Kalau khusus untuk sumber daya alam, tadinya saya menduga Indonesia masuk dalam kelompokleading exporter. Saya terbelalak. Ternyata sebaliknya, Indonesia berada di dalam kelompok leading importer untuk produk-produk sumber daya alam. Persisnya di urutan ke-14 dari 15 negara.
Ironisnya, Singapura yang tak punya sumber daya alam justru bertengger di kelompok leading exporter untuk sumber daya alam pada urutan ke-14.
Niscaya ada yang salah urus dalam pengelolaan sumber daya alam. Kita produsen minyak mentah, tetapi menjadi negara pengimpor bahan bakar minyak (BBM) terbesar di Asia. Sudah puluhan tahun kapasitas produksi kilang minyak kita tak bertambah, padahal konsumsi BBM naik cukup tinggi.
Pada tahun 2010, neraca perdagangan minyak mentah kita hanya surplus sebesar 1,5 miliar dollar AS, sedangkan neraca perdagangan BBM defisit sebesar 13 miliar dollar AS. Defisit BBM tahun ini diperkirakan bakal lebih besar lagi.
Salah urus terlihat pula pada hasil tambang bauksit. Seluruh produksi bauksit kita ekspor. Sementara itu, kita mengimpor seluruh alumina—yang notabene adalah produk turunan dari bauksit—untuk diolah lebih lanjut menjadi aluminium. Lebih dari separuh aluminium yang kita hasilkan dijual ke pasar luar negeri, sementara industri pengguna aluminium memenuhi kebutuhannya lebih banyak dari luar negeri.
Luar biasa kerugian ekonomi yang kita alami: kita menjual produk-produk sumber daya alam yang masih mentah seraya membeli produk-produk olahannya dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara bisa membuka era baru karena memberlakukan kewajiban untuk membangun fasilitas industri hilir di dalam negeri bagi usaha tambang. Undang-undang yang baru ini juga mengatur penyesuaian terhadap kontrak-kontrak tambang sebelumnya yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Sejumlah penyesuaian harus dilakukan untuk mengakomodasikan kepentingan nasional sesuai dengan semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Perbedaan mendasar dari undang-undang yang lama dan yang baru adalah perubahan dari rezim kontrak menjadi rezim perizinan.
Pemerintah tetap mengakui kontrak-kontrak yang telah dibuat di masa lalu. Namun, dengan undang-undang yang baru, pemerintah berhak melakukan negosiasi ulang terhadap ketentuan kontrak lama.
Pemerintah mulai melakukan negosiasi ulang dengan sejumlah perusahaan pemegang kontrak. Sejauh ini masih banyak persoalan yang belum disepakati. Namun, tampaknya kewajiban untuk mengolah lebih lanjut produk-produk pertambangan di dalam negeri bukan merupakan persoalan yang sangat krusial.
Masalahnya lebih pada kesiapan pemerintah mendukung perwujudan tekad itu, juga pengaturan kalau target pengolahan di dalam negeri mulai tahun 2014 tidak tercapai. Kesiapan infrastruktur pendukung merupakan salah satu masalah yang bisa menghambat. Rencana pendirian fasilitas pengolahan memang cukup banyak. Namun, tampaknya target masih sulit terwujud.
Oleh karena itu, agaknya pemerintah perlu menyusun rencana aksi dengan prioritas yang jelas, yang merupakan bagian dari rencana strategis jangka panjang agar sumber daya alam kita benar-benar dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan bagi keuntungan orang seorang atau kelompok orang, apalagi yang ”itu-itu” saja.
Apakah persoalan inti terletak pada isi kontrak semata sehingga harus dilakukan negosiasi ulang? Kontrak bagi hasil di sektor perminyakan diakui oleh kalangan internasional sebagai model kontrak yang baik. Bagi hasil pemerintah mencapai 85 persen, sedangkan perusahaan kontraktor hanya 15 persen. Penerapan cost recovery juga dipandang memadai karena pemerintah tidak ikut menanggung risiko bisnis. Persoalan banyak muncul dalam pelaksanaan, interpretasi, dan cakupan cost recovery serta pengawasan. Tak jarang pula muncul tarik-menarik kepentingan antara BP Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Kecurigaan masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan besar boleh jadi juga karena pengawasan yang lemah dan masalah transparansi.
Yang juga kerap menimbulkan sengketa antara perusahaan tambang dan masyarakat sekitar serta antara perusahaan dan pemerintah daerah adalah karena formula bagi hasil yang dirasakan kurang adil. Pemerintah pusat hanya membagi hasil dari royalti, tetapi tidak untuk pajak. Karena itu, boleh jadi persoalannya terletak pada ketimpangan fiskal vertikal, yaitu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Ketidakpuasan sejumlah pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten inilah yang ditengarai memunculkan hasrat pemerintah daerah untuk turut memiliki saham di perusahaan pertambangan. Karena pemerintah daerah tak punya kemampuan fiskal untuk membeli saham, mereka dirangkul oleh pengusaha pemburu rente.
Ironisnya, pengusaha swasta tersebut tak mengeluarkan uang satu sen pun, melainkan berutang dengan mengalihkan saham yang didivestasi, tetapi bisa menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan konsorsium pemerintah daerah-pengusaha.
Memang, hak untuk menentukan saham yang didivestasikan ada pada pemerintah pusat. Namun, alangkah eloknya jika pemerintah pusat mendorong perusahaan tambang milik negara yang terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan tambang. Lebih baik lagi dengan mengakomodasikan aspirasi daerah. Dengan demikian, lambat laun ada alih teknologi dan manajemen yang meningkatkan kompetensi anak bangsa untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri.
Jangan-jangan lebih banyak masalah di internal pemerintah sendiri ketimbang isi kontrak. Lalu, renegosiasi jadi alat untuk menutupi salah urus di dalam pemerintah sendiri. Renegosiasi jadi pekikan yang heroik, tetapi mengaburkan substansi permasalahan.
Faisal Basri
Mengajar di UI. Memulai karir sebagai peneliti. Berharap lebih banyak mencurahkan waktu untuk menulis. Lahir di Bandung, 6 November 1959.
Ironisnya, Singapura yang tak punya sumber daya alam justru bertengger di kelompok leading exporter untuk sumber daya alam pada urutan ke-14.
Niscaya ada yang salah urus dalam pengelolaan sumber daya alam. Kita produsen minyak mentah, tetapi menjadi negara pengimpor bahan bakar minyak (BBM) terbesar di Asia. Sudah puluhan tahun kapasitas produksi kilang minyak kita tak bertambah, padahal konsumsi BBM naik cukup tinggi.
Pada tahun 2010, neraca perdagangan minyak mentah kita hanya surplus sebesar 1,5 miliar dollar AS, sedangkan neraca perdagangan BBM defisit sebesar 13 miliar dollar AS. Defisit BBM tahun ini diperkirakan bakal lebih besar lagi.
Salah urus terlihat pula pada hasil tambang bauksit. Seluruh produksi bauksit kita ekspor. Sementara itu, kita mengimpor seluruh alumina—yang notabene adalah produk turunan dari bauksit—untuk diolah lebih lanjut menjadi aluminium. Lebih dari separuh aluminium yang kita hasilkan dijual ke pasar luar negeri, sementara industri pengguna aluminium memenuhi kebutuhannya lebih banyak dari luar negeri.
Luar biasa kerugian ekonomi yang kita alami: kita menjual produk-produk sumber daya alam yang masih mentah seraya membeli produk-produk olahannya dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara bisa membuka era baru karena memberlakukan kewajiban untuk membangun fasilitas industri hilir di dalam negeri bagi usaha tambang. Undang-undang yang baru ini juga mengatur penyesuaian terhadap kontrak-kontrak tambang sebelumnya yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Sejumlah penyesuaian harus dilakukan untuk mengakomodasikan kepentingan nasional sesuai dengan semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Perbedaan mendasar dari undang-undang yang lama dan yang baru adalah perubahan dari rezim kontrak menjadi rezim perizinan.
Pemerintah tetap mengakui kontrak-kontrak yang telah dibuat di masa lalu. Namun, dengan undang-undang yang baru, pemerintah berhak melakukan negosiasi ulang terhadap ketentuan kontrak lama.
Pemerintah mulai melakukan negosiasi ulang dengan sejumlah perusahaan pemegang kontrak. Sejauh ini masih banyak persoalan yang belum disepakati. Namun, tampaknya kewajiban untuk mengolah lebih lanjut produk-produk pertambangan di dalam negeri bukan merupakan persoalan yang sangat krusial.
Masalahnya lebih pada kesiapan pemerintah mendukung perwujudan tekad itu, juga pengaturan kalau target pengolahan di dalam negeri mulai tahun 2014 tidak tercapai. Kesiapan infrastruktur pendukung merupakan salah satu masalah yang bisa menghambat. Rencana pendirian fasilitas pengolahan memang cukup banyak. Namun, tampaknya target masih sulit terwujud.
Oleh karena itu, agaknya pemerintah perlu menyusun rencana aksi dengan prioritas yang jelas, yang merupakan bagian dari rencana strategis jangka panjang agar sumber daya alam kita benar-benar dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan bagi keuntungan orang seorang atau kelompok orang, apalagi yang ”itu-itu” saja.
Apakah persoalan inti terletak pada isi kontrak semata sehingga harus dilakukan negosiasi ulang? Kontrak bagi hasil di sektor perminyakan diakui oleh kalangan internasional sebagai model kontrak yang baik. Bagi hasil pemerintah mencapai 85 persen, sedangkan perusahaan kontraktor hanya 15 persen. Penerapan cost recovery juga dipandang memadai karena pemerintah tidak ikut menanggung risiko bisnis. Persoalan banyak muncul dalam pelaksanaan, interpretasi, dan cakupan cost recovery serta pengawasan. Tak jarang pula muncul tarik-menarik kepentingan antara BP Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Kecurigaan masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan besar boleh jadi juga karena pengawasan yang lemah dan masalah transparansi.
Yang juga kerap menimbulkan sengketa antara perusahaan tambang dan masyarakat sekitar serta antara perusahaan dan pemerintah daerah adalah karena formula bagi hasil yang dirasakan kurang adil. Pemerintah pusat hanya membagi hasil dari royalti, tetapi tidak untuk pajak. Karena itu, boleh jadi persoalannya terletak pada ketimpangan fiskal vertikal, yaitu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Ketidakpuasan sejumlah pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten inilah yang ditengarai memunculkan hasrat pemerintah daerah untuk turut memiliki saham di perusahaan pertambangan. Karena pemerintah daerah tak punya kemampuan fiskal untuk membeli saham, mereka dirangkul oleh pengusaha pemburu rente.
Ironisnya, pengusaha swasta tersebut tak mengeluarkan uang satu sen pun, melainkan berutang dengan mengalihkan saham yang didivestasi, tetapi bisa menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan konsorsium pemerintah daerah-pengusaha.
Memang, hak untuk menentukan saham yang didivestasikan ada pada pemerintah pusat. Namun, alangkah eloknya jika pemerintah pusat mendorong perusahaan tambang milik negara yang terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan tambang. Lebih baik lagi dengan mengakomodasikan aspirasi daerah. Dengan demikian, lambat laun ada alih teknologi dan manajemen yang meningkatkan kompetensi anak bangsa untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri.
Jangan-jangan lebih banyak masalah di internal pemerintah sendiri ketimbang isi kontrak. Lalu, renegosiasi jadi alat untuk menutupi salah urus di dalam pemerintah sendiri. Renegosiasi jadi pekikan yang heroik, tetapi mengaburkan substansi permasalahan.
Faisal Basri
Mengajar di UI. Memulai karir sebagai peneliti. Berharap lebih banyak mencurahkan waktu untuk menulis. Lahir di Bandung, 6 November 1959.
Sumber: www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar