Jumat, 25 Februari 2011
Revolusi PSSI(1)
Logika Publik Vs Logika Nirwan dan Ical
Kekalahan Tim Nasional U-23 atas Turkmenistan, Rabu (23/2/2011) malam, menambah daftar panjang betapa tidak mudah untuk meningkatkan pretasi sepak bola Indonesia. Harapan yang dibebankan kepada pelatih Alfred Riedl -- setelah lumayan sukses membawa Timnas masuk final Piala AFF -- menjadi kempis kembali. Jika bermain di kandang saja kalah, bagaimana bila main tandang nanti.
Tapi dalam sepakbola Indonesia, prestasi Timnas bukanlah ukuran keberhasilan bagi para pengurus asiosiasi. Nurdin Halid yang telah dua periode memimpin PSSI tanpa prestasi apapun, tetap saja dijagokan untuk melanjutkan kekuasaan. Bersama Nirwan Bakrie, dia menjadi dua calon ketua umum baru yang akan dipilih oleh Kongres PSSI bulan depan.
Baik Nurdin maupun Nirwan adalah sosok lama yang bercokol di PSSI. Jika Nurdin sering tampil ke depan karena posisinya sebagai ketua umum, maka Nirwan berada di balik layar sepak terjang PSSI. Berbagai posisi pernah dipegang Nirwan selama Nurdin menjadi ketua umum. Namun sudah menjadi rahasia orang-orang PSSI, dalam banyak hal Nirwan lebih menentukan.
Bisa dimengerti, karena dari tangan Nirwan-lah, PSSI banyak ditopang pembiayaan. Sudah miliaran rupiah yang digelontorkan adik Aburizal Bakrie tersebut untuk membantu PSSI. Sebab, PSSI yang menggelar kompetisi hingar-bingar dalam delapan tahun terakhir, ternyata tidak mendapatkan pemasukan yang cukup untuk menutup semua program dan kegiatannya.
Peran penting Nirwan dan keluarga Bakrie itulah yang menyebabkan banyak spekulasi, bahwa sesungguhnya maju tidaknya Nurdin Halid menjadi calon ketua umum PSSI itu tergantung pada Nirwan. Jika Nirwan minta berhenti, Nurdin pasti menuruti. Sebaliknya, jika Nirwan menginginkan Nurdin tampil lagi, maka segala cara akan dilakukan Nurdin untuk mencapainya.
Tentu keinginan Nirwan tersebut juga termasuk keinginan Aburizal alias Ical. Sebab sumber dana yang digelontorkan ke PSSI oleh Nirwan tentu saja berasal dari keuntungan Grup Bakrie, di mana Ical punya peran penting. Selain itu, sebagai ketua umum Partai Golkar, Ical memiliki hubungan politik yang kuat dengan Nurdin, sebab Nurdin adalah anak buahnya di DPP Partai Golkar.
Jika memang benar demikian, pertanyaannya mengapa Nirwan dan Ical membiarkan, atau setidaknya tidak mencegah Nurdin tampil kembali memimpin PSSI? Apakah Nirwan dan Ical sudah menutup mata terhadap kenyataan bahwa Nurdin saat ini tidak disukai publik, tidak hanya terbatas pada komunitas sepak bola tetapi juga warga masyarakat lainnya?
Logika publik memang sering tidak sejalan dengan logika politik. Sebab banyak fakta yang tersembunyi di balik hubungan-hubungan politik, yang tidak diketahui publik. Logika publik menyatakan, oleh karena selama dua periode Nurdin memimpin PSSI, prestasi Timnas jeblok terus, maka jika Nirwan dan Ical terus mempertahankan Nurdin, maka hal ini tidak hanya berpengaruh buruk pada citra keluarga Bakrie dan Grup Bakrie, tetapi juga Partai Golkar.
Atau, logika publik menyatakan, bahwa mempertahankan Nurdin yang sempat jadi terpidana kasus korupsi, sama dengan mempertahankan koruptor. Padahal saat ini masyarakat sedang bersemangat memberatas korupsi. Bukankah hal ini sama dengan menempatkan keluarga Bakrie, Grup Bakrie dan Partai Golkar sebagai pelindung koruptor? Apakah Nirwan dan Ical tidak risau dengan pandangan demikian?
Sekali lagi logika publik itu belum tentu sejalan dengan pemikiran Nirwan dan Ical, sebab publik tidak banyak mengetahui hubungan-hubungan antara Nurdin dengan Nirwan dan Ical. Yang publik tahu adalah Nurdin gagal memimpin PSSI dalam dua periode, Nurdin adalah mantan terpidana kasus korupsi, dan Nurdin disebut-sebut menerima suap dari para pengurus PSSI daerah. Tapi Nirwan dan Ical berkeras mempertahankannya.
Didik Supriyanto
Sumber: www.detiknews.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar