Sabtu, 20 Agustus 2011
Negara Mengarah Kleptokrasi
Korupsi tak hanya terjadi di lembaga yudikatif, peradilan, tetapi juga ada di legislatif dan eksekutif. Kondisi ini diketahui pemerintah maupun rakyat. Namun, pemerintah tak berhasil mengatasinya. Bahkan, bangsa Indonesia mengarah menjadi negara kleptokrasi, yakni negara yang diperintah oleh para pencuri.
Demikian benang merah yang dapat ditarik dari pendapat advokat senior Adnan Buyung Nasution dan pengajar Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Gun Gun Heryanto, secara terpisah di Jakarta, Senin (13/6). ”Indonesia semakin terperangkap dalam pusaran kleptokrasi,” kata Gun Gun lagi.
Menurut Adnan Buyung, dua tahun terakhir ini berbagai kasus korupsi semakin terungkap. Kasus korupsi tak hanya terjadi di lembaga peradilan, tetapi juga di lembaga eksekutif dan legislatif. ”Musuh besar kita kini adalah korupsi,” ungkap mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu. Ia berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hanya memberikan pernyataan terkait pemberantasan korupsi, tetapi juga melakukan karya yang lebih nyata.
”Pemberantasan korupsi butuh kepemimpinan,” kata Adnan Buyung lagi. Ia juga menyarankan Presiden Yudhoyono mengubah kabinetnya, dan menunjuk seorang menteri koordinator bidang hukum dan hak asasi manusia, dan memilih figur yang bersih dan tegas untuk menjabatnya, yang akan memimpin pemberantasan korupsi dengan tegas. Selain itu, KPK harus tetap diperkuat, dan jangan diganggu.
Negara gagal
Gun Gun menjelaskan, kleptokrasi biasa diartikan sebagai negara yang diperintah oleh pencuri. Penguasa memakai uang rakyat untuk memperkaya diri sendiri atau korupsi. Praktik korupsi dilakukan dengan menyelewengkan kewenangan untuk memengaruhi kebijakan.
Kondisi itu, lanjut Gun Gun, terjadi di Indonesia. Korupsi dilakukan lembaga pemegang kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Ketiga lembaga itu sering kali melakukan persekongkolan untuk menyelewengkan uang rakyat.
Kasus suap proyek pembangunan wisma atlet di Palembang, Sumatera Selatan, misalnya, adalah salah satu contoh persekongkolan antara politisi di DPR (legislatif) dan pejabat pemerintah (eksekutif). Adapun kasus suap yang melibatkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin Umar adalah contoh kejahatan korupsi di lembaga peradilan (yudikatif).
”Contoh kejahatan lain juga sudah banyak terjadi. Ini menjadi bukti kuat bahwa kejahatan oleh mereka yang memiliki kekuasaan semakin merajalela,” ujarnya.
Gun Gun mengingatkan, kleptokrasi akan membuat pemerintahan rusak. Praktik koruptif oleh penguasa juga dapat mengganggu proses konsolidasi demokrasi. Jika terus dibiarkan, Indonesia bisa mengarah pada negara gagal.
Adnan Buyung juga mengakui, Indonesia bisa menjadi negara yang gagal sebab penyelenggara negaranya terbelit korupsi di berbagai level. Kondisi ini yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Jangan biarkan aparatur negara semakin brutal melakukan korupsi di berbagai lini.
Masyarakat frustrasi
Koordinator Public Interest Lawyer Network (PIL-Net) Wahyu Wagiman secara terpisah, Senin di Jakarta, mengakui, masyarakat kini cenderung frustrasi atas tidak adanya jaminan keadilan yang dapat diberikan pemangku kekuasaan. Institusi peradilan, baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan, maupun pemasyarakatan belum mampu diharapkan bekerja bersih, tanpa korupsi. Kini masyarakat menggantungkan sisa harapannya pada lembaga independen, semisal KPK, Komisi Nasional HAM, dan Komisi Yudisial (KY). ”Tidak ada yang disisakan bagi masyarakat berkontestasi untuk mencapai keadilannya,” katanya.
Wahyu pun melihat ada perbedaan perlakuan terhadap masyarakat kecil yang mencari keadilan dengan tersangka korupsi, yang umumnya adalah pejabat, pengusaha, atau politisi. ”Hampir dalam semua kasus, petani kecil itu selalu dikalahkan. Pengusaha dan politisi koruptor selalu menang,” kata dia lagi.
Kelompok Prustasi Pengadilan, terdiri dari PIL-Net, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Legal Roundtable (ILR), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan sejumlah institusi lain, kemarin, dideklarasikan. Mereka pun menggelar aksi teatrikal di depan gedung KY, menyindir sistem peradilan yang dihancurkan secara sistematis oleh pemangku keadilan, penegak hukum, politisi, pejabat, dan pengusaha melalui cara-cara memperjualbelikan dan mentransaksikan keadilan dengan fasilitas mewah.
Mereka juga menghadiahi KY sapu dan pengki (serokan sampah), yang melambangkan tugasnya sebagai pembersih lembaga pengadilan dari hakim-hakim nakal.
Kepala Bidang Hukum Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani dan Ketua Badan Pengurus Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin juga sependapat, terungkapnya kasus suap pada sejumlah hakim, juga pada aparat pemerintah lainnya, makin menggerus kepercayaan rakyat terhadap penegakan hukum. Untuk itu, diperlukan kontrol dan pengawasan berlapis terhadap kinerja hakim dan penegak hukum agar mereka tidak terus terjangkiti virus korupsi.
Jaleswari menilai, terbongkarnya kasus suap yang melibatkan hakim sangat memprihatinkan. Peradilan adalah benteng terakhir dari proses hukum setelah proses penyidikan di kepolisian dan penuntutan di kejaksaan. Jika benteng terakhir penjaga keadilan tergerogoti virus korupsi, tentu akan sulit dibayangkan penegakan hukum di negeri ini bisa berjalan baik.
Firmansyah Arifin mengingatkan, tertangkapnya hakim Syarifuddin terkait kasus korupsi sekali lagi membuktikan, mafia hukum dan peradilan masih berjalan. Selama ini dugaan itu terasa, tetapi belum dibuktikan nyata. Karena itu, MA tidak bisa terus-terusan membantah, melainkan harus mengakui adanya masalah dalam tubuh hakim.
Febri Diansyah dari ICW menilai, memperbaiki sistem peradilan dan hakim di dalamnya tidak otomatis bisa membersihkan penegak hukum lain yang juga memiliki perilaku koruptif. Namun, hal itu harus dilakukan.
Sumber: www.kompas.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar