Dahlan kecil dibesarkan dilingkungan pedesaan dangan serba kekurangan, akan tetapi sangat kental akan suasana religiusnya. Ada cerita menarik yang saya baca pada buku beliau Ganti Hati yang menggambarkan betapa serba kekurangannya beliau ketika waktu kecil. Disitu diceritakan Dahlan kecil hanya memiliki satu celana pendek dan satu baju, tapi masih memiliki satu sarung!. Dan dengan joke-joke pak Dahlan yang segar beliau menceritakan kehebatan dari sarung yang dimiliki. Disini beliau menceritakan bahwa sarung bisa jadi apa saja. Mulai jadi alat ibadah, mencari rezeki, alat hiburan, fashion, kesehatan sampai menjadi alat untuk menakut-nakuti.
Kalau Dahlan kecil lagi mencuci baju, sarung bisa dikemulkan pada badan atasnya. Kalau lagi mencuci celana, sarung bisa dijadikan bawahan. Kalau lagi cari sisa-sisa panen kedelai sawah orang kaya, sarung itu bisa dijadikan karung. Kalau perut lagi lapar dan dirumah tidak ada makanan, sarung bisa diikatkan erat-erat dipinggang jadilah dia pengganjal perut yang andal. Kalau mau sholat jadilah dia benda yang penting unutk menghadap Tuhan. Kalau lagi kedinginan, jadilah dia selimut. Kalau sarung itu sobek masih bisa dijahit. Kalau ditempat jahitan itu robek lagi, masih bisa ditambal. Kalau tambalanya pun robek, sarung itu belum tentu akan pensiun. Masih bisa dirobek-robek lagi, bagian yang besar bisa digunakan sebagai sarung bantal dan bagian yang kecil bisa dijadikan popok bayi. Ada pelajaran yang bisa kita petik dari cerita beliau, bahwa apapun kondisi kita, baik kurang, cukup atau lebih kita harus tetap bersyukur, sabar dan harus menikmati semuanya dengan apa adanya.
Dahlan Iskan Bersama Jawa POS
Jawa Pos didirikan oleh The Chung Shen pada 1 Juli 1949 dengan nama Djawa Post. Saat itu The Chung Shen hanyalah seorang pegawai bagian iklan sebuah bioskop di Surabaya. Karena setiap hari dia harus memasang iklan bioskop di surat kabar, lama-lama ia tertarik untuk membuat surat kabar sendiri. Setelah sukses dengan Jawa Pos-nya, The Chung Shen mendirikan pula koran berbahasa Mandarin dan Belanda. Bisnis The Chung Shen di bidang surat kabar tidak selamanya mulus. Pada akhir tahun 1970-an, omzet Jawa Pos mengalami kemerosotan yang tajam. Tahun 1982, oplahnya hanya tinggal 6.800 eksemplar saja. Koran-korannya yang lain sudah lebih dulu pensiun. Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen akhirnya memutuskan untuk menjual Jawa Pos. Dia merasa tidak mampu lagi mengurus perusahaannya, sementara tiga orang anaknya lebih memilih tinggal di London, Inggris.
Pada tahun 1982, Eric FH Samola, waktu itu adalah Direktur Utama PT Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) mengambil alih Jawa Pos. Dengan manajemen baru, Eric mengangkat Dahlan Iskan, yang sebelumnya adalah Kepala Biro Tempo di Surabaya untuk memimpin Jawa Pos. Eric Samola kemudian meninggal dunia pada tahun 2000.
Karir Dahlan Iskan dimulai sebagai calon reporter sebuah surat kabar kecil di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 1975. Tahun 1976, ia menjadi wartawan majalah Tempo. Sejak tahun 1982, Dahlan Iskan memimpin surat kabar Jawa Pos hingga sekarang. Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Jawa Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 ekslempar, dalam waktu 5 tahun menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar. Lima tahun kemudian terbentuk Jawa Pos News Network (JPNN), salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Pada tahun 1997 ia berhasil mendirikan Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya, dan kemudian gedung serupa di Jakarta. Pada tahun 2002, ia mendirikan stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV di Batam dan Riau TV di Pekanbaru.
Sejak akhir 2009, Dahlan diangkat menjadi direktur utama PLN menggantikan Fahmi Mochtar yang dikritik karena selama kepemimpinannya banyak terjadi mati lampu di daerah Jakarta. [3][1] Selain sebagai pemimpin Grup Jawa Pos, Dahlan juga merupakan presiden direktur dari dua perusahaan pembangkit listrik swasta: PT Cahaya Fajar Kaltim di Kalimantan Timur dan PT Prima Electric Power di Surabaya.[1]
info-biografi.blogspot.com
Dahlan Iskan Sang Maestro Bertutur
Hanya dalam seminggu buku GANTI HATI karya Dahlan Iskan [56 tahun] habis terjual. Diterbitkan JP Books, buku 328 halaman ini memuat kisah ganti hati alias transplantasi lever Pak Dahlan, bos Grup Jawa Pos, di Tianjin, Tiongkok. Operasi besar yang mahal, tapi juga sangat riskan bagi pasien.
Sebetulnya naskah karangan khas [features] ini sudah dimuat secara bersambung di halaman satu Jawa Pos sebanyak 32 seri. Tapi pembaca tidak puas. Mereka ingin mengoleksi tulisan enak ala Pak Dahlan dalam bentuk buku. Dan itu yang bikin buku ini laku keras.
"Setelah baca di tulisan-tulisan Pak Dahlan di Jawa Pos, saya justru semakin ingin membeli bukunya," ujar Pak Syamsul. Ia datang jauh-jauh dari Jember 'hanya' untuk mendapatkan buku GANTI HATI di Graha Pena, markas Jawa Pos, Jalan Ahmad Yani 88 Surabaya.
Menurut Mashud Yunasa, pengelola JP Books, buku GANTI HATI awalnya dicetak 30 ribu kopi. Langsung habis dalam sepekan. Padahal, belum semua permintaan terpenuhi. Maka, buku itu dicetak lagi 20 ribu kopi. Habis lagi. Cetak lagi. Nah, awal tahun 2008 diperkirakan sudah cetak 100 ribu lebih. Bukan main!
"Di Indonesia buku best seller baru habis enam bulan. Itu pun paling-paling cetak 5.000," ujar Mashud Yunasa. Dus, bisa dikatakan bahwa buku yang diluncurkan pada November 2007 ini merupakan best seller di Indonesia. Bisa jadi paling fenomenal dalam sejarah perbukuan di Indonesia.
Apa yang menarik dari GANTI HATI? Cerita tentang repotnya dokter-dokter di Tianjin mengganti lever Pak Dahlan? Bagaimana keluarga Pak Dahlan dag-dig-dug mengikuti proses transplantasi? Bagaimana Pak Dahlan harus sangat sabar menunggu lever hingga masuk ke ruang operasi? Bisa jadi, semuanya benar. Pak Dahlan menguraikan semua itu secara runut, jernih, gamblang.
Deskripsi atau penggambaran Pak Dahlan--elemen paling penting dalam tulisan features--sangat sempurna. Sejak masih mahasiswa, saya menganggap tulisan-tulisan Pak Dahlan termasuk the best di Indonesia. Ayah dua anak ini [Azrul dan Isna] sangat piawai menggambarkan sesuatu dalam kata-kata. Ibarat persilatan, Pak Dahlan termasuk pendekar pilih tanding. "Seng ada lawan," kata orang Ambon.
Namanya juga pendekar di rimba silat jurnalisme, Pak Dahlan memperkenalkan gaya baru dalam penulisan biografi di Indonesia. Judul buku memang GANTI HATI, proses transplantasi, pascatransplantasi, dan pernak-perniknya. Namun, kalau disimak baik-baik, Dahlan Iskan ingin bercerita tentang siapa sebenarnya dia. Buku ini menjadi ajang bagi Dahlan Iskan untuk menulis dirinya sendiri. Membeberkan dirinya kepada publik.
Masa kecil di Takeran, Magetan. Keluarga yang sangat miskin [kemiskinan struktural, miskin ramai-ramai.] "Baju kami sekeluarga tidak lebih dari 10," tulis Pak Dahlan. Saking bersahajanya, Dahlan kecil tak beralas kaki saat sekolah. Maka, cita-citanya sederhana saja: ingin punya SEPATU meskipun rombengan.
Gambaran kemiskinan di Takeran, kampung halaman Pak Dahlan, mungkin dramatis buat teman-teman yang tinggal di kota besar. Tapi bagi orang-orang desa, apalagi di luar Jawa, apalagi di Flores, bukan hal yang luar biasa. Memang demikianlah wajah kemiskinan di kampung-kampung kita.
Baju sekeluarga tak sampai 10. Rumah lantai tanah. Dinding bambu, atap daun kelapa (atau alang-alang). Tak pernah makan daging. Sebutir telur dimakan lima atau enam orang. Sekolah tak pakai sandal, apalagi sepatu. Banyak orang meninggal dunia karena tak ada dokter dan rumah sakit.
"Ah, ceritanya Pak Dahlan kok macam kita di Flores ya," komentar Frans, pria asal Flores, yang kerja di sebuah pabrik di Sidoarjo.
Nah, di sinilah menurut saya benang merah yang hendak disampaikan Pak Dahlan Iskan dalam bukunya. Yakni, MOTIVASI untuk berubah. Motivasi untuk mengubah nasib ke arah yang lebih. Okelah, kita lahir di kampung pelosok, desa terpencil, orang tua sangat miskin, penuh kekurangan. Tapi jangan sekali-kali engkau tangisi kemiskinanmu. Engkau harus kerja keras, kerja keras, kerja keras.
Jangan lupa berdoa [di buku ini terungkap bahwa Dahlan Iskan itu santri yang sangat religius]! Sebab, Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang kalau orang itu sendiri tidak mau mengubahnya. Jika masa lalumu yang miskin itu dikelola, dijadikan motivasi, maka hasilnya luar biasa. Pak Dahlan, kita tahu, merupakan 'raja media' di Indonesia. Ia mengelola ratusan media, sekian puluh anak perusahaan, yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Saya mulai membangun Jawa Pos dari sebuah koran yang hampir bangkrut. Saya harus bekerja sepanjang malam. Besoknya tidak pakai libur. Bahkan, sudah bekerja sejak pagi lagi. Sampai malam lagi. Begitu seterusnya. Tidak libur.
"Besoknya sepanjang malam lagi, sepanjang siang lagi dan sepanjang malam lagi. Tujuh hari seminggu, 30 hari sebulan, 350 hari setahun, dikurangi saat bepergian," tulis pria kelahiran 17 Agustus 1951 ini.
Oh, ya, mengenai tanggal lahir 17 Agustus ini ada cerita lucu di halaman 202 yang bikin anda tertawa-tawa. Ternyata, tanggal lahir itu dikarang sendiri oleh Pak Dahlan karena di Takeran tidak ada catatan kelahiran.
"Bagi saya, tidak tahu tanggal lahir tidak penting-penting amat. Saya putuskan sendiri saja: saya lahir tanggal 17 Agustus 1951," tulis Pak Dahlan. Hehehe....
Buku ini juga bernilai religius. Religiositas ala Dahlan Iskan, tentu saja. Di sepanjang tulisan-tulisannya Pak Dahlan 'menyusupkan' filosofinya tentang doa, Tuhan, hidup, umur manusia, kritiknya terhadap takhayul, serta pandangan-pandangan keagamaan yang picik. Ada muatan sekularisasi [harus dibedakan dengan sekularisme lho!] dan rasionalisasi paham keagamaan yang sangat kuat.
Saya terkesan dengan cerita tentang doa Pak Dahlan sebelum menjalani operasi cangkok hati pada 6 Agustus 2007. Pak Dahlan saat disorong memasuki ruang operasi mengaku belum sempat berdoa. Lalu, dia ingat, sebagai orang beriman, harus berdoa, apalagi menghadapi momen sangat krusial dalam hidupnya. Tapi doa apa?
"Saya tidak mau ada kesan bahwa saya sombong kepada Tuhan. Tapi, segera saja saya terlibat perdebatan dengan diri saya sendiri: harus mengajukan permintaan apa kepada Tuhan? Bukankah manusia cenderung minta apa saja kepada Tuhan sehingga terkesan dia malas berusaha?
"Saya tidak mau Tuhan mengejek saya sebagai orang yang bisanya hanya berdoa. Saya tidak mau Tuhan mengatakan kepada saya: Untuk apa kamu saya beri otak kalau sedikit-sedikit masih juga minta kepada-Ku?
"Karena itu, saya memutuskan tidak akan banyak-banyak mengajukan doa. Saya tidak mau serakah. Kalau saya minta-minta terus kepada Tuhan, kapan saya menggunakan pemberian Tuhan yang paling berharga itu: OTAK? Maka, saya putuskan akan berdoa sesimpel mungkin," papar Dahlan Iskan.
Singkat cerita, Pak Dahlan pun berdoa menjelang operasi. Doa pendek, cermin kepribadiannya. "Tuhan, terserah Engkau sajalah. Terjadilah yang harus terjadi...." tutur Pak Dahlan.
http://hurek.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar