Rabu, 22 Desember 2010
Ibu Dalam Pandangan Islam
Segala puji bagi Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, yang telah mengangkat kita dari setitik air yang hina menjadi mahluk yang sempurna, shalawat berserta salam tak lupa kami curahkan untuk nabi Muhammad shalallahualaihi wassalam yang atas perjuangannya membawa kita kepada agama yang hak
Ibu... betapa indah dan sucinya kata ini. Kata yang membawa wanginya keramahan dan cinta kasih ke dalam jiwa, dan membuat kita merasakan kehangatan dan kemurniannya.
Dunia barat sekarang baru menemukan nilai mulia Ibu, sedangkan umat Islam telah berabad-abad mempercayai kedudukannya yang mulia berdasarkan ajaran Ilahi melalui Islam. Islam percaya pada nilai ibu yang luar biasa, dan telah menarik perhatian manusia melalui berbagai ungkapan dan pernyataan. Bahkan Islam menganggap bahwa mencapai tahap akhir kesempurnaan, yakni Surga, tergantung pada keridhoan sang Ibu. Rasulullah bersabda : "Syurga terletak di bawah telapak kaki Ibu..."
Dalam memuliakan kedudukan Ibu, Islam tidak membatasi diri pada nasihat, perintah dan anjuran lisan. Tetapi Islam juga memandang perintah dan larangan Ibu sebagai suatu kewajiban untuk dilaksanakan dalam hal-hal tertentu. Misalnya apabila seorang anak ingin berpuasa sunnah, atau melakukan suatu perjalanan yang disunnahkan, tetapi sang Ibu melarangnya, maka wajiblah untuk si Anak menaati Ibunya. Apabila anak itu melawan kehendak ibunya, maka bukan saja ia tidak memperoleh pahala karena amalnya itu, melainkan ia justru memperoleh dosa dikarenakan penolakannya untuk menaati ibunya.
Hal lain dimana perintah ibu dihormati sebanding dengan Allah ialah apabila perintah Allah berlawanan dengan larangan Ibu, dengan syarat bahwa perbuatan itu tidak termasuk dalam perintah yang wajib seperti shalat fardhu atau puasa di bulan Ramadhan. Misalnya dalam masalah Jihad, orang yang mampu berperang harus ikut serta dalam pertempuran. Tetapi apabila seorang muda memenuhi semua persyaratan untuk pergi berjihad, kecuali bahwa ibunya tidak mengizinkannya pergi (dengan syarat bahwa keabsenannya tidak membahayakan umat Islam), maka ia boleh untuk tidak ikut peperangan semata-mata karena larangan ibunya.
Kisah seorang anak yang ingin sekali pergi ke medan Jihad untuk kemajuan Islam. Tetapi ibunya tidak mengizinkan meninggalkannya untuk pergi berperang. Nabi yang Mulia bersabda :
"Pergilah untuk tinggal bersama ibumu. Saya bersumpah kepada Tuhan yang memilih saya sebagai Nabi, bahwa pahala yang engkau dapatkan untuk melayaninya meskipun hanya semalam, dan membahagiakannya dengan kehadiranmu, jauh lebih besar dari pahala perang jihad selama satu tahun"
Islam memandang penghormatan kepada orang tua dan pelaksanaan hak-hak mereka sebagai kewajiban manusia terbesar setelah perintah Ilahi. Al-Qur'an mengatakan dalam hubungan ini, "...bersyukurlah kamu kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu..." (Qs. Luqman : 14). Perlu diperhatikan bahwa disini Allah Ta'ala segera setelah menyebut Hak-Nya sendiri, menyebutkan hak kedua orang tua.
Seorang lelaki datang kepada Nabi seraya berkata, "Wahai Nabi Allah... Tunjuki saya, kepada siapa saya harus berbuat baik untuk mendapatkan manfaat yang sempurna atas amal kebajikan saya?" Beliau bersabda, "Berbuat baiklah kepada Ibumu...". Lelaki itu bertanya dua kali lagi, "Dan sesudah beliau?" Nabi menjawab, "Kepada Ibumu...". Lelaki itu bertanya, "Kepada orang lain siapakah saya mesti berbuat baik pula?" Nabi bersabda, "Kepada Ayahmu..."
Allah memberikan kecerdasan pada setiap perempuan. Karena itu pada perempuanlah anak dititipkan. Sebuah ibroh yang perlu kita teladani dari seorang perempuan yang telah menjadi sosok Ibu yaitu Siti Hajar. Beliau mengajarkan sebuah makna kecerdasan tak lagi berbatas pada kecerdasan akal. Kecerdasan ini pula yang kemudian diwarisi oleh sahabiyah-sahabiyah si masa Rasulullah, antara lain Aisyah, Fathimah, Asma binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar bin Khaththab, dan sederet nama besar lainnya. yang telah melahirkan generasi Mujahid sekelas Hasan dan Husain, serta Abdullah bin Zubair bin Awwam.
Kecerdasan itu niscaya tak pernah hilang, selama keikhlasan senantiasa bersemayam di hati seorang wanita. Mereka adalah perempuan-perempuan yang sama dengan kita. Mereka adalah perempuan-perempuan yang diciptakan sama dengan apa yang kita miliki. Dengan demikian, kecerdasan yang mereka milikipun tak mustahil kita miliki.
Kecerdasan yang sebenarnya adalah yang berasal dari sebuah hati yang sepenuhnya tunduk dihadapan kehendak-Nya. Kecerdasan itu hadir dari sebuah keikhlasan dan prasangka baik pada setiap takdir yang dibentangkan oleh Yang Maha Perkasa dalam kehidupan.
Sungguh, ketundukkan hatilah yang telah menghantarkan Hajar, seorang ibu yang sebelumnya hanyalah seorang budak, mampu mendidik anaknya (Nabi Ismail) hingga beranjak remaja, saat kembali bertemu dengan suaminya (Nabi Ibrahim). Tanpa keluh, tanpa hasrat untuk meninggalkan anggapan buruk tentang Ayah dalam benak anaknya. Hanya kepasrahan yang ditularkannya pada sang anak, tentang keyakinan bahwa perintah Tuhan nya tak akan membuat seorang hamba menderita.
Akhirnya dengan segenap kekuatan dan potensi, kaum perempuan untuk belajar melakukan yang terbaik. Jangan ada pandangan perempuan itu makhluk yang lemah. Sesungguhnya semua perempuan suatu saat akan menjadi seorang ibu yang diamanahi seorang anak sebagai tanggung jawab utama. Di pundak kita tertumpu kewajiban untuk menjadikannya Mujahid dan Mujahidah sejati. Semoga Allah subhanahuwataala selalu menuntun kita dalam meniti kehidupan yang semakin berat tantangannya. Dan kita akan selalu menghormati, menyayangi orang tua kita. Selalu mendoakan orang tua kita agar diampuni semua kekhilafannya.
Amiin Ya Allah...
Sumber: darmaccti.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar