Gunung Egon, tegak angkuh. Ia menancap kokoh di Pulau Flores. Dari lereng gunung yang dalam kurun 2 tahun, sudah tiga kali meletus itu, pesona keindahan alam menakjubkan. Sejauh mata memandang, terbentang lautan biru tak bertepi. Dibalik pesonanya, gunung Egon ternyata juga menyimpan bahaya.
Jika Egon meledak dahsyat, kemana penghuni pulau ini lari. Menuju gunung, berhadapan dengan lahar panas dan hujan debu. Turun ke pesisir, terhadang samudra. Bayangan ini mungkin terlalu dramatis, tapi melihat Egon yang terus aktif, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Waspada dan siaga, pada akhirnya hal penting yang harus dilakukan masyarakat setempat.
Seperti gunung Merapi di Yogyakarta dan gunung Kelud di Kediri, masyarakat di sekitar gunung Egon, juga memiliki kearifan lokal sendiri. Mereka seakan tahu, kapan gunung berbahaya dan kapan ia bersahabat. Pada zaman yang telah lahir teknologi pembaca aktivitas gunung api, idealnya bisa dipadukan antara kearifan lokal dengan kecanggihan teknologi.
Meski pada realitanya, masyarakat di sekitar daerah rawan bencana, kerap mengabaikan ramalan teknologi itu. Seperti, di desa Bahukrenge yang berjarak kurang dari 3 km, dari bibir kawah Egon. Meski pada 2004, para ahli volcanologi telah merekomendasikan desa ini dikosongkan, masyarakat bergeming.
Adeo Datus Dewa, kepala desa Bahukrenge, menolak untuk mengosongkan desa itu. Sebuah desa bak surga, di gugusan kepulauan Flores yang kering dan tandus. Desa ini penghasil sayuran dan beras. Tempat subur bercocok tanam dan jauh dari paceklik yang selalu menghantui masyarakat NTT, umumnya.
“Ini tanah kami, warisan dari nenek moyang kami. Di sini tanahnya subur. Kami tidak takut gunung meletus”, tandas Adeo Datus Dewa, kukuh.
Tatkala gunung Egon meletus, Selasa malam, (15/4/2008), Adeo dan warga Bahukrenge, hanya panik sesaat. Mereka menghambur keluar rumah, cari tempat perlindungan. Setelah fajar menyingsing, mereka kembali ke desa lagi. Meski debu tebal menutup desa dan bau belerang menyengat, warga Bahukrenge seperti sudah terbiasa.
Padahal, letusan gunung Egon, April lalu cukup dahsyat. Semburan debunya mencapai radius puluhan kilometer, dengan ketebalan mencapai 0,5 cm. Desa desa di lereng gunung Egon yang terkena dampak parah letusan ini, meliputi, Egon Gahar, Hale dan Hedi, Nangatobong, dan Bahukrenge. Bahkan, debu Egon sampai di sepanjang trans Maumere – Larantuka.
Sebelum hujan turun, bau belerang dan debu, amat mengganggu kesehatan warga Desa Bahukrenge. Tapi mereka enggan mengungsi, karena menganggap letusan ini sudah biasa terjadi. Mereka bertahan di dalam rumah. Setelah air hujan mengendapkan debu, warga Bahukrenge kembali aktif bercocok tanam.
Masyarakat desa ini, sebenarnya pernah direlokasi. Tapi gagal, mereka kembali ke Bahukrenge lagi. Seperti diakui Adeo, kesuburan lahan menjadi alasan kuat penolakkan itu. Setiap Rabu, Bahukrenge diramaikan para pendatang dari desa desa bawah dan pesisir. Seperti dari kota Maumere. Bahukrenge, tiap Rabu jadi pasar sayur. Mobil pick up berdatangan ke desa itu, mengangkut hasil bumi lereng Egon. Pada hari biasa, ganti warga Bahukrenge yang turun ke kota menjual hasil pertaniaannya.
Menurut Adeo Datus Dewa, hasil pertanian desa Bahukrenge, dapat mencukupi kebutuhan sayur mayur masyarakat se-Flores. Namun, meski daerah subur, masyarakat desa ini tak sesejahtera petani di Lembang, Bandung, dan petani di pulau Jawa. Kehidupan mereka, masih mentok di bawah garis kemiskinan.
Tingkat pendidikan masyarakat Bahukrenge, juga rendah. Sejak letusan Egon 2004, di desa ini tidak ada lagi sarana pendidikan dan fasilitas umum lainnya. Gedung sekolah dasar yang semula ada, sudah ditutup, pindah ke desa Egon Gahar. Anak anak Bahukrenge, harus menempuh jarak 3,5 km, menuju desa paling bawah, jika ingin sekolah.
Medan menuju Bahukrenge cukup sulit. Selain jalannya sempit, juga berliku, dengan aspal yang mulai hancur. Pasca letusan itu, akses jalan raya juga terputus oleh debu tebal. Dua pekan kemudian, baru bisa dibuka
dengan pengeruk traktor.
“Kami tak dapat menjangkau Bahukrenge. Bantuan hanya bisa sampai di desa bawah”, terang Iman Surahman, koordinator lapangan Dompet Dhuafa Republika (DD) yang terjun membantu korban letusan gunung Egon.
Menurut Iman, distribusi air bersih yang dilakukan relawan DD, hanya sampai di Desa Nangatobong, Egon, dan Egon Gahar. Desa Bahukrenge, tidak dapat ditembus dengan truk tangki air.
“Bahukrenge memang paling rawan bahaya. Tapi kelihatannya, masyarakat tidak punya pilihan lain kecuali harus menetap”, kata Iman yang selama satu pekan berada di lokasi.
Tak mudah memang, menerapkan teori dan standar keselamatan jiwa secara ideal. Saat menyentuh urusan perut dan kelangsungan hidup, marabahaya seakan tidak menakutkan. Mereka telah mengakrabi ancaman bencana, dengan kearifan lokal, berdasar keyainan mereka.
Jika keyakinan itu salah? Entahlah, yang pasti cara hidup menantang maut seperti itu, kerap kita jumpai di masyarakat kecil negeri ini. Mereka yang berada dekat dengan daerah rawan bencana, maupun mereka yang terjerat akar kemiskinan.
Satu hal bisa kita pelajari, mereka tak menjalani hidup ini, dengan cara cara mudah, seperti korupsi. Mereka punya semangat, keberanian, dan harga diri, untuk hidup bermartabat.
Sumber: sunaryo-adhiatmoko.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar