Para pengurus negara ini dari ruang eksekutif, parlemen dan yudisial benar-benar membawa sial. Korupsi diberantas dengan cara korupsi. Opo tumon? Jangan heran jika korupsi tetap merajalela, karena toh pimpinan negara juga me-raja-lali. Lupa dengan janjinya untuk serius memberantas korupsi, bahkan partai politik yang dibinanya diguncang isu skandal korupsi. Memang partai politik mana di Indonesia yang dapat dipercaya menjadi motor pembangunan kejujuran?
Di mana-mana orang tidak suka dengan korupsi. Tapi anehnya ada pondok pesantren tertipu miliaran rupiah karena percaya dengan makelar anggaran bantuan dana. Agen Tuhan kok tertipu makelar anggaran? Opo tumon? Anehnya juga kalau ada rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS) orang ramai-ramai menyuap dan juga banyak yang tertipu. Alah mak. Anget-anget rasa bubur. Susah banget cari orang jujur.
Di Surabaya juga ada peristiwa lucu bin menarik. Ada warga masyarakat yang mendemo Ny. Siami gara-gara dia membongkar ketidakjujuran yang terjadi dalam ujian nasional (Unas) di SDN Gadel II Surabaya. Siswa nyonyek massal kok dibela warga? Justru Bu Sulami yang menjadi pioner kejujuran itu harus mengungsi ke Solo karena tidak kuat dengan tekanan warga Gadel Surabaya. Opo tumon?
Ini benar-benar zaman edan di mana orang jujur tersungkur dan orang tidak jujur merasa mujur, merasa benar di jalan yang sesat. Kira-kira bagaimana Tuhan melihat orang yang mengatakan, “Lha memang zamannya begitu, kalau mau jujur ya nggak bakal berhasil.” Weleh weleh weleh….
Kita para orang tua yang sontoloyo ini telah memberikan contoh buruk yang mendorong bangsa ini akan menuju pada kebejatan nasional yang kian membawa pada lorong kegelapan dan kian jauh dari cita-cita kemajuan dan kemakmuran. Di dunia peradilan mafia hukum berjalan menganggap suap-menyuap sebagai rezeki halal. Di dunia politik juga terjadi konspirasi korupsi yang dirasa biasa. Di dunia pendidikan selain korupsi anggaran pendidikan juga menghalalkan cara-cara curang. Demi siapa?
Apakah para orang tua dan guru yang menghalalkan cara haram itu pernah berpikir bahwa mereka telah menanamkan pendidikan kebejatan kepada anak-anak mereka dan generasi mendatang? Apakah dengan jalan curang atau tidak jujur itu akan membuahkan kesuksesan di masa depan? Di antara berbagai pertimbangan, andaikan itu benar-benar ditimbang, sepertinya semua itu demi gengsi mereka para orang tua dan guru itu sendiri, mau dianggap hebat, sukses mendidik anak-anak. Padahal mereka sedang mendorong anak-anak itu ke jurang kenistaan.
Itulah, masyarakat kita saat ini sedang dalam keadaan sakit jiwa. Ciri-cirinya adalah bersikap menyimpang, menjadi masyarakat patologis dan idiot, dalam arti: mengetahui kebenaran tapi menjalankan ketidakbenaran yang menganggapnya sebagai hal yang dimaklumkan. Tentu saja masyarakat seperti ini membutuhkan terapi atau penanganan, termasuk melalui jalan pembangunan pendidikan.
Tetapi langkah terapi itu menjadi lebih sulit mengingat para aktor perancang dan pelaksana pembangunan juga didominasi orang-orang sakit jiwa. Bagaimana lha wong ternyata rumah penyusun pembangunan moral yang bernama Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan juga dipenuhi orang-orang sakit jiwa? Lalu dari mana semua itu dimulai?
Masyarakat sebenarnya dapat dibangun, diubah dengan menggunakan instrument hukum, seperti teori Roscoe Pound yang terkenal itu: law as tool of social engineering. Tetapi mendiang Daniel S. Lev yang meneliti di Indonesia menyatakan bahwa untuk kasus Indonesia ini teori Roscoe Pound itu tak berlaku. Di Indonesia ini yang dibutuhkan adalah etos kepemimpinan, seperti hal itu juga pernah disampaikan oleh Prof. Achmad Ali dalam membicarakan sistem hukum Indonesia.
Kepemimpinan yang kuat yang dapat mengubah bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Kwik Kian Gie juga berpendapat bahwa Indonesia memang butuh pengaturan tangan besi. Terutama mengatur mereka yang mengurus negara. Barangkali karena selama ini kebobrokan Indonesia disebabkan etos kepemimpinan yang bobrok, sehingga masyarakat mulai putus asa, ikut-ikutan bobrok. Apa yang dikatakan Kwik itu sebenarnya perlu dikaitkan dengan tesis Johan Galtung yang melihat bahwa penindasan dalam negara demokrasi ternyata terjadi kepada kebanyakan rakyat kecil, sedangkan dalam negara otoriter hanya elite kelas menengah atas yang merasa tidak mendapatkan hak-hak politik. Hal ini menunjukkan betapa demokrasi perlu ditata ulang.
Kita mau berdemokrasi dan berhukum ala Amerika Serikat dan Eropa? Jawabannya adalah: hanya hewan yang perlu diatur dengan penghalang tembok dan pagar besi yang tinggi. Apa maksudnya? Bangsa yang mempunyai kesadaran moral, cukup patuh hanya dengan rambu-rambu. Tapi orang Indonesia bahkan lampu merah pun diterobos. Agar tidak menyeberang jalan raya sembarangan harus dibuat pagar tinggi. Siapa yang bisa mengatur orang-orang liar seperti itu jika bukan para pemimpin yang kuat, tegas dan bermoral? Hanya, sayangnya kita belum punya para pemimpin seperti itu: yang lugas, berwibawa, dihormati karena memang bisa menjadi teladan.
Seyogyanya, mumpung bangsa ini belum benar-benar seluruhnya tenggelam ke dalam kegelapan, pihak-pihak yang sadar segera membangun kebersamaan, untuk bangun melawan kebobrokan itu. Ketika kita sudah tak bisa mengandalkan aparatur negara yang justru menjadi penyakit negara, maka semua tergantung masyarakat sendiri untuk mau berubah atau tidak.
Jangan jadikan sistem Unas sebagai kambing hitam yang memaklumkan ketidakjujuran itu meski mungkin juga harus dibenahi agar lebih adil!
Kapan kita mulai bangkit agar menjadi bangsa yang besar, mampu mewujudkan cita-cita bernegara? Jika cuma begini-begini saja, apa gunanya bernegara?
Subagyo
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar