Oleh: Herbert Feith Dan Lance Castles
Alih bahasa: Morgen Indra Margono
Sekira 90% penduduk Indonesia adalah muslim. Sejumlah perjuangan melawan belanda pada masa penjajahan dahulu dilakukan atas nama bendera Islam. Dan di abad 20 pun organisasi yang yang pertamakali didirikan adalah Sarikat Islam di tahun 1912.
Bagaimanapun terseretnya Islam dalam kancah politik dalam memerdekan Indonesia sebenarnya bersifat regional ketimbang nasional. Partai-partai Islam telah berhasil menembus kalangan pedagang , buruh, pekerja di berbagai wilayah ortodok –Jawa barat, madura dan sejumlah area di luar pulau – nambun banyak dari mereka yang berasal dari kaum aristokrat dan juga kaum terpelajar dari hampir semua kelompok etnis, lebih memilih ideologi sosialis atau nasionalis.
Belum lagi Islam membangun kesatuan dalam sebuah organisasi, setelah menurunnya pergerakan politik Sarikat Islam di tahun 1920-an ada dua kelompok besar yang berkompetisi secara jelas untuk meraih simpati umat Islam. Muhamadiyah didirikan 1912 yang menekankan pada pembaharuan dan juga pemurnian Islam, berada dalam advokasi Muhamad Abduh dan juga pengikutnya di mesir. Organisasi ini berada di komunitas urban yang terpelajar. Nahdatul Ulama, berdiri di tahun 1926 oleh sekelompok pengajar dan ulama konservatif, yang berasal dari sekolah muslim di Jawa Tengah dan Jawa Timur, membawa misi mempertahankan Islam dalam bentuk yang tradisional dengan maksud menjadi counter bagi apa yang disuarakan oleh muhamadiyah. Ada juga organisasi Islam reformis lainnya, seperti persis yang militan di bandung dipimpin oleh A.Hassan, dan juga organisasi yang lain seperti Perti dan Al Wasjlijah di Sumatera. Di bidang politik ada juga PSII dan juga sejumlah organisasi kecil lainnya yang merupakan sempalan dari sejumlah organisasi tadi. Namun konflik yang paling menonjol selau saja antara Muhamadiyah dan juga Nahdatul Ulama.
Sebenarnya rivalitas kedua kubu sempat melebur ketika invasi jepang masuk ke pulau Jawa. Dan di bawah mediasi Jepang ke dua kelompok tadi, juga sejumlah organisasi kecil dilebur menjadi satu dengan nama baru Masyumi . Di tahun 1945 Masyumi mengalami reorganisasi dan selanjutnya menjadi salah satu partai yang kuat dalam sejarah politik Indonesia. Pada masa ini pengaruh masyumi dari sumatera utara merefleksikan politik Islam dalam partisipasinya dalam perubahan revolusioner.
Namun ketika Indonesia diproklamirkan tahun 1945, Pancasila lah yang dijadikan ideologi negara dan bukan Islam. Dan setelah itu paling tidak sampai tahun 1959, cita cita meproklamirkan negara Islam menjadi tujuan utama dari kelompok kelompok Islam. Meskipun faksi faksi mereka juga ada yang tidak setuju menggunakan istilah negara Islam. Hanya segelintir faksi saja yang tetap ingin mendirikan negara Islam dengan cara melakukan pemberontakan atas nama cita cita . Yang pertama melakukan pemberontakan adalah Darul Islam yang bergerak di Jawa barat dipimpin oleh mantan pemimpin PSII, SM Kartosuwiryo. Tahun 1953 Teungku Muhamad Daud Beureueh, pimpinan Muslim di daerah Aceh, di wilayah Utara Sumatera.
Sejumlah kelompok muslim kemudian melanjutkan cita cita mereka mendirikan negara Islam berlanjut melalui cara yang konstitusional, dengan harapan adanya partai Islam yang memenangkan pemilu. Namun perjuangan mereka gagal. Kemudian tahun 1949 ketika Masyumi dipegang oleh pimpinan mereka di sumatera, Mohamad natsir, mereka tidak didukung oleh NU yang memisahkan diri untuk kemudian mendirikan partai NU sendiri. Hasilnya di pemilu tahun 1955 membuat suara muslim terpecah. Masyumi yang tadinya berfikir akan dapat mendapat suara mayoritas, ternyata hanya mendapat 1/5 suara saja dari keseluruhan. Hasil ini lebih kecil dari perolehan PNI. NU mendapat 18 persen suara, namun bila disbanding dengan keselurahn partai partai yang ada saat itu, partai Islam hanya memperoleh suara yang sangat kecil.
Meskipun ada kesamaan antara kedua partai besar tersebut, ada perbedaan besar antara Masyumi dan NU. Sejak trahun 1952 kedua partai tersebut memegang peranan yang berbeda. NU pada umumnya bekerja sama dengan elemen elemen nasionalis radikal, sehingga mereka bisa eksis dalam pemerintahan di tahun 1953. Masyumi terus mencoba untuk menjatuhkan bung Karno. Namun karena terdiskreditkan dengan cara melakukan pemberontakan di tahun 1958, akhirnya partai ini terpaksa dicekal untuk kemudian tidak bisa beraktifitas lagi.
Sebagai ideology yang ditujukan untuk membangun hubungan politik yang kontemporer, Islam Indonesia telah didominasi oleh ide dari para reformis dan kaum ini telah dipengaruhi oleh pemikiran pendahulunya yaitu, Mohamad Natsir. Dengan latar belakang ideology A. Hassan dan juga dipengaruhi oleh pandangan liberal barat dan pemikiran sosialis, Natsir muncul dengan karakter sebagai orang yang selalu berfikir maju, stabil, dan toleran. Peran ekstrem dalam ideologi politiknya sangat berpengaruh dalam demokrasi parlementer, suatu serangan pada sekularisme pada tradisi Hassan.
Di dalam fokusnya pada pengembangan stabilitas ekonomi, para reformis sekitar Natsir selalu berdiri dekat dengan para demokratis sosialis. Fokus yang dikemukakan di sini tidak hanya oleh Natsir tetapi juga oleh Syarudin Prawiranegara, pemimpin tertinggi Masyumi di bidang ekonomi.
Nahdatul Ulama meskipun kepentinganya sangat utama sebagai Partai Politik yang utama sangatlah sedikit direpresentasikan di sini. Hal ini terjadi karena para pemimpinnya belum memperlihatkan ideologi politik yang jelas. Statemen yang dinyatakan oleh NU mengenai tujuan perjuangan mereka biasanya mereka tradisional dan juga terpelajar dan hampir tidak berhubungan dengan strategi politik mereka. Di lain waktu mereka menunjukan keberpihakannya pada posisi yang diformulasikan oleh kaum reformis. Kemudian kebijakannya bekerjasama dengan golongan kiri, sejatinya tidak terutkur dari pertimbangan ideologis. Faktanya kebijakan bekerjasama dengan partai tengah, pemimpin local dan partai kiri sebenarnya hanya sebagai satu sifat oportunistik saja.
Anti komunisme selalu menjadi kepentingan utama politik Islam di Indonesia. Meskipun kdangakal hal ini juga tidak diekspresikan secara langsung. Ekpresi-ekspresi kekerasan tentang hal ini bukanlah suatu yang tidak lazim di Indonesia.
Pejuang Islam lainnya adalah RAA Wiranata Kusuma, orang sunda yang aristokrat tanpa ikatan yang kuat dengan oraganisasi Islam. Pola perjuangan individual seperti yang ditunjukan RAA Wiranata Kusuma mengekpresikan model perjuangan yang ditunjukan seorang muslim Indonesia, yang memiliki perbedan pandangan politik termasuk diantara dengan partai sekular. Ini menunjukan pula perbedaan bagaimana cara pandang yang moderat dengan yang saklek seperti Mohamad Natsir.
Sumber: bloglitafm.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar