Patih Laman
Keteguhannya dalam mempertahankan alam dan isinya, Patih Laman mendapatkan penghargaan dari WWF Internasional dan Kalpataru dari Presiden Megawati Soekarnoputri. Namun pria gaek ini pernah tersirat untuk mengembalikan piala kalpataru kepada pemerintahan SBY karena kecewa hutan suku pendalaman Talang Mamak terus dijarah.
Tubuhnya yang kecil dibalut kulit sawo matang, Laman kini kondisinya sering sakit-sakitan. Pak tua ini jiwanya terus gelisah melihat piala kalpataru yang pernah diberikan pimpinan tertinggi di negeri ini. Piala kalpataru itu seakan momok yang menakutkan bagi dirinya.
Bagaimana tidak menakutkan, kalpataru itu sebuah amanah yang dititipkan negara kepadanya selaku orang pelindung dan pencinta alam. Tapi bagi Laman, kalpataru itu sudah tidak ada gunanya lagi. Sebab, pemerintah tidak mampu membendung laju kerusakan hutan alam di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dimana komunitas suku pedalaman Talang Mamak berada.
"Buat apa kalpataru ini, kalau toh hutan kami terus dijarah. Saya sudah tua, tak mampu lagi membendung lajunya kerusakan hutan itu. Tak ada gunanya kalpataru ini diberikan kepada saya, kalau hutan kami juga terancam punah," keluh Patih Laman dalam perbincangan dengan detikcom.
Namanya sebenarnya hanya Laman. Sedangkah Patih, sebuah gelar tertinggi di suku Talang Mamak. Maka, lengkaplah namanya dikenal dengan sebutan Patih Laman yang kini usinya sekitar 80 tahun. Tapi dia tidak tahu persis tanggal, bulan dan tahun berapa dia lahirkan.
Patih Laman ini terlahir Desa Durian Cacar, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Sebagaimana masyarakat Talang lainnya, Patih Laman juga tidak mengenal huruf dan angka. Dia bercerita, era Soeharto, dia tegak berdiri dan siap mati di depan ratusan truk pengangkut balak liar. Sebagai tampuk pimpinan adat, dia berdiri paling depan menghadapi truk pengangkut balak liar yang dikawal dengan aparat bersenjata.
Waktu itu, Laman memerintahkan mereka untuk menurunkan kayu-kayu gelondongan. Karena mereka, para pembalak liar ini telah mengambil hasil hutan tanpa izin dari pemiliknya, yakni suku Talang Mamak. Kesabaran pemimpin adat Talang Mamak ini sudah benar-benar habis.
"Kami sudah cukup bersabar, melihat hutan kami terus dijarah. Pahal hutan merupakan tempat anak-anak kami belajar. Waktu itu tak ada cerita negosiasi. Yang ada cuma, kayu harus diturunkan. Bila tidak, maka langkahi dulu mayat saya,” kata ayah dari empat anak dan suami dari Saeyam itu mengenak masa lalunya yang masih mampu menghalangi pembalakan liar.
Begitulah terus menerus Laman menghadapi pembalakan liar di desanya. Itu sebabnya, suku Talang Mamak memberinya gelar Patih, sebagai tokoh religius dan petinggi adat higga sekarang. Sejak saat itu lelaki yang berambut putih yang panjangnya sepinggang dan berkacamata tebal ini dikenal dengan sebutan Patih Laman. Sikapnya yang konsisten dan tegas membuatnya juga dipanggil "Pak Garang".
Sikap Patih Laman yang tegas terhadap pembalakan liar ini, berhasil meyakinkan para pembuat kebijakan daerah dan dunia internasional tentang arti penting hutan bagi keturunan suku Talang Mamak. Sebuah sejarah baru mengukir, Patih Laman yang dikenal juga sebagai “orang pintar” pada November 1999 silam, mendapat anugrah tertinggi dari World Wide Fund for Nature (WWF) International for Conservation. Ia dianugerahi sebagai tokoh yang berhasil mempertahankan kawasan hutan beserta adat istiadat masyarakat yang dipimpinnya. Penghargaan itu diberikan di Sabah, Malaysia.
Laman bercerita, sebagai orang yang hidup di pedalaman, dia juga bingung ketika diajak ke Malaysia untuk menerima penghargaan dunia internasional itu. Maklumlah, yang namanya berangkat keluar negeri, tentulah harus memiliki beberapa bersyaratan. Misalnya, KTP, dan paspor agar bisa menyeberang ke negeri jiran itu.
"Kalau bukan karena berangkat ke Malaysia, mungkin saja tidak punya KTP sampai sekarang. Sejak saya lahir, baru tahun 1999 itulah saya memiliki KTP. Dan ketika menerima penghargaan di Malaysia yang diberikan orang-orang bule itu, saya sendiri tidak tahu apa-apa. Saya mendapat sorakan yang gemuruh, tapi saya juga bingung harus ngomong apa," kata Laman polos mengenang masa lalunya.
Bila mengenang masa lalu, maka kakek ini, memilih lebih enak hidup semasa kepemimpinan Presiden Soekarno. Menurut Patih Laman, masyarakat Talang Mamak lebih banyak tahu tentang perjuangan Soekarno. Walau mereka di dalam hutan, tak sedikit pula di rumah penduduk Talang Mamak terpampang foto Soekarno.
Padahal ketika Belanda masih berkuasa, tak sedikit pula hutan alam mereka dijarah penjajah. Suku Talang Mamak juga tidak bisa berbuat banyak melihat hasil hutan alam di Indragiri diboyong ke negeri penjajah.
“Tapi begitu Indonesia merdeka, saya masih ingin Pak Karno lewat karesidenan di Indragiri memberikan hak penuh atas tanah ulayat kami sendiri. Tapi, begitu zaman Soeharto dan sampai sekarang, tanah ulayat kami pun luluh lantak (hancur) dijadikan perkebunan dan HPH,” kata pengagum Soekarno itu.
Pada masa Orde Baru, pencaplokan lahan Talang Mamak merupakan yang paling besar. Setiap kali ada pembukaan perkebunan dan pemberia areal HPH, Laman selalu protes. Mulai tingkat desa, kecamatan, bupati sampai ke gubernur. Laman terus maju melawan pemerintah yang dengan gampangnya memetakan habitat mereka dijadikan perkebunan. Tapi semua itu tidak pernah digubris.
Malah, kata Patih Laman, sakin getolnya melakukan perlawanan pada masa Orde baru, dia pun dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh pemerintah Provinsi Riau di tahun 1990-an. Tuduhan sebagai anggota PKI itu disampaikan Gubernur Riau waktu itu Soeripto dari TNI AD ketika Patih Laman membawa kelompoknya berdemo menolak pelepasan kawasan hutan.
"Waktu kami demo ke kantor gubenur, kami dituduh PKI. Saya jawab gampang saja. Pak Gubernur, kami ini buta huruf, tak tahu apa itu PKI. Karena bapak yang tahu apa sebenarnya PKI, berarti bapak Gubernurlah yang PKI itu,” kata lama yang membuat Gubernur Riau Soeripto tertegun diam seribu bahasa saat itu.
Kakek yang tengah mempersiapkan anak lelakinya sebagai penggantinya dalam memimpin suku Talang Mamak ini juga berhasil mendapat perhatian nasional. Laman memperoleh penghargaan Kalpataru yang langsung disampaikan Presiden Megawati Soekarnoputri, 5 Juni 2003, di Istana Merdeka. Ia dinilai layak dinobatkan sebagai tokoh perintis yang mampu menggerakkan warga di sekitarnya untuk mempertahankan hutan mereka.
"Walau Patih Lama itu buta huruf, tapi pikiran malah sangat terbuka. Dia menjalin hubungan hingga ke Istana Presiden dan DPR di Jakarta ketika pendekatan pada pemimpin daerah sudah menemui jalan buntu. Dia juga mengembangkan kerja sama dengan organisasi kemanusiaan dan pemerhati lingkungan yang independen, seperti Komnas HAM serta LSM Alam Sumatera, hingga WWF," kata Mangara Silalahi, Direktur Alam Sumatera.
Kini, Patih Laman menginginkan keseriusan Presiden SBY, untuk menyelamatkan sisa hutan yang tersisa di TNBT. Tak berguna, kalpataru berada di tangan Patih Laman, jika hutan mereka terus dijarah untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Sekarang, kita tunggu keseriusan SBY dalam menyelamatkan hutan. Tapi jika gagal, gakanya perlu masyarakat luas mendukung Patih Laman untuk segara mengembalikan kalpataru kepada pemerintah.
Sumber: detiknews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar