
Masih belum hilang dalam ingatan kita tentang  ungkapan atau boleh dibilang caci maki yang keluar dari mulut salah satu  anggota DPR yang terhormat. Kosa kata binatang yang keluar dari mulut  anggota dewan yang terhormat tersebut sangat ringan dilisankan tapi  pedih dan miris bagi yang melihat dan mendengarkan. 
Siapakah yang  melihat dan mendengarkan, yang jelas adalah kita, rakyat Indonesia yang  terdiri dari 240 juta jiwa. Kehidupan bernegara dan bermasyarakat kita  diwakili oleh mereka yang duduk di gedung (masih) mewah. Anggota dewan  yang terhormat ikut menentukan nasib kita. Hampir setiap hari kita  disajikan tontonan yang memalukan dari perilaku anggota dewan yang  terhormat, mulai dari korupsi, kolusi, skandal perempuan, mark up  anggaran, penyuapan, kongkalikong sampai ada yang tertangkap basah  sedang melihat gambar porno. Mereka yang terdiri dari 550 orang terpilih  mewakili suara rakyat mulai dari yang baru lahir sampai yang mau mati.  Di kepala mereka sebenarnya Indonesia bisa berubah, menjadi baik atau  tambah parah. Di tangan mereka ada kekuasaan untuk memberikan tanda  bakti bagi negeri, tanda yang menghasilkan sesuatu yang suci atau  sesuatu yang keji. Di kaki mereka bangsa ini bisa melangkah maju,  langkah yang surut atau langkah yang pesat seperti pecut. Saya jadi  teringat syair dari lagu Iwan Fals yang bunyinya bahwa saudara (anggota  dewan yang terhormat) dipilih bukan dilotere, meski kami tak kenal siapa  saudara. Sedari awal memang kami tidak kenal siapa saudara, tapi  sekarang kami kenal siapa saudara. Banyak dari kami akhirnya frustrasi  dan berpikir untuk kembali lagi ke zaman tirani. 
Pada tahun 1998 kami  turun ke jalan bukan untuk bergaya. Kami turun ke jalan karena dipaksa  oleh keadaan yang memang membuat keinginan kuat kami untuk berunjuk  rasa. Waktu itu kami tidak berpikir akan seperti ini jadinya, dengan  banyak permasalahan dimana-mana. Dan yang membuat kami tambah kecewa dan  marah adalah teman-teman yang dulu ikut turun ke jalan sekarang berada  dalam lingkaran kekuasaan. Itu memang hak mereka untuk ikut berjuang,  namun sungguh sayang, banyak di antara mereka asyik masyuk dalam  lingkaran setan dan yang terparah, mereka juga ikut merasakan bagaimana  nikmatnya merampok uang lewat jabatan. Anggota dewan negeri ini juga  sudah banyak yang melakukan studi perbandingan ke negara-negara yang  dianggap sebagai percontohan, tetapi apa hendak dikata ternyata urusan  mereka jauh dari harapan. Banyak di antara mereka justru berfoya-foya  menghabiskan anggaran tanpa hasil yang bisa diharapkan.
Di sisi lain, negeri ini katanya negeri yang  ramah dan murah senyum penduduknya. Negeri ini katanya sangat berbudaya  dengan karakter orang-orangnya yang berbudi bahasa. Namun kenyataannya  justru sebaliknya. Negeri ini penuh dengan orang-orang pinter yang kebllinger.  Sekali lagi kita diperlihatkan tontonan yang memalukan dan memilukan.  Di saat kita sedang berharap-harap cemas menunggu nasib saudara-saudara  TKI kita yang sedang menunggu ajalnya di negeri orang. Di negeri sendiri  kita saling mencaci dan memaki saudara sendiri. Kosa kata BODOH bisa  dengan ringan keluar dari lidah seorang gubernur kepada seorang walikota  yang notabene didukung hampir 90 persen rakyat di kotanya. Masalah yang  mungkin kecil buat mereka berdua, tetapi besar efeknya bagi rakyat yang  melihat dan mendengarnya. Pertanyaan sederhana keluar dari lidah saya,  apakah di negara ini sudah tidak ada tata krama atau etika? Ataukah tata  krama dan etika sudah menjauh dari kita? Atau kita sudah menjauh  dari-Nya? Ketika terjadi serangan Amerika terhadap Irak, para ahli  neurologi meneliti dan memperkirakan bahwa George W. Bush pada waktu  mengambil keputusan tersebut, tingkat emosi dan kecerdasannya berada di  titik nadir alias NOL. Saya juga berpikir sama dengan penelitian  tersebut, jika saja dilakukan penelitian tentang kecerdasan dan emosi  terhadap gubernur tersebut, mungkin bisa saja sama hasilnya, yaitu  berada di titik nadir alias NOL. Pertanyaan selanjutnya adalah, siapakah  sebenarnya yang BODOH?
Satu lagi yang terakhir dan patut membuat kita  malu. Seorang ahli hukum yang dengan kehebatan nalar hukumnya memang  diakui siapapun di republik ini dengan ringan mengumbar ucapan ke publik  bahwa Jaksa Agung negara ini GOBLOK. Ya ampun, sudah habiskah kosa kata  di bidang hukum untuk mengganti kosa kata GOBLOK. Terminologi GOBLOK  dalam kamus apapun, dan jika diterjemahkan ke dalam bahasa apapun  memiliki implikasi yang sangat jelas dan menyakitkan bagi orang yang  dituju. Apalagi yang dituju adalah seorang Jaksa Agung. Pertanyaan saya  adalah untuk kedua orang yang sedang melempar kosa kata masing-masing,  untuk Pak Jaksa Agung, apakah sudah dipikirkan akibatnya ketika  mengambil tindakan untuk membuat orang merasa terhina akibat perbuatan  yang dianggap mempermalukannya (yang notabene adalah seorang profesor  hukum, mantan menteri dan konseptor pidato-pidato presiden)? Untuk bapak  profesor hukum, apakah sudah kehabisan kosa kata atau istilah di bidang  hukum untuk menyanggah apa yang dilakukan Pak Jaksa Agung?
Pertanyaanku untuk  kita semua, relakah Anda jika negeri ini dikelola oleh orang-orang BODOH dan GOBLOK….???
Negeriku oh Negeriku…….Ngeri aku melihatmu…
Rosandi Ari
www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar