Hipokrasi Amerika Serikat
Oleh : Farid Wadjdi
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) kembali meliris laporan
tahunannya tentang kebebasan beragama di seluruh dunia pada Selasa (13/9
2011). Laporan tahunan diperlukan berdasarkan peraturan 1998 Kongres
AS. Berdasarkan aturan ini, negara-negara yang melanggar kebebasan
beragama dapat dikenai sanksi oleh AS.
Penganiayaan terkait
agama di beberapa negara disebut memburuk. Berkaitan dengan Indonesia,
dinyatakan selama 2010 terdapat 50 serangan terhadap Ahmadiyah dan 75
serangan terhadap umat Kristen.
Laporan tersebut juga mengecam
Pakistan karena telah gagal mereformasi undang-undang tentang
penghujatan yang digunakan untuk menganiaya umat dari agama minoritas
dan dalam sejumlah kasus juga menyiksa kaum Muslim yang mempromosikan
toleransi.
Catatan penting kita tentang laporan ini adalah,
bahwa AS sesungguhnya telah kehilangan otoritas bahkan sekadar otoritas
moral untuk menyoroti palaksanaan HAM di negara-negara lain. Di AS
sendiri pelecehan berkaitan dengan agama meningkat, tetapi luput dibahas
dalam laporan. Belum lagi meningkatnya gejala Islamophobia terutama
pasca Serangan 911, yang tentu saja merupakan pelanggaran HAM. Jangan
lupakan pula rencana pembangunan masjid yang ditolak karena diklaim
masih berada di Ground Zero. Belum lagi provokasi murahan yang penuh
kebencian terhadap al-Quran oleh pendeta Terry Jones hingga pembakaran
al-Quran oleh pengikutnya. Tidak ada sanksi yang tegas dari pemerintah
Amerika dengan alasan itu kebebasan berekspersi. Kita juga tentu
mempertanyakan sikap diamnya AS terhadap larangan pemakaian pakaian
Muslim di beberapa negara Eropa seperti Prancis dan Belanda, larangan
shalat berjamaah di tempat umum di Prancis, termasuk sikap anti Islam
kelompok ultranasionalis Eropa yang terus meningkat.
AS tentu
makin kehilangan muka bahkan tampak hipokrit dalam masalah penegakan HAM
saat mereka membunuh lebih dari satu juta orang di Irak serta ribuan
orang di Pakistan dan Afganistan atas nama perang melawan terorisme dan
menegakkan negara demokrasi. Lebih buruk mana pelanggaran
kemanusiaannya, pelarangan pendirikan rumah ibadah atau pembunuhan
massal yang dilakukan negara-negara imperialis dunia?
Sikap AS
dalam kaitannya dengan Zionis Yahudi juga patut digugat. Laporan itu
mengkritik Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dengan tudingan terus
mengkampanyekan anti-Semit yang mempertanyakan kebenaran pembantaian
Nazi terhadap orang-orang Yahudi pada saat Perang Dunia II. AS juga
mengkritik buka-buku teks dan referensi di Saudi disebut-sebut bersifat
negatif dan stereotif terhadap Kristen dan Yahudi. Sebaliknya,
pemerintah Paman Sam ini menutup mata terhadap sikap keji zionis Yahudi
terhadap kaum Muslim di Palestina. Bahkan saat Gaza dibombardir oleh
Zionis Yahudi yang hanya dalam beberapa hari telah membunuh lebih dari
1500 orang rakyat sipil Palestina, 400 di antaranya adalah anak-anak,
negara imperialis ini diam seribu bahasa. Bahkan AS menganggap apa yang
dilakukan zionis-yahudi ini adalah legal untuk mempertahankan diri.
Dimana logikanya penjajah yang menduduki negara lain dikatakan melakukan
serangan untuk membela diri?
Sikap hipokrit negara ini (juga
negara-negara Barat lainnya) semakin tampak melihat dukungan mereka
terhadap rezim-rezim brutal, diktator dan represif di Dunia Islam selama
ini. Untuk kepentingan minyak, melindungi Israel dan memberangus
gerakan Islam, rezim-rezim brutal seperti Husni Mubarak, Assad,
raja-raja Arab, termasuk Moammar Gaddafi dipelihara oleh AS. Dalam kasus
Libya, agen rahasia Badan Pusat Intelijen AS dan Barat, termasuk M16
Inggris, memiliki kedekatan emosional dan bersahabat karib dengan agen
intelijen rezim Libya, Moammar Gaddafy. Mereka bekerjasama dalam banyak
hal, termasuk penangkapan dan pengiriman pihak-pihak yang dituduh
sebagai teroris. Ini tentu memalukan saat Barat sekarang berbalik arah
seakan mendukung rakyat dan berbicara tentang HAM dan demokrasi di Libya
yang baru. Padahal mereka justru selama ini telah berkerjasama dengan
para rezim brutal itu yang bersikap keji terhadap rakyat mereka sendiri.
Laporan ini juga tampak bias, tidak utuh dan tidak
komprehensif dengan menutupi banyak fakta-fakta penting lainnya. Dalam
kasus Indonesia, misalnya, dilaporkan tentang serangan terhadap
Ahmadiyah dan pihak Kristen tanpa dijelaskan latar belakang dan
faktor-faktor lain yang menyebabkan penyerangan itu. Dalam banyak kasus
serangan terjadi tidak bisa dilepaskan dari arogansi, provokasi dan
tindakan melanggar hukum yang dilakukan pihak Ahmadiyah dan pihak
Kristen. Sikap Pemerintah yang tidak tegas juga merupakan pemicu.
Adapun penolakan kaum Muslim terhadap pembangunan rumah ibadah agama
lain bukan berarti menolak kebolehan beribadah bagi agama lain. Hal ini
adalah dua hal yang berbeda. Buktinya di Indonesia berdiri banyak
gereja; di kota-kota besar, di pinggir-pinggir jalan juga terdapat
gereja-gereja megah yang sudah ada sejak zaman Belanda. Umat Islam tidak
mempersoalkannya. Yang dipersoalkan umat Islam adalah pendirian
bangunan gereja yang ilegal, tidak sesuai aturan, dan yang melakukan
gerakan-gerakan misionaris atau pemurtadan.
Dalam kasus
rencana pembangunan Gereja Yasmin di Bogor, misalkan, terbukti pihak
gereja menghalalkan segala cara termasuk dengan cara-cara penipuan
(pemalsuan tandatangan warga). Hal-hal seperti ini tidak diungkap.
Adanya aksi kristenisasi yang agresif di Indonesia yang berujung pada
reaksi umat Islam juga tidak diungkap. Untuk kasus Bekasi, ICG Indonesia
(13/01/2011) membeberkan fakta bahwa di pihak Kristen terdapat beberapa
organisasi penginjil yang berkomitmen untuk mengkristenkan Muslim juga
ada di Bekasi, beberapa didanai dari luar negeri, yang lain murni lokal.
Benarkah di Indonesia tidak ada kebebasan beragama? Benarkah
di Indonesia pembangunan gereja terhambat? Menurut Kepala Badan Litbang
Departemen Agama, Atho Mudzhar pertumbuhan tempat ibadah yang terjadi
sejak 1977 hingga 2004 justru meningkat. Pertumbuhan rumah ibadah
Kristen justru lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat
Islam, pada periode itu meningkat 64,22 persen, Kristen Protestan
131,38 persen, Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen (Republika,
18 Februari 2006).
Laporan Majalah Time juga berbicara lain. Dalam tulisan yang berjudul “Christianity’s Surge in Indonesia” (http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,1982223,00.html) majalah itu menunjukkan gelora peribadahan pemeluk Kristen di Indonesia.
Walhasil, hasil laporan-laporan HAM seperti ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan penjajahan Amerika Serikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar