Negeri ini betul-betul surga bagi koruptor. Meskipun sudah dipenjara, berbagai fasilitas akan tetap dinikmati para koruptor. Kado kemerdekaan dari pemerintah juga mereka nikmati, berupa remisi, bebas bersyarat, dan grasi.
Sekitar 341 terpidana korupsi (koruptor) diberi hadiah kemerdekaan. Salah satunya adalah besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Aulia Pohan, bersama tiga rekannya dalam kasus yang sama, yang mendapat pembebasan bersyarat. Yang lebih fantastis diterima Syaukani Hassan Rais, Presiden memberinya grasi (pengampunan) yang sebelumnya divonis enam tahun penjara.
Kendati kebijakan itu memiliki dasar hukum, tetapi akan melemahkan semangat antikorupsi bagi aparat penegak hukum yang begitu susah payah membawa koruptor ke pengadilan. Kerja keras mereka jadi sia-sia, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). United Nations Convention Against Corruption mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).
Membudayakan perang terhadap kejahatan luar biasa mestinya terus digelorakan, bukan dilemahkan.
Korupsi melibatkan nama-nama besar dan merampas nilai-nilai kemanusiaan sehingga dalam memeranginya butuh tindakan berskala besar, cara-cara yang luar biasa dengan dukungan politik kuat dan nyata dari Presiden. Salah satu bentuk luar biasa adalah tidak memberikan remisi, pembebasan bersyarat, dan grasi bagi koruptor.
Fasilitas hukum
Kalau perbuatan para koruptor terbukti di sidang pengadilan, mereka tetap tak akan khawatir sebab negara menyiapkan berbagai fasilitas. Setelah divonis penjara sekian tahun dan berkekuatan hukum, mereka masih bisa memanfaatkan mekanisme peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Di sini, mereka bisa menikmati korting masa tahanan, bahkan bisa dibebaskan. Lihat saja Artalyta Suryani, yang dipidana karena menyuap seorang jaksa, hukumannya dikorting oleh hakim PK dari lima tahun penjara menjadi empat tahun enam bulan penjara.
Kehidupan koruptor di penjara juga enak lantaran mendapat perlakuan istimewa. Dengan sedikit mengeluarkan duit hasil korupsi, petugas lembaga pemasyarakatan bisa ditaklukkan. Kamar tahanan disulap menjadi kamar yang memiliki fasilitas bagai hotel berbintang. Bukan hanya itu, mereka juga bisa leluasa cuti atau keluar tahanan menemui keluarga dan koleganya, semuanya karena main mata dengan oknum petugas lembaga pemasyarakatan.
Atas nama pembinaan, para koruptor juga bisa masuk kategori itu. Jika berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa hukuman, mereka akan diberikan remisi atau pembebasan bersyarat di hari kemerdekaan dan hari raya keagamaan. Dalam bulan Ramadhan ini, koruptor akan menikmati dua hadiah. Selain hadiah kemerdekaan yang sudah diterima, juga di hari raya Idul Fitri nanti akan memperoleh lagi parsel Lebaran berupa remisi.
Menggunakan fasilitas hukum tentu hak setiap terpidana, tetapi tidak bagi koruptor yang jelas-jelas menyengsarakan kehidupan rakyat. Presiden Yudhoyono telah mencederai sendiri komitmennya yang diungkap dalam pidato 16 Agustus 2010 di hadapan anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah. Presiden mengatakan, ia akan tetap berkomitmen memberantas korupsi yang disebutnya ”reformasi gelombang kedua” sebagai kelanjutan reformasi gelombang pertama (1998-2008).
Menoleransi koruptor dengan fasilitas remisi, pembebasan bersyarat, apalagi grasi tak lebih dari upaya menarik simpati rakyat. Caranya, dibungkus dengan ”belas kasihan” dan ”penghargaan hak asasi manusia”. Inilah presiden pertama di negeri ini yang memberikan pengampunan bagi koruptor. Kalaulah presiden sensitif terhadap penderitaan rakyat, apalagi tidak mencederai rasa keadilan, sudah pasti rakyat akan merasa bahagia di hari kemerdekaan tahun ini.
Hukuman memiskinkan
Boleh saja menggerutu atau mencaci koruptor karena serakah mencoleng uang rakyat. Namun, penilaian bisa berbeda dengan pemerintah, koruptor juga manusia yang perlu dihormati hak asasinya, apalagi ada dasar hukumnya. Ada UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan untuk memberikan remisi dan pembebasan. Juga Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 yang digunakan Presiden memberi grasi kepada Syaukani.
Pola pemidanaan yang dipakai saat ini tidak akan memiliki efek jera bagi terpidana, terlebih bagi calon koruptor. Penjara bukan satu-satunya cara penjeraan sebab dalam Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pidana tambahan berupa ”pembayaran uang pengganti dan denda” bisa diterapkan.
Penerapan uang pengganti dan denda bertujuan untuk ”memiskinkan” koruptor dengan menyita semua harta yang diperoleh dari korupsi. Uang pengganti sebesar jumlah yang dikorupsi, sedangkan denda berdasarkan jumlah yang seharusnya diperoleh negara seandainya dana yang dikorupsi itu dimanfaatkan. Sayang, filosofi hukuman pemiskinan ini tidak efektif lantaran masih dilapisi ketentuan: jika terpidana tidak mampu membayar uang pengganti dan denda, diganti dengan pidana penjara, yang tentu saja bisa diberi remisi atau grasi lagi.
Revisi UU Korupsi perlu menekankan pidana pemiskinan sebab penjara maksimal sekalipun tidak akan menimbulkan efek jera jika masih tersedia fasilitas remisi. Belum lagi putusan hakim yang umumnya ringan, bahkan tidak sedikit yang diputus bebas. Toleransi kepada koruptor akan semakin membuat negeri ini sebagai tempat yang menyenangkan (surga) bagi koruptor.
Marwan Mas, Dosen Ilmu Hukum dan Direktur Pascasarjana Universitas 45, Makassar
Sumber: Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar