BENCI DAN RINDU PADA PAK HARTO
Tom Saptaatmaja
Masih ingat, siapa takoh besar yang lahir 8 Juni hari ini? Benar, Soeharto. Sosok yang lahir pada 8 Juni 1921 dan wafat 27 Januari 2008 itu adalah sosok besar yang pernah memimpin Indonesia.Sejarah tidak mungkin akan menghapus.Bahkan hari-hari ini, di saat harga sembako kian mahal,banyak orang merindukan atau kangen berat pada Pak Harto.
Memang Pak Harto selalu penuh kontroversi.Tokoh-tokoh besar sepanjang sejarah memang selalu mengundang kontroversi. Tanpa kontroversi yang membelah publik dalam dua kubu yang mengagumi dan membenci,maka kebesaran sang tokoh malah patut dipertanyakan.
Kita masih ingat,sejak 100 hari wafatnya hingga saat ini, para pengagum Soeharto terus mendesakkan keinginan agar pemerintah SBY segera menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada Soeharto. Alasannya, Soeharto dipandang sebagai putra terbaik bangsa yang pernah memimpin dan mempertahankan kesatuan Negara.
Sebenarnya usulan memberi gelar kepahlawanan itu sah-sah saja diajukan Berdasar Undang-Undang no 33 tahun 1964, terdapat tiga kriteria untuk penetapan pahlawan nasional yakni warga negara Indonesia, berjasa dalam membela bangsa dan negara, tidak pernah cacat dalam perjuangannya.
Oleh kubu yang membenci Pak Harto, sosok satu ini dinilai sudah banyak cacatnya sehingga tak layak diberi gelar pahlawan nasional. Ini bisa dirunut dari saat ketika Pak Harto meraih kursi RI-1 lewat Supersemar 1966.Lewat surat itu, Pak Harto bisa dikatakan mengambil alih posisi Bung Karno sebagai Presiden. Ironisnya, dalam beragam kesempatan pasca Supersemar, Bung Karnopun membantah posisinya telah diambil alih Soeharto.
Toh fakta kemudian berbicara, setelah menggenggam Supersemar, Soeharto mampu merekayasa Sidang Umum MPRS pada Juni 1966 dengan dua TAP (TAP MPRS No IX/1966 dan TAP MPRS No XV/1966 yang mengukuhkan posisinya. Dengan dua TAP itu, pada 12 Maret 1967, Soeharto dilantik sebagai Penjabat Presiden, dan akhirnya pada 27 Maret 1968 dilantik sebagai Presiden RI kedua oleh MPRS, lalu dipilih kembali oleh MPR pada 1973 hingga 1998.
Begitulah, langkah Pak Harto meraih RI 1 mengesankan tidak ada pertumpahan darah atas Bung Karno. Namun bagi para pendukung Bung Karno atau yang dicap PKI, darah itu tetap tertumpah.Angkanya jutaan. Sebagian lain hingga kini jadi “eksil” di Eropa dan bagian lain dunia. Masalah PKI ini hingga sekarang membelah bangsa ini dalam dendam, seperti drama karya Michael Christopher yang berjudul “The Black Angel” tentang kebencian yang tak bertepi.
Machiavelli
Kelihaian Soeharto dalam meraih kekuasaaan bisa dilihat dari beragam persepektif. Tapi entahlah dalam hal ini, penulis teringat pemikiran dasar Niccolo Machiavelli tentang politik. Seperti diketahui, filsuf berdarah Yahudi bernama Italia yang hidup pada 1469-1527 sangat diagungkan oleh para diktator yang doyan menghalalkan berbagai cara, seperti tampak dari karya abadinya Il Principe.
Memang sejatinya, lewat karya-karyanya, Machiavelli layak disebut sebagai peletak dasar ilmu politik dan pemikir awal yang mendorong terjadinya proses sekularisasi (desakralisasi) politik. Tapi publik termasuk para ditator atau politisi banal negri ini (termasuk mungkin Pak Harto) terlanjur lebih menyukai tafsir Machiavelli sebagai penganjur politik yang menghalalkan semua cara. Dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan, segala cara bisa ditempuh, mulai dengan berbohong hingga membunuh serta menyingkirkan segenap lawan politik (Buku Il Principe).
Kalau kita menyimak 32 tahun kekuasaan Pak Harto, praksis (teori dan praktik) politik “machiavellian” dengan mengabaikan etika atau moral amat menonjol. Semua hal terpusat pada Soeharto dan bagaimana kekuasaannya bisa dilanggengkan di tangannya. Memang ada pemilu atau parpol, tapi semua diskenario demi menunjukkan dia seorang demokrat.Padahal nyatanya tak ada demokrasi. Mediapun dibungkam..Kalau macam-macam, dibreidel. Penyingkiran lawan politik seperti pembuangan ke Buru, Penembakan Misterius (Petrus) dan penculikan para mahasiswa, sungguh mengabaikan etika. Martabat manusia bisa dikorbankan demi kekuasaan. Tidak heran korupsi dan segala bentuk KKN lain mulai tumbuh subur justru di era Pak Harto. Tidak ehran,pasca wafatnya, suara anti Suharto begitu dominan.Pak hato benar-benar dibenci.
Dan jujur saja, praksis politik di tanah air hingga saat ini masih bercorak “machiavellian”. Jajaran birokrasi dari era Pak Harto belum tersentuh reformasi, kendati wacana reformasi birokrasi kerap diwacanakan. Orientasi politik masih pada jabatan alias kekuasaan.Bukan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraanpun hanya dirasakan segelintir orang yang beruntung memegang kekuasaan.Mereka tidak mengenal krisis, meski dunia tengah dilanda krisis pangan dan energi.
Aparat hukumpun doyan memanipulasi hukum sehingga jual beli perkarapun seperti kasus terbaru tertangkap tangannya Hakim PN Jakarta Syarifudin oleh KPK(2 Juni 2011). Keadilanpun makin menjadi “barang langka”. Para wakil rakyatpun hanya berorientasi UUD (Ujung-Ujungnya Duit), seperti dinyanyikan Slank.Atau mungkin seperti disuarakan Permadi,sebenarnya kini tak ada wakil rakyat?Yang hada hanya wakil partai,sehingga tiap anggota DPR/D hanya sibuk berjuang demi partainya,bukan demi rakyat.
Pantas tak ada empati untuk rakyat yang seharusnya mereka wakili. Persetan, wong cilik korban busung lapar atau gizi buruk. Persetan upah rendah buruh, meski Istana Presiden kerap jadi sasaran unjukrasa para buruh.Paling kemiskinan malah jadi jualan politik demi kekuasaan.
Kangen Berat
Lihat wong cilik terus menjerit akibat mahalnya harga sembako, minyak tanah atau listrikHidup makin berat bagi mereka. Jadi turunkan segera harga sembako!Jangan salahkan wong cilik jika mereka kini rindu berat pada Pak Harto,karena dijamannya harga beras amat murah,bahkan Indonesia swasembada beras dan dipuji FAO di Roma pada 1985. Minyak tanah masih murah,sementara kini memakai kompor gas harus siap mati.
Di jaman Pak Harto, segalanya berjalan stabil, tak ada teror, bom atau senjata rakitan.Kaum minoritas juga dilindungi sehingga tempat ibadah juga tak dibakar. Jumlah penduduk juga belum membengkak, kepemilikan asing belum merajalela seperti sekarang, pembangunan diprogram secara sistematis.Ada fokus jelas ke masa depan Indonesia mau seperti apa.Masa depan Indonesia,seharusnya semanis dan sewibawa senyum Pak Harto!
Begitulah sosok Pak Harto, selalu mengundang benci dan rindu.
Sumber: kompasina.com
Tom Saptaatmaja
Masih ingat, siapa takoh besar yang lahir 8 Juni hari ini? Benar, Soeharto. Sosok yang lahir pada 8 Juni 1921 dan wafat 27 Januari 2008 itu adalah sosok besar yang pernah memimpin Indonesia.Sejarah tidak mungkin akan menghapus.Bahkan hari-hari ini, di saat harga sembako kian mahal,banyak orang merindukan atau kangen berat pada Pak Harto.
Memang Pak Harto selalu penuh kontroversi.Tokoh-tokoh besar sepanjang sejarah memang selalu mengundang kontroversi. Tanpa kontroversi yang membelah publik dalam dua kubu yang mengagumi dan membenci,maka kebesaran sang tokoh malah patut dipertanyakan.
Kita masih ingat,sejak 100 hari wafatnya hingga saat ini, para pengagum Soeharto terus mendesakkan keinginan agar pemerintah SBY segera menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada Soeharto. Alasannya, Soeharto dipandang sebagai putra terbaik bangsa yang pernah memimpin dan mempertahankan kesatuan Negara.
Sebenarnya usulan memberi gelar kepahlawanan itu sah-sah saja diajukan Berdasar Undang-Undang no 33 tahun 1964, terdapat tiga kriteria untuk penetapan pahlawan nasional yakni warga negara Indonesia, berjasa dalam membela bangsa dan negara, tidak pernah cacat dalam perjuangannya.
Oleh kubu yang membenci Pak Harto, sosok satu ini dinilai sudah banyak cacatnya sehingga tak layak diberi gelar pahlawan nasional. Ini bisa dirunut dari saat ketika Pak Harto meraih kursi RI-1 lewat Supersemar 1966.Lewat surat itu, Pak Harto bisa dikatakan mengambil alih posisi Bung Karno sebagai Presiden. Ironisnya, dalam beragam kesempatan pasca Supersemar, Bung Karnopun membantah posisinya telah diambil alih Soeharto.
Toh fakta kemudian berbicara, setelah menggenggam Supersemar, Soeharto mampu merekayasa Sidang Umum MPRS pada Juni 1966 dengan dua TAP (TAP MPRS No IX/1966 dan TAP MPRS No XV/1966 yang mengukuhkan posisinya. Dengan dua TAP itu, pada 12 Maret 1967, Soeharto dilantik sebagai Penjabat Presiden, dan akhirnya pada 27 Maret 1968 dilantik sebagai Presiden RI kedua oleh MPRS, lalu dipilih kembali oleh MPR pada 1973 hingga 1998.
Begitulah, langkah Pak Harto meraih RI 1 mengesankan tidak ada pertumpahan darah atas Bung Karno. Namun bagi para pendukung Bung Karno atau yang dicap PKI, darah itu tetap tertumpah.Angkanya jutaan. Sebagian lain hingga kini jadi “eksil” di Eropa dan bagian lain dunia. Masalah PKI ini hingga sekarang membelah bangsa ini dalam dendam, seperti drama karya Michael Christopher yang berjudul “The Black Angel” tentang kebencian yang tak bertepi.
Machiavelli
Kelihaian Soeharto dalam meraih kekuasaaan bisa dilihat dari beragam persepektif. Tapi entahlah dalam hal ini, penulis teringat pemikiran dasar Niccolo Machiavelli tentang politik. Seperti diketahui, filsuf berdarah Yahudi bernama Italia yang hidup pada 1469-1527 sangat diagungkan oleh para diktator yang doyan menghalalkan berbagai cara, seperti tampak dari karya abadinya Il Principe.
Memang sejatinya, lewat karya-karyanya, Machiavelli layak disebut sebagai peletak dasar ilmu politik dan pemikir awal yang mendorong terjadinya proses sekularisasi (desakralisasi) politik. Tapi publik termasuk para ditator atau politisi banal negri ini (termasuk mungkin Pak Harto) terlanjur lebih menyukai tafsir Machiavelli sebagai penganjur politik yang menghalalkan semua cara. Dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan, segala cara bisa ditempuh, mulai dengan berbohong hingga membunuh serta menyingkirkan segenap lawan politik (Buku Il Principe).
Kalau kita menyimak 32 tahun kekuasaan Pak Harto, praksis (teori dan praktik) politik “machiavellian” dengan mengabaikan etika atau moral amat menonjol. Semua hal terpusat pada Soeharto dan bagaimana kekuasaannya bisa dilanggengkan di tangannya. Memang ada pemilu atau parpol, tapi semua diskenario demi menunjukkan dia seorang demokrat.Padahal nyatanya tak ada demokrasi. Mediapun dibungkam..Kalau macam-macam, dibreidel. Penyingkiran lawan politik seperti pembuangan ke Buru, Penembakan Misterius (Petrus) dan penculikan para mahasiswa, sungguh mengabaikan etika. Martabat manusia bisa dikorbankan demi kekuasaan. Tidak heran korupsi dan segala bentuk KKN lain mulai tumbuh subur justru di era Pak Harto. Tidak ehran,pasca wafatnya, suara anti Suharto begitu dominan.Pak hato benar-benar dibenci.
Dan jujur saja, praksis politik di tanah air hingga saat ini masih bercorak “machiavellian”. Jajaran birokrasi dari era Pak Harto belum tersentuh reformasi, kendati wacana reformasi birokrasi kerap diwacanakan. Orientasi politik masih pada jabatan alias kekuasaan.Bukan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraanpun hanya dirasakan segelintir orang yang beruntung memegang kekuasaan.Mereka tidak mengenal krisis, meski dunia tengah dilanda krisis pangan dan energi.
Aparat hukumpun doyan memanipulasi hukum sehingga jual beli perkarapun seperti kasus terbaru tertangkap tangannya Hakim PN Jakarta Syarifudin oleh KPK(2 Juni 2011). Keadilanpun makin menjadi “barang langka”. Para wakil rakyatpun hanya berorientasi UUD (Ujung-Ujungnya Duit), seperti dinyanyikan Slank.Atau mungkin seperti disuarakan Permadi,sebenarnya kini tak ada wakil rakyat?Yang hada hanya wakil partai,sehingga tiap anggota DPR/D hanya sibuk berjuang demi partainya,bukan demi rakyat.
Pantas tak ada empati untuk rakyat yang seharusnya mereka wakili. Persetan, wong cilik korban busung lapar atau gizi buruk. Persetan upah rendah buruh, meski Istana Presiden kerap jadi sasaran unjukrasa para buruh.Paling kemiskinan malah jadi jualan politik demi kekuasaan.
Kangen Berat
Lihat wong cilik terus menjerit akibat mahalnya harga sembako, minyak tanah atau listrikHidup makin berat bagi mereka. Jadi turunkan segera harga sembako!Jangan salahkan wong cilik jika mereka kini rindu berat pada Pak Harto,karena dijamannya harga beras amat murah,bahkan Indonesia swasembada beras dan dipuji FAO di Roma pada 1985. Minyak tanah masih murah,sementara kini memakai kompor gas harus siap mati.
Di jaman Pak Harto, segalanya berjalan stabil, tak ada teror, bom atau senjata rakitan.Kaum minoritas juga dilindungi sehingga tempat ibadah juga tak dibakar. Jumlah penduduk juga belum membengkak, kepemilikan asing belum merajalela seperti sekarang, pembangunan diprogram secara sistematis.Ada fokus jelas ke masa depan Indonesia mau seperti apa.Masa depan Indonesia,seharusnya semanis dan sewibawa senyum Pak Harto!
Begitulah sosok Pak Harto, selalu mengundang benci dan rindu.
Sumber: kompasina.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar