Tak disangka dan tidak diduga, Amerika memiliki perang baru. Lawannya pun bukan Iran atau Korea Utara, dua negara yang selama ini mempunyai masalah dengan Amerika. Tetapi Libya, yang sampai satu bulan lalu tidak masuk dalam negara yang berkonflik dengan negara Paman Sam.
Perang saudara yang berkepanjangan di Libya membuat banyak korban jatuh di kalangan sipil. Tentara yang setia kepada Moammar Khadaffi setelah sempat terdesak kini membalikkan keadaan. Beberapa kota-kota strategis yang sempat direbut oleh tentara pemberontak kini mereka kuasai. Korban tentu saja berjatuhan baik di kalangan tentara, pendukung pemerintah dan pemberontak, dan tentu rakyat sipil. Suatu keadaan yang sangat memperihatinkan tentu saja. Dalam situasi perang tentu akal sehat sering kalah dengan emosi membuat rakyat sipil yang jadi korban.
Dalam kasus ini, pemerintah Inggris dan Perancis menuduh tentara Libya dalam memerangi tentara pemberontak tidak memperdulikan keselamatan rakyat sipil, pesawat-pesawat mereka sering membom sasaran-sasaran sipil, disengaja atau tidak disengaja. Karena itu kedua negara ini meminta agar pemerintah Libya memberlakukan kawasan bebas terbang. Kedua negara ini didukung oleh Amerika.
Tindakan militer PBB ini tidak membuat Khadaffi terlihat takut. Bahkan dia menyatakan kalau aksi militer ini adalah aksi illegal karena pihaknya hanya ingin memadamkan pemberontakan. PBB sudah melanggar prinsipnya sendiri untuk tidak ikut campur dalam masalah domestik suatu negara. Khadaffi juga mengingatkan negara-negara pelanggar kedaulatan Libya itu bahwa perang akan berlangsung lama. Pernyataan ini harus ditanggapi dengan serius karena keluar dari seorang pemimpin yang pernah menjadi symbol militansi dunia ketiga. Perang kecil bisa menjadi perang besar, perang sesungguhnya.
Di saat Amerika masih dipusingkan dengan urusan di Irak dan Afganistan mengapa negara ini mau melibatkan diri dalam perang kecil yang bisa berubah menjadi perang besar ini? Apa untungnya?
Di kalangan masyarakat Amerika sejak Obama menjadi presiden dalam urusan luar negeri cara negara mereka mengelola konflik dipercaya akan berbeda dengan cara sewaktu Bush masih jadi presiden. Presiden Obama dianggap akan mengedepankan dialog daripada aksi militer, lebih mengedepankan deskalasi masalah daripada eskalasi konflik. Contohnya dalam masalah Iran, yang di akhir era Bush ditangani dengan cara keras. Obama menanganinya dengan cara halus. Juga konflik dengan Korea Utara, walaupun Korea Utra beberapa kali memprovokasi pihak Korea Selatan dan Amerika, bahkan sampai menimbulkan korban di pihak Korsel, Amerika masih bertahan untuk tidak menyerang Korut.
Karena itu setiap kali membahas konflik dengan Iran atau Korut selalu orang Amerika akan berkata seperti ini, “coba kalau Bush masih presiden sudah berperang kita dengan Iran,” atau “untung presiden kita Obama jadi kita tidak pergi ke Korea Utara.” Dan terbukti, tidak ada perang dengan kedua negara itu.
Tidak masuk di akal orang Amerika saat ini bila negaranya memulai perang baru sekecil apapun bentuknya. Sudah ada dua perang yang memakan korban jiwa orang Amerika dan materi negara mereka. Bahkan rakyat Amerika sudah capek dengan kedua perang yang tidak berkesudahan itu. Masalah utama adalah masalah perekonomian, hutang luar negeri dan masa depan negara yang terlihat suram. Itulah concern orang Amerika, itulah juga mengapa Obama memenangkan pemilihan presiden mengalahakan lawannya dari pihak Republik. Senator John McCain yang dianggap sama dengan George Bush, suka perang, warmonger.
Tetapi kebaikan Obama tidak berlangsung lama. Hanya dalam satu bulan sejak krisis di Libya berubah menjadi perang saudara tiba-tiba Amerika memutuskan untuk membantu Perancis, penggagas utama utama wilayah bebas terbang, dan Inggris dalam masalah ini. Hanya dalam satu bulan, luar biasa.
Alasannya untuk melindungi rakyat Libya dari kekejaman penguasa. Banyak perang saudara di muka bumi ini, banyak rakyat yang ditindas oleh penguasa negara mereka, apakah Amerika akan mencampuri urusan mereka semua? Tentu tidak.
Libya juga tidak mengancam keamanan negara dan bangsa Amerika. Hubungan kedua negara belakangan menjadi baik dan akrab setelah puluhan tahun Libya menjadi pihak oposisi utama dalam menentang pengaruh Amerika di dunia. Bahkan menurut Moammar Khadaffi pihak pemberontak itu didukung oleh Al-Qaeda yang juga merupakan musuh utama Amerika. Bukannya mendukung pihak yang memusuhi musuhnya, Amerika malah memusuhi musuhnya musuh… bingung khan kalimat saya…hehehe…
Lalu soal ekonomi dalam hal ini minyak. Setiap kali Amerika menyerang negara yang juga negara eksportir minyak dunia selalu disebut kalau Amerika hanya ingin mengamankan suplai minyak ke negaranya. Dalam hal ini tidak benar sama sekali. Libya tidak termasuk dalam daftar 15 negara utama eksportir minyak ke Amerika. Di dunia internasional pun Libya hanyalah negara pengekspor minyak nomer 12 itu pun jumlahnya hanya 1,525% dari total minyak dunia. Sangat tidak signifikan. Harga minyak yang naik belakangan ini sering dikaitkan dengan perang saudara di Libya dimana lokasinya di kota-kota penghasil minyak. Tetapi kalau melihat persentase minyak yang didapat dari Libya sekecil itu jelas tidak ada hubungannya dengan naiknya harga minyak dunia. Apalagi hubungannya dengan keamanan suplai minyak ke Amerika.
Inggris sebagai sahabat setia Amerika membantu dalam Perang Irak sampai rakyatnya merasa berkeberatan. Perdana menteri saat itu Tony Blair kehilangan kepercayaan dari rakyat dan parlemen. Blair akhirnya mengundurkan diri di tahun 2007. Di tahun 2009 Inggris menarik pasukannya dari Irak. Sama seperti rakyat Perancis, rakyat Inggris memandang rendah Amerika karena Perang Irak. Tapi saat ini negara mereka melakukan hal yang sama, menyerang negara lain. Hipokrit? Tunggu saja reaksi mereka, setuju atau tidak setuju dengan aksi militer negara mereka ini.
Apa motivasi Perancis untuk mencampuri urusan dalam negeri Libya masih belum diketahui. Alasan kemanusiaan adalah alasan yang dibuat-buat khususnya kalau itu datang dari Perancis. Negara ini adalah negara yang terlibat secara langsung dalam konflik SARA pembantaian suku Tutsi oleh suku Hutu di Rwanda tahun 1994. Perancis memberikan bantuan senjata, keuangan dan penasehat militer dan politik kepada pemerintah yang didominasi oleh suku Hutu untuk membantai saudara sebangsanya sendiri. Negara ini juga menyediakan tempat berlindung di negara mereka kepada pimpinan Hutu yang setelah kalah dalam perang saudara itu mengungsi ke Perancis. Perancis bicara soal melindungi rakyat dari kekejaman penguasa? Hah… look who’s talking…
Keputusan presiden Obama untuk menyerang Libya ini diumumkan dari Brasilia, Brasil tempat dia melakukan kunjungan kerja saat ini. Dalam kunjungan ini Obama disertai oleh istri dan kedua anaknya dan juga ibu mertua serta godmother putri-putri Obama. Uniknya, Brasil sebagai negara anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB termasuk 5 negara yang abstain dalam resolusi PBB untuk Libya ini. Selain Brasil, India, negara anggota tidak tetap DK PBB juga abstain. Ternyata kunjungan kerja Obama ke India tahun lalu yang disebut-sebut sebagai kunjungan luar negeri terbesar seorang presiden Amerika tidak mampu menjadikan negara itu menuruti semua keinginan Paman Sam.
Jadi secara resmi saat ini Amerika mempunyai 2 perang besar, Irak dan Afganistan dan 1 perang kecil melawan Libya dalam waktu yang bersamaan. Perang kecil ini sebenarnya hanyalah aksi militer terbatas, membom pusat-pusat kekuatan tentara pemerintah. Sekedar untuk menekan Moammar Khadaffi tidak memakai pesawat terbang dalam perang saudara itu. Sejauh ini misi pemboman berhasil melumpuhkan kekuatan udara Libya sasaran utama aksi ini. Tetapi apakah perang kecil ini akan berubah menjadi perang besar, akan melibatkan kekuatan darat pasukan koalisi ini?
Walaupun kekuatan udaranya dilumpuhkan tetapi tentara Libya tetap mempunyai persenjataan berat untuk menyerang pemberontak. Tetap mempunyai tank-tank dan kendaraan lapis baja lainnya. Tetap mempunyai artileri, senapan, granat, bom dan sebagainya. Juga mempunyai bahan-bahan kimia yang bisa dipakai untuk melumpuhkan musuh. Kekuatannya masih cukup besar, sama atau lebih kuat daripada kekuatan pemberontak.
Setelah misi aksi militer ini selesai apakah perang saudara di Libya akan berakhir? Tentu saja tidak. Apakah tentara Libya yang katanya melakukan kejahatan kepada rakyat sipil selama perang saudara ini akan berubah menjadi baik? Tentu saja tidak, bahkan dilaporkan saat ini tentara Libya melakukan praktek bumi hangus dan menyandera rakyat untuk dijadikan tameng hidup. Tetap saja perang saudara akan berlangsung dan korban di pihak sipil akan berjatuhan.
Satu-satunya cara adalah melenyapkan rejim Khadaffi secara fisik. Untuk itu diperlukan kekuatan darat pasukan koalisi. Presiden Obama sudah menyatakan tidak akan mengirim pasukan darat ke Libya, sedangkan perdana menteri Inggris David Cameron tidak secara eksplisit melarang pengerahan pasukan darat mereka. Pihak Perancis belum memberikan keputusan yang pasti. Tetapi yang pasti, serangan darat diperlukan kalau pasukan pemerintah Libya masih melanjutkan tindakan-tindakan represif kepada rakyat.
Kalau dari segi militer operasi pemboman Libya ini berhasil tetapi dari segi politik aksi ini tidak berhasil. Pihak Liga Arab, yang mendukung wilayah larangan terbang mengecam pemboman, Rusia dan China dua negara tetap DK PBB juga mengecam pemboman itu. Sedangkan Jerman dari awal tidak mau bersedia ikut dalam aksi pemboman hanya bersedia melakukan kegiatan pengintaian di udara. Terjadinya kesalahan target pemboman juga mulai mengundang reaksi dari negara-negara internasional.
Pautan Pasaribu
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar