Kata natal berasal dari bahasa Latin yang berarti upacara yang dilakukan oleh orang Kristen untuk memperingati hari kelahiran Isa al Masih—yang mereka sebut sebagai Tuhan Yesus. Meskipun dalam kenyataannya, perayaan tersebut dirayakan dengan sangat meriah, karena selain didengung-dengungkan oleh pemeluk Kristen sendiri, kalangan eksternal Kristen pun termasuk di antaranya umat Islam–turut memeriahkannya, namun secara nilai mengundang pertanyaan besar. Sebab penetapan kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember, sama sekali tidak didukung oleh data yang otentik. Injil sendiri sebagai kitab suci pemeluk agama Kristen sama sekali tidak bisa membuktikannya. Peringatan Natal baru tercetus antara tahun 325—354 oleh Paus Liberius, yang ditetapkan tanggal 25 Desember, yang sekaligus menjadi momentum penyembahan Dewa Matahari. Menurut Injil Lukas 2: 1-8, Yesus lahir pada masa kekuasaan Kaisar Agustus yang saat itu sedang melaksanakan sensus penduduk (7M = 579 Romawi). Yusuf tunangan Maria ibu Yesus berasal dari Bethlehem, maka mereka bertiga ke sana, dan lahirlah Yesus Bethlehem, anak sulung Maria. Maria membungkusnya dengan kain lampin dan membaringkannya dalam palungan (tempat makanan sapi, domba yang terbuat dari kayu). Peristiwa itu terjadi pada malam hari di mana gembala sedang menjaga kawanan ternak mereka di padang rumput. Adapun menurut Injil Matius 2: 1, 10, 1, Yesus lahir dalam masa pemerintahan Raja Herodus yang disebut Herodus Agung yang memerintah tahun 37 SM—4 M (749 Romawi), ditandai dengan bintang-bintang yang terlihat oleh orang-orang Majusi dari Timur. Cukup jelas pertentangan antara kedua Injil tersebut dalam menjelaskan kelahiran Yesus. Namun begitu, keduanya menolak kelahiran Yesus tanggal 25 Desember. Penggambaran kelahiran yang ditandai dengan bintang-bintang di langit dan gembala yang sedang menjaga kawanan domba yang dilepas bebas di padang rumput beratapkan langit dengan bintang-bintangnya yang gemerlapan, menunjukkan kondisi musim panas sehingga gembala berdiam di padang rumput dengan domba-domba mereka pada malam hari untuk menghindari sengatan matahari. Sangat tidak mungkin ini terjadi pada bulan Desember, sebab jelas 25 Desember adalah musim dingin. Sedangkan suhu udara di kawasan Palestina pada bulan Desember itu sangat rendah sehingga salju merupakan hal yang tidak mustahil. Kelahiran Nabi Isa Alaihissalam/Yesus Menurut Al Qur'an Menurut Al Qur'an surah Maryam: 23-25, Nabi Isa dilahirkan pada musim panas, di saat pohon-pohon kurma berbuah dengan lebatnya. Untuk itu perlu kita cermati pendapat sarjana Kristen DR. Arthus S. Peak, dalam Commentary on the Bible, "Yesus lahir dalam bulan Elul (nama bulan Yahudi), bersamaan dengan bulan Agustus-Sepember." Sementara itu, Uskup Barns dalam Rise of Christianity berpendapat sebagai berikut, "Kepercayaan bahwa 25 Desember adalah hari lahir Yesus yang pasti, tidak ada buktinya. Kalau kita percaya cerita Lukas tentang hari lahir itu, di mana gembala-gembala waktu malam menjaga di padang dekat Bethlehem, maka hari lahir Yesus tentu tidak di musim dingin di saat suhu di negeri pegunungan Yudea amat rendah sekali, sehingga salju merupakan hal yang tidak mustahil. Setelah terjadi banyak perbantahan, tampaknya hari lahir tersebut diterima penetapannya kira-kira tahun 300 Masehi." Tahun Berapa Yesus Lahir? Umat Kristen beranggapan bahwa Yesus dilahirkan pada tahun I M, karena penanggalan Masehi yang dirancang oleh Dionysius justru dibuat dan disesuaikan dengan tahun kelahiran Yesus. Namun Injil Lukas 2: 1 menyatakan bahwa Yesus lahir dalam masa pemerintahan Kaisar Agustus, jadi antara tahun 27 SM—14 M. Sedangkan Matius 2: 1 menyatakan bahwa Yesus lahir dalam masa pemerintahan Raja Herodes Agung, tahun 37 SM—4 M. Ternyata antara pemahaman yang beredar di kalangan umat Kristen tentang kelahiran Yesus dengan berita yang disampaikan oleh Injil Lukas maupun Matius, tidaklah menunjukkan suatu kepastian sehingga ilmuwan-ilmuwan mereka pun berbeda pendapat dalam menetapkan tahun kelahiran Yesus. Antara lain disebutkan oleh Rev. Dr. Charles Franciss Petter, M.A., B.D., S.T.M. yang berjudul The Lost Years of Jesus Revealed, hal. 119, "Pada abad ke-19 setelah terbukti dan akhirnya diakui bahwa Herodes telah mati 4 tahun sebelum Masehi dan setelah ditetapkan, bahwa menurut cerita Matius (2: 16) Raja Herodes memerintahkan pembunuhan anak-anak umur di bawah 2 tahun untuk membinasakan Yesus yang masih bayi yang katanya bakal jadi raja orang-orang Yahudi, maka jelaslah tanggal lahir Yesus harus digeser ke belakang, paling sedikit 4 tahun sebelum Masehi. Masa kini, para sarjana lebih condong menggeserkan tanggal lahir Yesus 5 sampai 6 tahun ke belakang tahun Masehi. Kesulitan menentukan tanggal kelahiran Yesus, kehidupannya, dan kematiannya, terpaksa dimunculkan kembali karena adanya keterangan-keterangan yang banyak terdapat dalam gulungan-gulungan Essene (yang terdapat di gua Qamran). Bahkan soal-soal yang berhubungan dengan ketuhanannya juga harus dimunculkan kembali." Asal-usul Perayaan Natal 25 Desember Perintah untuk merayakan peringatan Natal tidak ada dalam Injil, dan Yesus tidak pernah memberikan contoh atau pun memerintahkan pada muridnya untuk menyelenggarakan peringatan kelahirannya. Perayaan Natal baru masuk dalam ajaran Kristen Katolik pada abad ke-4 M. Dan peringatan ini pun berasal dari upacara adat masyarakat penyembah berhala. Di mana kita ketahui bahwa abad ke-1 sampai abad ke-4 M, dunia masih dikuasai oleh imperium Romawi yang paganis politheisme. Ketika Konstantin dan rakyat Romawi menjadi penganut agama Katolik, mereka tidak mampu meninggalkan adat/budaya pagannya, apalagi terhadap pesta rakyat untuk memperingati hari Sunday (sun = matahari; day = hari), yaitu hari kelahiran Dewa Matahari, tanggal 25 Desember. Maka supaya agama Katolik bisa diterima dalam kehidupan masyarakat Romawi, diadakanlah sinkretisme (perpaduan agama-budaya/penyembahan berhala), dengan cara menyatukan perayaan kelahiran Sun of God (Dewa Matahari) dengan kelahiran Son of God (Anak Tuhan = Yesus). Maka pada konsili tahun 325, konstanin memutuskan dan menetapkan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Juga diputuskan: Pertama; Hari Minggu (Sunday = hari matahari) dijadikan pengganti hari Sabat yang menurut hitungan jatuh pada hari Sabtu. Kedua; Lambang Dewa Matahari, yaitu sinar yang bersilang, dijadikan lambang Kristen. Ketiga; Membuat patung-patung Yesus untuk menggantikan patung Dewa Matahari. Sesudah Kaisar Konstantin memeluk agama Katolik pada abad ke-4 M, maka rakyat pun beramai-ramai ikut memeluk agama Katolik. Inilah prestasi gemilang hasil proses sinkretisme Kristen oleh Kaisar Konstantin dengan agama paganisme politheisme nenek moyang. Demikian asal-usul Christmas atau Natal yang dilestarikan oleh orang-orang Kristen di seluruh dunia sampai sekarang. Darimana kepercayaan paganis poplitheisme mendapat ajaran tentang Dewa Matahari yang diperingati tanggal 25 Desember? Mari kita telusuri melalui Injil maupun sejarah kepercayaan paganis yang dianut oleh bangsa Babilonia kuno di dalam kekuasaan Raja Nimrod (Namrud). H.W. Armstrong dalam bukunya The Plain Truth about Christmas, Worldwide Church of God, California USA, 1994, menjelaskan, “Nimrod cucu Ham, anak Nabi Nuh adalah pendiri sistem kehidupan masyarakat Babilonia kuno. Nama Nimrod dalam bahasa Hebrew (Ibrani) berasal dari kata “marad” yang artinya: “Dia membangkang atau murtad, antara lain disebabkan oleh keberaniannya mengawini ibu kandungnya sendiri bernama “Semiramis”. Namun usia Nimrod tidak sepanjang usia ibu sekaligus istrinya. Maka setelah Nimrod meninggal, Semiramis menyebarkan ajaran, bahwa roh Nimrod tetap hidup selamanya walaupun jasadnya telah mati. Maka dibuatlah olehnya perumpamaan pohon “Evergreen” yang tumbuh dari sebatang kayu mati. Maka untuk memperingati kelahirannya, dinyatakanlah bahwa Nimrod selalu hadir di Evergreen dan meninggalkan bingkisan yang digantungkan di ranting-ranting pohon itu. Sedangkan kelahiran Nimrod dinyatakan tanggal 25 Desember. Inilah asal-usul pohon Natal. Lebih lanjut, Semiramis dianggap sebagai “Ratu Langit” oleh rakyat Babilonia, kemudian Nimrod dipuja sebagai “Anak Suci dari Surga”. Putaran jaman menyatakan bahwa penyembah berhala versi Babilonia ini berubah menjadi “Mesia palsu” berupa dewa “Ba-al” anak Dewa Matahari dengan obyek penyembahan “Ibu dan Anak” (Semiramis dan Nimrod ) yang lahir kembali. Banyak dewa-dewa yang dimitoskan lahir pada tanggal 25 Desember, dilahirkan oleh gadis perawan (tanpa bapak), mengalami kematian (salib), dan dipercaya sebagai Juru Selamat (Penebus Dosa). Konsep bahwa Tuhan dilahirkan seorang perawan pada tanggal 25 Desember, disalib/dibunuh kemudian dibangkitkan, sudah ada sejak zaman purba. Konsep/dogma agama bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan bahwa Tuhan mempunyai tiga pribadi, dengan sangat mudahnya diterima oleh kalangan masyarakat Romawi, karena mereka telah memiliki konsep itu sebelumnya. Mereka tinggal mengubah nama-nama dewa menjadi Yesus. Maka dengan jujur Paulus mengakui, bahwa dogma-dogma tersebut adalah kebohongan yang sengaja dibuatnya. Kata paulus kepada jemaat di Roma, “Tetapi jika kebesaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliaannya,mengapa aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa?” (Roma 3:7). Menata Sikap Dengan menyadari segala kekeliruan dogma seperti yang telah dipaparkan di atas, maka keyakinan bahwa 25 Desember adalah hari lahir Tuhan Yesus, yang telah terbukti batal, tidak sah dijadikan propaganda toleransi. Artinya, toleransi menjadi salah, jika masuk pada wilayah membenarkan keyakinan agama lain. Maka aplikasi dari sikap ini adalah bahwa umat Islam sama sekali tidak berhak ikut, bahkan menyambut atau berpartisipasi terhadap perayaan Natal yang dibesar-besarkan gaungnya setiap Desember. (Al Fikrah) Referensi: Perayaan Natal 25 Desember, antara Dogma dan Toleransi, karya Hj. Irene Handono. Sumber: www.wahdah.or.id |
Sabtu, 08 Januari 2011
Yesus Dan Kontroversi Kelahirannya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar