Rabu, 16 Maret 2011

Politisasi Agama

ADA sebuah pembelajaran berharga dari beberapa kisah tentang perjalanan da’wah dan ajakan yang telah ditempuh oleh para Nabi, Rasul, Filsuf, dan orang-orang lurus tentang tidak selalu politik dan agama merupakan sesuatu yang harus dijalankan secara bersamaan. Dikisahkan “ Suatu hari para sahabat Rasulullah mengajukan satu pengharapan, para sahabat hendak membuat singgasana untuk Rasulullah laiknya raja-raja Persia dan Romawi duduk di kursi gading gilang kencana di waktu itu. Namun dengan rendah hati, Rasulullah menolak pengharapan dari para sahabat tersebut.”

Ada beberapa pesan penting dalam kisah perjalanan Rasulullah di atas. Pertama, Rasul hendak mengajak kepada sahabat- dan tentu saja kepada semua manusia sampai zaman sekarang- bahwa manusia , dimana, kapan, dan berperan sebagai apa pun memiliki kedudukan sama. Penempatan seseorang di sebuah singgasana akan membuka peluang besar terhadap munculnya sikap feodal dan priomordial. Ini kemungkinan besar terjadi, walaupun si penerima singgasana tidak memiliki keyakinan bahwa dirinya lebih mulia dari orang lain, namun keran penutup terhadap munculnya pengkelasan akan dibuka secara perlahan oleh para pengikutnya.

Sebagai manusia pilihan, Rasulullah mengerti benar tentang psikologi manusia di setiap mileu dan zaman. Membuka celah sekecil apa pun agar sikap feudal dan primordial menyusup ke dalam kehidupan manusia harus dicegah. Sebab singgasana, merupakan sekat pemisah antara penguasa dan mereka yang dikuasai.
Kedua, Rasulullah hendak memberi pengajaran kepada kita, agama dan politik benar-benar harus dipisahkan secara bijak. Singgasana identik dengan kekuasaan dan politik. Pencampur adukkan agama dan politik di dalam kehidupan akan membuka celah perpecahan di dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Ini bukan berarti sekulerisme yang menyebutkan harus adanya pemisahan antara Agama dengan Kehidupan, tidak serta merta kita langsung mengecap bahwa pemisahan agama dengan politik adalah sebuah sikap sekuler meskipun politik merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri.

Setelah Rasulullah meninggal dunia, barulah semangat politis yang memang sejak zaman Jahiliyyah menjadi landasan berpijak para pemegang kekuasaan suku-suku di tanah Arab ini muncul kembali ke permukaan. Sebuah kondisi yang memang tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullah dan para pendahulu mereka, terjadinya perpecahan, hingga sampai kepada tahap yang sama sekali tidak diperkenankan oleh keyakinan mana pun: perebutan kekuasaan.

Penulis memiliki satu pandangan, kenyataan bahwa agama dan politik harus terpisah telah dicontohkan oleh semua pengajak Kebenaran. Para Nabi dan Rasul di dalam ajakannya tidak pernah menyebutkan jika mereka membawa bendera politik dan menempuh jalur politik untuk melawan kekuasaan para penguasa dzalim di zamannya. Mereka konsisten, bahwa bendera yang mereka bawa adalah kebaikan, ajaran yang berisi jika manusia mengambilnya maka kehidupan mereka akan dipenuhi oleh segala potensi kebaikan.

Dan mereka, Para Nabi dan Rasul dalam menda’wahkan ajaran Tuhan, tidak pernah menyerah apalagi bertekuk lutut pada tatanan yang telah rusak. Ketika mereka tidak mendapatkan pengikut pun, mereka akan tetap mengajak manusia untuk melawan para tiran dzalim. Ibrahim tidak menggunakan wadah politik ketika mengajak Raja Nimrod/ Namrud agar berada di jalur yang benar, tidak gila hormat, mengesampingkan kepentingan para elit. Musa dan Harun pun demikian, mereka lebih baik berjalan berdua untuk melawan kesewenang-wenangan Fir’aun dengan tanpa memakai atribut politik apa pun.

Para Nabi dan Rasul tidak mengajarkan kepada manusia agar menempatkan diri mereka pada satu kekuasaan. Mereka tidak pernah menyebut diri mereka sebagai pemimpin dan penguasa. Mereka lebih memilih untuk meluruskan jalan manusia, meluruskan pikiran manusia, dan meluruskan keyakinan mereka tentang kebaikan hakiki, sebab tanpa kekuasaan pun, ketika manusia telah berhasil menjadi baik kehidupan akan berjalan dengan baik pula. Munculnya masalah dalam kehidupan, disebabkan bukan karena kosongnya kekuasaan dari orang-orang baik, ini terjadi karena memang jalan kehidupan manusia yang belum lurus.

Pernyataan Nurcholis Madjid (alm) : “AGAMA YESS, POLITIK NO!”, merupakan hal penting dan jujur jika agama sama sekali harus dijauhkan dari politik. Sementara, banyak kalangan yang dengan serta merta mengecap dan mengecam jika Nurcholis (alm) hendak membumikan sekulerisme di Indonesia tanpa menilai dengan jernih substansi dan imbas kebaikan ke depan dari pernyataan tersebut. Kita sampai saat sekarang memang cenderung sering bermain di permukaan saja.

Tidak sedikit orang yang merasa khawatir jika politik tanpa disertai oleh agama akan menghasilkan formula politik kotor, jahat, curang, dan dipenuhi oleh segala potensi kejahatan. Ini memang benar, namun bukan berarti disebabkan oleh terpisahnya politik dan agama, ini lebih disebabkan oleh para subjek politiknya saja yang memang belum memiliki niat baik. Politik hanya dijadikan kendaraan untuk meraih dan memuluskan kepentingan golongan, kelompok, dan atau partainya saja.

Di setiap zaman, ketika para pemuka agama memasuki kancah politik sama sekali tidak membawa perbaikan terhadap kehidupan. Agama hanya akan dijadikan kedok untuk meraih simpatisan. Juga sebaliknya, agama sama sekali tidak akan lurus dipahami oleh manusia ketika disebarkan melalui jalur politik. Mengajak dan mengajarkan kebaikan manusia melalui jalur politik, menggunakan sebuah kendaraan partai politik adalah bentuk dari ketidak wajaran penyebaran kebaikan. Ini memiliki tendensi lain selain untuk menyebarkan agama juga adanya keinginan untuk meraih sebuah pengakuan dan kekuasaan dari pihak lain. Dan ini akan menyebabkan penerjemahan beragam dari kelompok-kelompok lain. Sebuah jalan yang sama sekali tidak pernah ditempuh oleh para Nabi dan Rasul.

Tidak segan dan tanpa merasa malu terhadap ajaran para Nabi dan Rasul, manusia di zaman sekarang menempatkan symbol-simbol keagamaan sebagai ikon politik. Ini merupakan cara kasar, dimana secara tidak langsung mereka telah mencoba untuk membanding-bandingkan symbol-simbol kegamaan dengan hal lain yang memang tidak sebanding dengan symbol kegamaan. Sangat tidak pantas jika ada manusia membandingkan Tuhan dengan Mahluknya, karena kita telah yakin, Tuhan tidak ada bandingannya. Symbol-simbol keagamaan, ayat-ayat Tuhan dijadikan dalil untuk meraih simpati massa adalah sebuah penodaan terhadap agama, terlebih jika penggunaan ayat-ayat Tuhan itu hanya untuk mendapatkan kekuatan dari kelompok akar rumput.

Mereka, orang-orang lurus tidak akan pernah mau membaurkan antara da’wah dengan partai politik, antara agama dengan politik. Sebab pada akhirnya bukan agamalah yang mendominasi di dalamnya kecuali sebuah nama besar partai politik tersebut yang bersembunyi di balik agama. Pada akhirnya, tidak segan, Agama dijual kepada masyarakat, tentu saja kepada massa pemilih di setiap Pemilu demi mendapatkan sebuah Singgasana yang sama sekali ditolak oleh Rasulullah untuk diduduki. Dan Hanya Dialah Yang Maha Tahu.

Kang Warsa
Manusia Biasa, Orang Sukabumi, Sering Menuliskan kehidupan orang-orang Kampung di internet, aktif juga di kegiatan Kemasyarakatan, Penyiar Radio Komunitas SPM FM, Ingin menghasilkan 2.500 Cerpen sebelum meninggal dan terpublikasikan dan dibaca oleh orang-orang dan menjadi warisan untuk anak cucu kelak... Heuheu. Jika Berkenan, kunjungi blog saya.... http://daeva-amesha.blogspot.com , http://warsa.wordpress.com

Sumber: kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails