manis juga tak terlalu asin. Apalagi harganya sesuai dengan kantong mahasiswa seperti saya,” ucapnya saat jajan di warung tersebut.
Perjuangan Pardi membuka usaha tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tahun 60-an Pardi yang masih berusia 13 tahun, menyusul ayahnya yang juga berjualan bakmi di Semarang. Maka lelaki yang tidak lulus SD tersebut, ikut memanggul rombong yang berisi bakmi bersama ayahnya.
“Waktu itu saya ikut Bapak jualan bakmi Jawa dengan cara dipikul keliling di Simpang Lima sampai Jalan Anggrek,”kenangnya. Saat berjualan dengan sang ayah inilah, dirinya mengenal cara meracik bumbu hingga memasak. Dari semula hanya membantu memikul, Pardi akhirnya mahir memasak.
“Bumbunya itu cuma bawang dicampur miri, tidak ada yang rahasia. Yang membedakan hanya cara meraciknya bisa nggak kita mengepaskan antara bumbu dengan bahan lainnya,”katanya menjelaskan resep bakminya.
Karena sudah piawai meracik bakmi, tahun 1972, Pardi memutuskan berjualan sendiri memakai gerobak dorong. “Waktu saya berjualan sendiri, keliling di seputar Jalan Anggrek di dekat RS Telogorejo,”tambahnya.
Tahun 1988 dirinya pindah ke Jalan Keruing Banyumanik dan berjualan menetap. Kemudian tahun 1999, pindah tempat lagi di Perumda di Tembalang. Di sebuah rumah rusak, Pardi membuka warung baru dan bertahan hingga lima tahun. “Sebenarnya ya masih lama di sana, namun karena rumahnya mau direnovasi akhirnya saya pindah ke Totem sini,”katanya
Sumber: http://kulinerkhassemarang.wordpress.com
sy dulu pas kuliah sering ke totem
BalasHapusmenginspirasi bacaanya kak
BalasHapuskursus android jogja