Oleh: Adhes Satria & Daniel Handoko
Sementara itu Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan, Indonesia di hancurkan melalui sistem yang jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Sistem yang seharusnya berpihak pada rakyat, tapi malah menyengsarakan dan menghancurkan pondasi negara. Semuanya sudah masuk dalam sektor kehidupan, entah itu masuk ke wilayah ekonomi, perdagangan, pendidikan, atau kesehatan. “Dalam segi kesehatan, saya sudah bersusah payah, tapi dirubah semuanya melalui sistem neo-liberalisme. Harus diwaspadai konspirasi dari sistem kenegaraan yang sudah terjadi lama sekali. Kita tahu, sistem Zionis yang digunakan merupakan gerakan yang terselubung.”
Melawan Liberalisme
Hasil dari neoliberalisasi adalah kehancuran bagi yang lemah dan kemenangan bagi yang kuat. Kita dipaksa bersaing dengan negara yang sudah merdeka ratusan tahun, bersaing dengan negara yang selalu mengeruk kekayaan bangsa, dan pada awal 2010 nanti, akan masuk wilayah FTA (Free Trade Area). “Di era perdagangan bebas ini, jelas akan semakin melemahkan bangsa indonesia. Semua produk asing akan masuk dengan bebas. Apakah rakyat kita mau seperti itu?” kata Siti Fadilah kepada Sabili saat membuka acara diskusi Kajian Zionis Internasional di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta.
Lebih lanjut, Siti Fadilah mengatakan, banyak pejabat atau pembesar negara menandatangani kebijakan yang menguntungkan pihak asing, hampir 90% kekayaan alam sudah bukan milik kita, 90% bank yang ada juga bukan milik kita. Semuanya sudah dimiliki pihak asing. Sistem yang berjalan itulah yang menjadi gurita untuk menghancurkan Indonesia. Sementara, sistem neo-liberal yang sedang berjalan tidak bisa dirubah, padahal sebetulnya, kita bisa menolak atau tidak menggunakan sistem tersebut. Seperti Iran, Cina, yang tidak menggunakan sistem neo-liberal. Sistem ini tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia, kecuali jika sudah kuat dan terukur dalam segala bidang. “Gurita Zionis masuk ke dalam dunia kesehatan dan pendidikan karena dua hal ini. Mengingat, dua sektor ini merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat.”
Dalam dunia pendidikan, misalnya, ada pemberlakuan BHP (Badan Hukum Pendidikan) pada perguruan tinggi. Dengan diberlakukannya otonomi kampus, telah membuka pintu masuk bagi asing untuk memberikan sokongan dana, disadari atau tidak, dana itu sebagian berasal dari Zionis melalui tangan NGO atau negara asing. “Makna Zionis jangan dipersempit hanya simbol atau agama, tapi lebih luas dalam aspek kehidupan,” kata Siti Fadilah.
Sementara itu dikatakan Dr Nirwan Syafrin (Direktur Eksekutif INSISTS), upaya penghancuran Indonesia mengalami pola yang beragam. Musuh Islam sangat menyadari, jika perang fisik membutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit, pola yang gencar dilakukan adalah menyerang dalam ranah pemikiran. Keberadaan gerakan liberal menjadi bukti. Negara asing itu tak perlu turun langsung, tapi cukup menurunkan pion-pion mereka yang sudah dididik untuk berhadapan dengan kalangan konservatif.
Gerakan liberal tumbuh dengan subur di Indonesia karena counter dari kalangan ulama tidak keras. Berbeda dengan beberapa negara Islam, seperti Sudan, ulama mengcounter gerakan liberal sangat keras. Aneh, jika banyak kiai dan ulama di Indonesia malah disibukkan dengan aktifitas politik. “Sebuah report yang diterbitkan oleh Rand Corporation berjudul Building Muslim Network menyatakan, bahwa perang yang diterapkan dalam dunia Muslim adalah perang ide (Ghazwul Fikri). Upaya deIslamisasi terhadap generasi muda Muslim dengan menjauhkan budaya atau ajaran Islam, lambat laun membuat semangat jihad umat Islam luntur, bahkan tidak muncul lagi. Perang ide yang dikobarkan adalah melalui liberalisasi dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Salah satu bentuk konkrit liberalisasi dalam pendidikan adalah dengan maraknya twining program, pertukaran mahasiswa dan beasiswa dari negara liberal. Beberapa kampus melakukan kerja sama dengan kampus asing seperti Mcgill atau temple university dengan fokus kajian pluralisme agama, atau kesetaraan gender. Bahkan ada yang melegalkan pernikahan antar agama.
Pola yang sedang dan sering dilakukan untuk meliberalkan Indonesia adalah dengan memberikan beasiswa sebanyak-banyaknya kepada generasi muda Muslim untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Mereka banyak ‘disuapi’ ide-ide pluralisme dan dijadikan corong di negerinya masing-masing. Orientalis Barat tidak perlu datang ke Indonesia, cukup mahasiswa Indonesia yang pernah kuliah di luar negeri sudah bisa dijadikan pion untuk mengasongkan dagangan sepilisnya (sekularisme, pluralisme dan liberalisme).
Dampak parah dari ide liberal, banyak kaum liberal yang menggugat otentisitas wahyu, bahkan ada yang buku yang diterbitkan oleh institusi agama Islam berjudul “Indahnya Nikah Sejenis” (kumpulan artikel Justucia Semarang), penulisnya justru dari seorang mahasiswa Islam. Orientalis sendiri tidak membuat artikel tersebut, tapi cukup dikaji oleh pion-pion mereka. Parahnya sebuah seminar dengan tajuk “Gay jadi, kawin juga boleh” diadakan oleh salah satu universitas Islam di yogja. Kesalahan terparah, banyak mahasiswa Islam mempertanyakan otensistas wahyu dan meruntuhkan sakralitas wahyu. Mereka juga banyak mensakralkan buku-buku dengan ide pluralisme dan meragukan Al-Qur’an.
Ketika kaum liberal mendekonstruksi kesucian Al Qur’an, maka yang terkandung dalam Al Qur’an akan memberikan kesimpulan, bahwa semua bukan kalam Tuhan. Sama persis apa yang mereka lakukan terhadap kristen. Otomatis hukum yang terkandung sudah tidak layak diterapkan dalam dunia modern, hukum yang pondasi dalam Islam dianggap tidak ada.
Dikatakan Nirwan, upaya melawan liberal adalah melalui pendidikan sebagai dasar generasi muda. Selain itu, harus dipersiapkan pula kurikulum yang tidak terkontaminasi arus liberal, termasuk dosen-dosennya. “Indoktrinasi liberal banyak terjadi dalam kampus-kampus, maka dosennya pun harus lebih selektif untuk meng-counter arus liberal, bahan penyeimbang ide liberal harus juga diberikan dalam dunia pendidikan,” tandasnya.
Lebih jauh, Nirwan menegaskan, partisipasi semua lembaga agama (Islam) harus dilibatkan, dukungan semua lini juga sangat dibutuhkan untuk menghadang liberalisasi, termasuk dukungan politik untuk membuat undang-undang dunia pendidikan. Ormas Islam punya peran besar untuk mempersiapkan kader intelektual dalam bidang agama agar tidak di “cuci otak” nya, jika belajar ke negeri Barat. Peran pemerintah dalam memberikan pelatihan terhadap guru, hendaknya tidak terjebak dengan isu multikulturalisme. Ingat, pertarungan tidak hanya wacana tapi sudah meningkat kepada tingkat aksi, ideologi dan seterusnya.
Tak dipungkiri, ghazwul fikri tumbuh subur di Indonesia. Mereka memodifikasi modus operandi untuk melemahkan semangat kaum Muslimin. Salah satunya dengan menyusupkan narkoba ke jantung basis umat Islam, menanam mental korupsi, membiarkan perzinahan, penyebaran penyakit dengan berbagai virus, memancing kemarahan umat Islam dengan karikatur, artikel yang melecehkan Nabi Muhammad Saw dan sebagainya.
Modus lama yang masih efektif adalah memberi banyak penghargaan terhadap tokoh-tokoh Muslim yang mendukung pluralisme, selularisme dan liberalisme. Zionis Israel, AS, Inggris, dan negara Barat lainnya memang paling royal dengan penghargaan ini. Karena dianggap oknum tokoh Islam yang gila dengan penghargaan, apalagi jika ditunjang dengan dollar.
Ketika semua persoalan itu tak bisa diantisipasi, pejabat Muslim tidak memiliki intergritas lagi. Jika trust jatuh pada titik nadir, yang berkembang adalah menciptakan devide et impera (politik adu domba) antar umat Islam sendiri, sebagaimana yang terjadi di negara Pakistan. Muslim dengan Muslim pun dibenturkan. Karena itu, waspadalah dengan skenario musuh Islam yang ingin memperlemah, mengobok-obok dan meluluhlantakkan Islam hingga akar-akarnya.
Sumber: www.sabili.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar