Maraknya kasus perampokan bersenjata yang mengiringi peningkatan kasus bunuh diri dalam keluarga, kematian beruntun akibat meminum minuman keras atau jamu oplosan, dan kematian akibat ledakan gas menjadi bukti bahwa negara telah gagal menyejahterakan rakyatnya. Pancasila, sebagai dasar dan filosofi berbangsa, juga terasa tak ada lagi.
Demikian kesimpulan yang bisa ditarik dari percakapan Kompas secara terpisah dengan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Farid Wajdi, Selasa (24/8).
”Pancasila sepertinya sudah tidak ada lagi,” papar Syafii yang dihubungi dari Jakarta. Kiki juga menilai Pancasila sudah semakin direduksi sehingga kesejahteraan rakyat susah terwujud di negeri ini.
”Dari hulunya kita sudah salah. Kita mengingkari Pancasila karena mengganti sikap kekeluargaan dalam filosofi hidup bangsa ini dengan individualisme dan liberalisme. Jika bangsa ini mementingkan individualisme, sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, tak akan pernah terwujud,” ujar Kiki yang juga Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat.
Menurut Kiki, dengan ketidakmampuan bangsa ini mewujudkan kesejahteraan, perilaku kekerasan dalam masyarakat sudah menjadi keniscayaan. Ketika negara gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat, implikasi dari menurunnya performa ekonomi itu adalah kriminalitas dan frustrasi sosial.
Kiki mengatakan, basis kultural bangsa ini bukanlah individualisme dan liberalisme. Ujung dari individualisme dan liberalisme adalah kapitalisme, bukan demokrasi. Kapitalisme tak akan memberikan keadilan sosial. ”Kondisi ini harus dibenahi,” katanya.
Kata dan laku tak sejalan
Syafii menambahkan, berbagai fenomena memprihatinkan yang muncul di masyarakat belakangan ini juga merupakan wujud dari kegagalan negara dalam menegakkan hukum selain mengurangi kesenjangan ekonomi. ”Kalaupun pemerintah punya iktikad, mereka gagal melaksanakannya,” katanya.
Menurut dia, permasalahan jelas ada pada kepemimpinan. ”Pada periode yang lalu masih mending, satu rem, satu gas, sehingga masih ada kemajuan. Kalau sekarang, dua-duanya rem,” kata Syafii.
Kepemimpinan yang ada saat ini dinilainya tidak tegas. Walaupun di media massa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seakan-akan tegas, seperti teguran yang diarahkan kepada menterinya, pada kenyataannya tidak terwujudkan.
”Kata dan laku sudah tidak sejalan lagi,” ujar Syafii.
Turunannya tersebut tampak hingga pada sepak terjang menteri. ”Ini republik apa kerajaan sih,” kata Syafii.
Kiki juga sepakat adanya titik lemah pada kepemimpinan nasional. Kondisi ini membuat upaya untuk menyejahterakan rakyat kian sulit terwujud selain kewibawaan bangsa ini di mata internasional, termasuk di mata negara tetangga, semakin terpuruk.
Saat ini, kata Syafii, berbagai pihak sudah menyatakan pendapat, baik melalui tulisan maupun kata. Namun, pemimpin bangsa ini rupanya bergeming. ”Intinya, tidak bertindak. Lemah sekali,” kata Syafii lagi.
Tak mampu melayani
Farid Wajdi pun mengakui, Indonesia sudah berada di ambang kegagalan sebagai negara. Hal ini ditandai oleh ketidakmampuan pemerintah memberikan pelayanan kepada warganya. Berbagai fenomena miris yang terjadi di masyarakat sesungguhnya menunjukkan pemerintah saat ini tak dapat menjadi penyelenggara negara yang baik.
”Kasus perampokan tidak berdiri sendiri. Ini adalah rentetan persoalan sosial yang tidak bisa diselesaikan pemerintah. Perampokan bersenjata mungkin adalah reaksi dari respons pemerintah yang rendah terhadap persoalan ketidakadilan,” ujarnya.
Menurut Farid, alih-alih menyelesaikan persoalan, pemerintah malah tak sanggup mengatasi permasalahan substansial bangsa ini. Warga negara yang tak punya akses terhadap pengadilan sering menjadi korban, koruptor justru mudah memanipulasi hukum.
Sumber: Kompas, Rabu, 25 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar