Pileg dan pilpres sudah kita laksanakan. Meski masih menyimpan seambrek permasalahan, mulai dari DPT, kecurangan dan lain sebagainya. Tapi yang namanya demokrasi, tidak serta merta memperbaiki taraf hidup rakyat. Kesenjangan sosial masih tampak di depan mata. Yang miskin masih tetap saja miskin, sementara yang kaya masih bisa berfoya-foya.
Memang sudah menjadi hukum alam, bahwa di dunia ini selalu ada dua hal yang berbeda. Ada perempuan ada laki-laki, ada baik ada buruk, demikian juga ada miskin ada kaya. Ungkapan di atas sudah sering kita dengarkan, dan tak bisa dielak itu merupakan kenyataan hidup, dan sampai kapanpun akan tetap demikian.
Di Indonesia angka kemiskinan tidak kunjung menurun, bahkan cenderung meningkat. Apa lagi dengan dipicu adanya pengangguran dan PHK. Banyak rakyat hidup dibawah garis kemiskinan. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jangankan kebutuhan sekunder, kebutuhan primer untuk sekedar makan kenyang saja sudah tidak bisa terpenuhi. Banyak orang tua mengelus dada meratapi nasibnya, banyak anak-anak putus sekolah lalu-lalang dijalanan meminta-minta. Banyak pula wanita-wanita putus asa menjajakan cinta. Astahgfirlah hal’adim… kenapa Indonesia yang merupakan negara besar bisa seperti ini.
Memang, garis nasib seseorang ditentukan oleh Tuhan yang maha kuasa, tapi Tuhan tak akan merubah nasib kita jika kita tak mau berusaha. Lalu siapa yang paling bertanggung jawab atas kemiskinan di Indonesia? Jawabnya tentu pemerintah. Dalam UUD 1945 pasal 34 disebutkan “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal ini tampaknya masih menjadi slogan belaka, dan masih jauh dari realita.
Pemerintah sampai saat ini masih belum maksimal, bahkan terkesan hanya sekedar basa-basi dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Pihak kejaksaan yang diharapkan bisa menjadi senopati nya rakyat dalam memberantas korupsi yang merupakan salah satu penyebab kemiskinan juga masih ada yang justru bekerja sama dengan koruptor. Para politisi yang duduk di DPR juga masih berasik ria mengurusi masalah-masalah yang tidak terlalu urgen untuk masalah rakyat kecil. Ujung-ujungnya tetap untuk kepentingan pribadi dan untuk mempertahankan posisi masing-masing, juga untuk kepentingan kelompoknya.
Memang terkadang saya berfikir, Indonesia yang sudah mengalami beberapa dekade, mulai jaman penjajah, jaman kemerdekaan, jaman orde lama, orde baru sampai jaman reformasi saat ini. Tapi yang namanya kemiskinan tetap juga menjadi persoalan yang amat pelik dan sulit untuk diatasi. Bahkan sebagian rakyat masih merasa nyaman dan tentram saat masa orde baru dari pada saat ini.
Beberapa hari yang lalu saya mendengar obrolan beberapa orang yang lagi cangkruk di warung kopi. Salah satu dari mereka sebut saja si Badrun mengatakan ” Lha… yo to kang… kata orang saat ini jaman reformasi tapi kok masih banyak pejabat yang melakukan korupsi ya kang“…. Si Dono dengan nada sedikit emosi menyahut “iya kang jaman sekarang ini bukan jaman reformasi, tetapi jaman repotnasi (susah cari makan). Lha piye to kang…golek sandang pangan angel, barang kebutuhan larang ( lha gimana mas cari sandang pangan sulit, barang kebutuhan mahal)”.
Seorang perempuan penjual sayur yang juga ikut cangkrukan tidak kalah sengit mengatakan “betul kata Rhoma Irama ya kang…yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin…tapi kalau sekarang yang kaya juga kebagian susah lho kang…. Lha bagaimana tidak, orang kaya sekarang tidak berani nginap di hotel karena takut bom..” Si Bokir yang tampaknya sangat pro reformasi menyahut ” begini lho yang benar…negara kita saat ini memang lagi susah, siapapun pemimpinnya ya tetap seperti ini. Ini semua kan warisan jaman orde baru to kang… Kalau di jaman itu pemimpin kita jujur pasti kita tidak seperti sekarang ini”.
Mendengar debat kusir tersebut si Jono yang tadinya diam ngantuk saja menengahi. ” ooalah kang… kang… kita ini kan orang kecil, mana mungkin suara kita ini didengar… ya sebaiknya kita tidak usah berdebat dengan teman sendiri. Kalau anggota dewan debat nya kan ngrebut daging tanpo balung (berebut daging tanpa tulang). Kalau kita ya ngrebut balung tanpo sunsum (berebut tulang tanpa sunsum)”. Betul tidak? Mendengar komentar si Jono ini semua akhirnya pada diam.
Meski obrolan tersebut di atas hanyalah obrolan orang-orang kampung yang tidak banyak mengerti apa itu politik, akan tetapi keluh kesah orang kecil tersebut mestinya bisa menjadikan koreksi sekaligus introspeksi bagi pemerintah. Para pejabat dan politisi tentu masih ingat, saat kampanye. Mereka selalu menggembar-gemborkan janji tentang keperpihakkannya kepada rakyat kecil, pemberantasan kemiskinan, ketersediaan lapangan kerja, pendidikan gratis, dan seambrek janji yang mungkin dia sendiri memang benar-benar lupa dengan janji yang pernah diucapkan.
Lalu apa solusi yang tepat untuk memberantas kemiskinan? Langkah awal yang mutlak harus dilakukan adalah berantas korupsi!!!. Sebab korupsi tidak saja merugikan negara secara materi, tetapi yang terpenting adalah bahwa mental koruptor tidak akan pernah bisa mengentaskan rakyat Indonesia dari kemiskinan. Mereka selalu mementingkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan rakyat. Indonesia adalah negara besar, kita punya tambang emas, minyak, batubara dan kekayaan alam lainnya yang bisa kita manfaatkan untuk kepentingan rakyat. Jika ini semua bisa dikelola oleh pemerintahan yang bersih dan jujur, maka tak akan sulit bagi kita untuk keluar dari keterpurukan. Mudah-mudahan ini segera bisa terwujut.
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar