Selasa, 15 Maret 2011

Mewaspadai Politisi Busuk dan Demokrasi Kolusif

http://amazingworld.blogdetik.com/files/2009/12/shame17-300x297.jpg


Sejak periode kedua kepemimpinannya (terlebih lagi selama tahun 2011 ini) presiden SBY beserta konco-konconya selalu saja mempertontonkan kepada rakyatnya sendiri pementasan ketoprak politik -yang sayangnya- sama sekali tidak lucu. Yang ada malah kita dibuat pusing.

Sehingga wajar jika ada yang berkesimpulan bahwa semua teori politik, baik lama mau pun kontemporer, seolah-olah tidak bisa membenahi realitas perpolitikan kita. Hal ini mengingatkan saya pada kampanye anti politisi busuk beberapa waktu lalu.


Politisi/Pejabat Busuk


Sejarah membuktikan, keadaan suatu bangsa takkan terperbaiki jika dikuasai politisi/pejabat busuk yang dililit mentalitas koruptif, vested interests, pembohongan publik, "mumpung" isme, individualisme, rasisme, dan premanisme. Jalan-jalan haram seperti komersialisasi suara rakyat, ancaman, teror dan ulah premanisme, dihalalkan dalam berpolitik.

Fakta money politics di kalangan politisi/pejabat busuk, misalnya, melukiskan disposisi nurani yang mulai tumpul dan sesat. Duit menjadi penguasa nurani. Suara rakyat kecil dikhianati. Padahal, mereka diantar rakyat kecil ke panggung politik. Kehendak rakyat kecil telah lama dikomersialisasi. Yang lebih memprihatinkan, kepentingan terselubung kaum politisi/pejabat busuk menggeser cita-cita dasar para pendiri republik yang ber-kemanusiaan, beradab, dan berkeadilan sosial.

Politisi/pejabat busuk memandang dunia dan isinya bukan sebagai kosmos, tetapi khaos dan realitas sosial yang perlu dipolitisasi. Egoisme individual dan kelompok dibenarkan dan disanjung. Dimensi tanggung jawab horizontal dan vertikal dari profesi politisi dilupakan. Politisi lalai memperhatikan kepentingan polls (baca: umum), lebih mengutamakan kepentingan individual dan sektarian. Lingkaran nepotistik mendominasi pikiran politisi busuk. Akibatnya, kepentingan rakyat dan fasilitas umum luput dari sorotan politisi busuk sebab mereka dilanda demoralisasi.


Virus Disorientasi

Politisi/pejabat busuk berpotensi menyebar virus sosial di dunia politik, ekonomi, dan kebudayaan. Virus itu bernama disorientasi yang lebih berbahaya dibandingkan dengan sapi gila atau flu burung atau nyamuk aedes aegipty. Kualitas fisik dan batin penderita mengalami deteriorasi yang kronis akibat virus ini. Tiba-tiba penderita kehilangan akal sehat, perasaan, rasa kepatutan, dan juga hati nurani.

Virus disorientasi hidup subur di lingkungan politik yang kumuh, seperti air parit. Joroknya lingkungan seperti itu telah menjungkirbalikkan akal sehat, melanggar nilai-nilai dan norma-norma sosial, mengabaikan rasa keadilan, dan mengacuhkan kepentingan rakyat.

Mengapa tubuh para politisi/pejabat itu busuk dan menebar virus? Mereka busuk karena otak mereka bebal, wajah tebal, hati nurani ba'al, dan kehilangan akal. Itulah jika terlalu lama berpolitik dan berkuasa. Dan temyata kelompok politisi/pejabat busuk itu beranak-pinak dengan cepat, seperti ecenggondok.

Bak makhluk seram dalam film Alien, mereka membuat koloni-koloni dengan menarik sekutu dari kalangan kampus, LSM, pengusaha, sampai dari dunia hiburan. Kenapa pula geng busuk ini cepat tumbuh menjalar seperti pohon dolar? Soalnya, sebagaimana halnya buah durian, menjadi busuk itu enak. Dari pada melarat, begitu busuk mereka langsung menambah istri, rumah, mobil, rekening dollar AS dan rupiah.

Orang-orang busuk ini sebenarnya ganjen. Walau sudah tenar dan kaya, mereka merambah ke mana-mana bagaikan Dasamuka berganti-ganti wajah. Ada pula kutu Ioncat yang hobi berganti-ganti partai politik seperti balita sehabis mandi ganti celana.


Demokrasi Kolusif

Jika realita perpolitikan saat ini dikomparasikan dengan gambaran ideal di atas, maka yang terlihat adalah berbanding terbalik antara kata dan laku. Hanya janji-janji semu. Dan, parahnya lagi, sepertinya tidak ada beda signifikan antara partai berbasis islam maupun sekuler.

Kesan yang dominan tertampilkan kepada public adalah bahwa mereka yang telah duduk di "kursi panas" itu ibarat lupa kacang pada kulitnya, habis manis sepah dibuang, dan seterusnya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Hemat penulis, hal itu disebabkan oleh karena masuknya mereka ke dalam lingkaran system –baik ekskutif maupun legislative dalam semua levelnya- menggunakan biaya politik yang tidak sedikit. Politik uang, politik dagang sapi, politik transaksional adalah beberapa istilah yang menggambarkannya.

Menurut Azyumardi Azra (Republika, 11/10/2010), istilah demokrasi kolusif (collusive democracy) merupakan terminologi baru dalam ensiklopedi demokrasi. Istilah ini dipopulerkan majalah The Economist pada 23 Oktober 2010, mengutip Harvard Kennedy School: Ash Center for Democratic Governance and Innovation dalam laporan "From Reformasi to Institutional Transformation: A Strategic Assessment of Indonesia's Prospect for Growth, Equity and Democratic Governance" (24 April 2010). Istilah ini sebelumnya digunakan Dan Slater, "Indonesia's Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition."

Apa yang dimaksud dengan demokrasi kolusif? Istilah ini dipinjam The Economist untuk menggambarkan perkembangan demokrasi Indonesia dan pemerintahan Presiden SBY sejak pasca-Pemilu dan Pilpres 2009. Demokrasi kolusif mengacu kepada perilaku politik Presiden SBY yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus dari pada kompetisi politik secara fair.

Demokrasi kolusif terlihat jelas dalam pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati dalam kabinet, ketiadaan parpol oposisi (yang efektif) di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Hasilnya, aliansi-aliansi politik itu sangat tidak stabil karena parpol-parpol terus membentuk aliansi, meningggalkan aliansi, dan membuat aliansi baru berdasarkan pertimbangan jangka pendek yang nyaris kosong dari komitmen ideologis dan kepentingan konstituen mereka.

Dengan demikian, demokrasi kolusif dalam pengertian tertentu dapat termasuk ke dalam salah satu bentuk KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), yang secara hukum sudah terlarang di Indonesia sejak masa pasca-Soeharto. Memang, secara konvensional, istilah kolusi lebih terkait dengan 'persekutuan gelap' yang merugikan keuangan dan aset negara dan publik.

Namun, demokrasi kolusif juga jelas merugikan pertumbuhan demokrasi dan kepentingan publik karena politik sebagian besarnya tetap merupakan 'kolusi' di antara elite politik, baik di tingkat nasional maupun lokal. Pada tingkat lokal, demokrasi kolusif menghasilkan oligarki elite politik dan partai, yang hampir tidak memberikan ruang bagi partisipasi politik rakyat secara signifikan dan efektif guna perbaikan kehidupan mereka. Sebaliknya, rakyat hanya diperlukan untuk mencapai agenda politik kolusif di antara para elite politik. Kepentingan rakyat hanya menjadi lips-service dan simbolik belaka.

Politik demokrasi kolusif yang bergabung dengan oligarki ekonomi mengakibatkan tetap bertahannya banyak hambatan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi; membuat tidak berfungsinya sistem dan penegakan hukum; berlanjutnya politik patrimonial; melucuti keberdayaan warga yang menimbulkan kemerosotan rasa kebangsaan. Politik demokrasi kolusif dan oligarki ekonomi membuat Indonesia tidak memiliki alat dan kemampuan memadai untuk menghadapi tantangan globalisasi.

Karena itulah, laporan majalah The Economist yang bertajuk "SBY's Feet of Clay" -jejak kaki SBY yang berlumpur- bernada tidak menggembirakan. Dalam pandangan The Economist, meski SBY menang besar dalam Pilpres 2009, pada tahun pertama periode kedua pemerintahannya tidak seperti yang diharapkan: tampil sebagai pemenang yang tegas dan desisif. Tetapi, realitas yang ada selama setahun sangat jelas.

Kinerja Indonesia sangat rendah (underperforming); banyak indikator pembangunannya sangat jelek. Dalam hal GDP, Indonesia jauh lebih kaya dibanding Vietnam misalnya; tetapi seorang ibu Indonesia tiga kali lebih mungkin meninggal ketika melahirkan dibandingkan seorang ibu Vietnam.

Hasilnya, seperti disimpulkan Strategic Assessment Harvard Kennedy School, Indonesia semakin kehilangan pijakan dibandingkan negara-negara tetangganya, khususnya Cina, India, Thailand, Malaysia, dan bahkan Vietnam dan Filipina dalam investasi asing langsung, industri manufaktur, infrastruktur, dan pendidikan. Meski ekonomi Indonesia tetap tumbuh antara 5,5 - 6 persen dalam dua tahun terakhir, negara ini kian tidak kompetitif.


Harapan Politik Anak Negeri

Lantas, bagaimana sesungguhnya demokrasi dan perpolitikan yang kita harapkan? Ikrar Nusa Bhakti menjawab, kita tidak ingin politik dipengaruhi orang yang tampak dari luar amat santun, demokratis, dan sederhana (humble), tetapi sebenarnya ia adalah orang yang bengis, tidak demokratis dan amat Machiavelis. Orang macam ini sangat menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan politiknya.

Juga tidak ingin politik dikuasai oleh orang yang sangat kasar, tidak santun, dan sering menggunakan kata-kata kotor dalam sidang-sidang parlemen karena sudah pasti orang ini amat kerdil dan bukan politisi yang matang walaupun jam terbangnya sebagai politisi sudah sangat lama. Yang diinginkan adalah politisi yang tahu kapan harus bersuara lembut, kapan harus bersuara lantang, tapi tetap teguh membela kepentingan rakyat. Tipe ketiga ini yang dapat membangun kultur politik yang baik di masa depan.

Karena sesunguhnya menurut hemat penulis, demokrasi kolusif dan politik transaksional sebagai turunannya adalah jauh lebih berbahaya dari bahaya laten komunis sekali pun. Waspadalah!


Ahmad Arif 
adalah peminat Kajian SOSEKPOLAG, juga kontributor situs asyeh.com Arab Saudi. Berdomisili di Banda Aceh sejak hari ketiga pasca tsunami.

Sumber: detiknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails