Muslim dengan Muslim pun dibenturkan. Karena itu, waspadalah dengan skenario musuh Islam yang ingin memperlemah, mengobok-obok dan meluluhlantakkan Islam hingga akar-akarnya.
Oleh: Adhes Satria & Daniel Handoko
Perang yang sedang berlangsung saat ini adalah perang tanpa senjata. Tentu ibadah tertinggi adalah jihad qital. Tapi kondisi di Indonesia belum memungkinkan untuk diterapkan jihad Qital. Yang harus dilakukan adalah mengcounter pemikiran dengan pemikiran, teknologi dengan teknologi, ekonomi dengan ekonomi, gaya hidup dengan gaya hidup. Inilah manuver yang kita sebut perang tanpa senjata.
Menurut sosok generasi muda seperti Thufail Al Ghifari, cara yang paling efektif untuk menghancurkan Islam adalah dengan pemikiran. Musuh Islam tahu, bahwa kunci utama umat Islam adalah Al Qur’an. Karena itu, target mereka adalah mejauhkan umat Islam dari Al Qur’an. Bagi mereka, itu sudah cukup.
“Kita memang hidup di negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tapi yang mayoritas itu harus dipertanyakan lagi, berapa banyak umat Islam yang shalat lima waktu, berapa banyak yang bisa membaca Al Qur’an, kemudian yang paham dan mengamalkannya. Ternyata kalau dikerucutkan, umat Islam sendiri sangat jauh dari nilai-nilai Al Qur’an. Ironinya, kita malah terkecoh dengan pemikiran-pemikiran, syair-syair, lirik yang datang dari orientalis daripada ayat Al Qur’an,” tukas Thufail, aktivis Muslim dari kalangan underground.
Sumber kehancuran dari segala kehancuran di muka bumi, bermuara pada konspirasi Zionisme internasional. Zionis ada di mana-mana walaupun mereka berkedok komunis. Ada pula yang merasa bukan Zionis, tapi dia selalu menjalankan agenda Zionis.
“Tidak menutup kemungkinan, Islam pun disusupi Zionis. Karena Zionis itu tidak lagi memakai baju Zionis. Seorang Zionis tentu tidak akan mengaku dirinya Zionis. Sebab, dia tidak peduli dengan label. Nah, ketika Zionis tidak pake baju Zionis, otomatis dia bisa tampil dalam segala bentuk. Ketika komunitasnya mengenakan baju dayak, dia akan pake baju dayak. Jika komunitasnya berpakaian Jawa, dia akan pake baju jawa. Jadi apapun labelnya, seorang antek-antek Zionis selalu akan membawa kepentingannya,” ungkap Thufail yang juga bergabung dengan kelompok KaZI (Kajian Zionisme Internasional).
Bukan tidak mungkin, Zionis memakai tampilan Islam, seperti peci, berpakaian Muslim, tapi esensi yang mereka tanamkan adalah feminisme, sekularisme, pluralisme, liberalisme, menciptakan keraguan-keraguan, menalar Allah dengan logika, membuat haluan-haluan baru dalam Islam dengan berkedok moderat atau apapun namanya. Ujung-ujungnya adalah mereka ingin umat Islam terbiasa dengan kultur Yahudi dan Nasrani. “Walaupun kita mengaku Islam, tapi digiring untuk menjadi bagian dari millah mereka. Contoh, kita terbiasa mengikuti perayaan tahun baru masehi dengan kembang api, terompet, hura-hura, dan kemaksiatan lainnya,” jelas Thufail.
Banyak sudah negeri-negeri Muslim yang sudah dihancur-leburkan oleh kekuatan global bernama Barat. Mungkinkah Indonesia akan di Pakistan-kan? ”Untuk meramal tentu sulit, karena itu suatu hal yang ghaib. Tapi, jika melihat bukti-bukti yang riil, bisa kita rasakan, Islam dibenturkan dengan Islam. Karena itu, harus ada yang bisa mereduksi, agar ukhuwah Islamiyah tidak terganggu. Atas nama HAM, orang yang menista agama malah dibekingi, sedangkan orang yang minta ditegakkannya syariat malah dibilang teroris. Kalau umat Islam saling dibenturkan, bukan tidak mungkin, kondisi di Pakistan akan hadir juga. Tapi kita tahu kapan terjadi. Yang jelas, bibitnya sudah mulai terasa. Kita tak ingin, bangsa ini kehilangan identitasnya.”
Melawan Liberalisme
Sementara itu Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan, Indonesia di hancurkan melalui sistem yang jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Sistem yang seharusnya berpihak pada rakyat, tapi malah menyengsarakan dan menghancurkan pondasi negara. Semuanya sudah masuk dalam sektor kehidupan, entah itu masuk ke wilayah ekonomi, perdagangan, pendidikan, atau kesehatan. “Dalam segi kesehatan, saya sudah bersusah payah, tapi dirubah semuanya melalui sistem neo-liberalisme. Harus diwaspadai konspirasi dari sistem kenegaraan yang sudah terjadi lama sekali. Kita tahu, sistem Zionis yang digunakan merupakan gerakan yang terselubung.”
Hasil dari neoliberalisasi adalah kehancuran bagi yang lemah dan kemenangan bagi yang kuat. Kita dipaksa bersaing dengan negara yang sudah merdeka ratusan tahun, bersaing dengan negara yang selalu mengeruk kekayaan bangsa, dan pada awal 2010 nanti, akan masuk wilayah FTA (Free Trade Area). “Di era perdagangan bebas ini, jelas akan semakin melemahkan bangsa indonesia. Semua produk asing akan masuk dengan bebas. Apakah rakyat kita mau seperti itu?” kata Siti Fadilah kepada Sabili saat membuka acara diskusi Kajian Zionis Internasional di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta.
Lebih lanjut, Siti Fadilah mengatakan, banyak pejabat atau pembesar negara menandatangani kebijakan yang menguntungkan pihak asing, hampir 90% kekayaan alam sudah bukan milik kita, 90% bank yang ada juga bukan milik kita. Semuanya sudah dimiliki pihak asing. Sistem yang berjalan itulah yang menjadi gurita untuk menghancurkan Indonesia. Sementara, sistem neo-liberal yang sedang berjalan tidak bisa dirubah, padahal sebetulnya, kita bisa menolak atau tidak menggunakan sistem tersebut. Seperti Iran, Cina, yang tidak menggunakan sistem neo-liberal. Sistem ini tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia, kecuali jika sudah kuat dan terukur dalam segala bidang. “Gurita Zionis masuk ke dalam dunia kesehatan dan pendidikan karena dua hal ini. Mengingat, dua sektor ini merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat.”
Dalam dunia pendidikan, misalnya, ada pemberlakuan BHP (Badan Hukum Pendidikan) pada perguruan tinggi. Dengan diberlakukannya otonomi kampus, telah membuka pintu masuk bagi asing untuk memberikan sokongan dana, disadari atau tidak, dana itu sebagian berasal dari Zionis melalui tangan NGO atau negara asing. “Makna Zionis jangan dipersempit hanya simbol atau agama, tapi lebih luas dalam aspek kehidupan,” kata Siti Fadilah.
Sementara itu dikatakan Dr Nirwan Syafrin (Direktur Eksekutif INSISTS), upaya penghancuran Indonesia mengalami pola yang beragam. Musuh Islam sangat menyadari, jika perang fisik membutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit, pola yang gencar dilakukan adalah menyerang dalam ranah pemikiran. Keberadaan gerakan liberal menjadi bukti. Negara asing itu tak perlu turun langsung, tapi cukup menurunkan pion-pion mereka yang sudah dididik untuk berhadapan dengan kalangan konservatif.
Gerakan liberal tumbuh dengan subur di Indonesia karena counter dari kalangan ulama tidak keras. Berbeda dengan beberapa negara Islam, seperti Sudan, ulama mengcounter gerakan liberal sangat keras. Aneh, jika banyak kiai dan ulama di Indonesia malah disibukkan dengan aktifitas politik. “Sebuah report yang diterbitkan oleh Rand Corporation berjudul Building Muslim Network menyatakan, bahwa perang yang diterapkan dalam dunia Muslim adalah perang ide (Ghazwul Fikri). Upaya deIslamisasi terhadap generasi muda Muslim dengan menjauhkan budaya atau ajaran Islam, lambat laun membuat semangat jihad umat Islam luntur, bahkan tidak muncul lagi. Perang ide yang dikobarkan adalah melalui liberalisasi dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Sumber: www.sabili.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar