
Menyaksikan acara Jakarta Lawyers Club di   TVOne kemarin malam. Saya menggaris bawahi pernyataan Sujiwo Tejo  sebagai seorang  yang anti sistem demokrasi. Karena sistem demokrasi ini  justru yang  membodohi rakyat lantaran kebenaran akan sesuatu  diputuskan oleh angka  mayoritas. Kalau semua atau sebagian banyak orang  bilang bumi itu datar,  maka bumi akan jadi datar. Menurutnya Indonesia  harus menerapkan sistem  meritokrasi yang kasarannya adalah segala  sesuatu harus dipegang oleh  ahlinya, sekalipun yang memimpin negara ini  menggunakan cara-cara tangan  besi.
Mungkin  Sujiwo Tejo belum kenyang  dengan 32 tahun sistem tangan besi yang pernah diterapkan  di negara  ini, dan harus ditambah lagi waktunya sampai setelah itu  diubah kembali  jadi demokrasi. Perlu revolusi dan mengembalikan sistem  otoriter ala  dua orde terdahulu di republik ini. Mungkin sampai ratusan  tahun atau  entahlah berapa tahun lagi. Namun persoalannya adalah jika  negara ini  harus diserahkan kepada ahlinya, sekarang ini coba kita lihat  satu  bidang saja dahulu. Contohnya di bidang hukum, berapa banyak  professor  hukum di DPR dan komisi atau lembaga-lembaga penegakkan hukum.  Di  bidang politik pun nyatanya presiden kita seorang doktor kehormatan  bidang  politik (diberikan oleh salah satu Universitas di Bangkok). Apa  itu bukan ahli namanya. Sebenarnya yang disebut ahli itu  atas dasar apa  ukurannya? Atas dasar budaya? Gelar intelektual? Atau  apa?
Seorang  Habibie yang ahli pun juga  tidak bisa memimpin negeri ini. Mantan presiden yang katanya salah satu  dari manusia jenius di Indonesia itu ternyata tidak begitu ahli dalam  soal politik, sehingga mampu  dilengserkan pula oleh ahli-ahli politik  lainnya. Lalu sang ahli yang bagaimana  yang dicari. Apakah ada seorang  manusia yang bisa ahli segalanya di  seluruh bidang? Pertanyaan  selanjutnya adalah, jika misalnya ada satu  posisi penting di negeri ini  namun banyak sekali ahli yang mampu  menduduki posisi itu, lantas siapa  yang berhak mendapatkan posisi tersebut? Bagaimana  tolak ukur  selanjutnya untuk menentukan si ahli yang pantas bagi kedudukan itu,  apakah pakai  cara frontal sampai peperangan? Pakai cara pemilihan  rakyat lagi? Pakai  cara fit and proper test? Pakai cara dipilih oleh MPR-DPR ala orde baru? Atau apa?
Toh sistem  meritokrasi pernah  dipakai di era Soekarno dan Soeharto. Kenapa saya  bilang pernah?  Bayangkan saja pada masa Soekarno, orang jadi DPR itu apa  tidak hebat,  pintar, dan ahli. Di zaman yang pasca kemerdekaan itu,  menurut saya isi  parlemen Republik Indonesia sudah benar-benar  mencerminkan  Meritokrasi. Tetapi kemudian lambat laun, orang-orang yang  ahli itu  juga tidak bisa memertahankan dominasi dan kekuasaan mereka  akibat  gempuran ahli-ahli lainnya. Lalu ahli yang bagaimana yang dicari  dalam  pandangan Sujiwo Tejo? Apakah yang jujur dan amanah? Kenapa  pemilihan  presiden tidak sekalian saja pakai alat tes kebohongan yang  mirip di  film-film agen rahasia kalau sedang menginterogasi mata-mata  musuh.  Daripada harus dipilih rakyat, kumpulkan saja ahli-ahli itu lalu   interogasi satu-satu pakai instrumen pendeteksi kebohongan.
Atau  sang ahli-nya dipilih atas dasar agama? Karena agama kan sering  digadang-gadang merupakan sumber kebenaran tertinggi dan transendental.
Bicara  tentang memilih sang ahli yang  mampu memimpin negara berdasarkan ajaran  agama. Bertepatan dengan  peringatan Isra’ Mi’raj ini, sejak tanggal 27 Juni 2011 kemarin HTI  mengadakan  konferensi Rajab. Tidak tanggung-tanggung katanya di 29 kota  di  Indonesia. Sebagaimana sudah diketahui bahwa HTI paling getol   menyuarakan agar sistem demokrasi diganti dengan sistem Khalifah. Dalam   salah satu hadis Nabi dikatakan pula apabila setiap urusan telah  diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat datangnya hari  akhir. Doktrin  ini sering dipakai untuk menyerang sistem demokrasi,  dan tak jauh  berbeda dengan perkataan Sujiwo Tejo tentang “sang ahli  untuk negeri”.  Namun Sujiwo Tejo dalilnya bukan hadis Nabi, tetapi  pakai semacam  stratifikasi manusia berdasarkan kasta-kasta ala  Majapahit dahulu.
Gagasan  Sujiwo Tejo dan HTI soal  Meritokrasi ini nampak sejalan. Tetapi antara  Sujiwo Tejo dan HTI  pastinya ada perbedaan. Semalam Sujiwo Tejo tidak  memaparkan seperti  apa yang disebut “orang ahli” itu dan bagaimana  kriterianya. Tetapi  kalau HTI sudah jelas, yang dikatakan orang ahli  untuk mengurusi urusan  negara adalah orang-orang yang mengerti Syariah  Islam karena sistem  negara ini akan berganti Khalifah. Itupun Syariah  Islamnya yang sesuai  dengan pemahaman HTI-lah yang paling benar dan  harus sejalan dengan  mereka.
Jadi ternyata meski gagasan sama namun  konsep, mekanisme, dan teknisnya pun berbeda. Atau bisa jadi kalau  memang ada revolusi besar-besaran terjadi di Indonesia, dan tiba-tiba  negara ini berubah sistemnya menjadi Kekhalifahan, orang-orang seperti  Sujiwo Tejo malah mendukungnya. Bukan sesuatu yang mustahil jika NKRI  berubah menjadi Negara Kekhalifahan Raya Indonesia dari sebelumnya yang  sering dibilang Negara Kafir Republik Indonesia, sebab tak sedikit  orang-orang yang mendukungnya. Contohnya di konferensi Rajab yang  diadakan oleh HTI, ternyata massa mereka lebih dari puluhan ribu orang.  Perbandingannya, jika di Jakarta dan Jawa Barat saja, kira-kira sekitar  lima puluh ribu orang menghadiri sebagai partisipan. Maka berapa  jumlahnya rata-rata kalau diadakan di 29 kota. Pasti banyak sekali  pendukung sistem khalifah ini.
Bukan tidak mungkin jika HTI dengan  gagasan sistem Khalifahnya mampu memimpin Republik ini, dan  mengakibatkan simpati dan dukungan datang dari organisasi atau partai  politik selain HTI. Hal ini dikarenakan adanya cita-cita ideal bahwa  Syariah Islam harus ditegakkan dalam sistem pemerintahan. FPI saja telah  menyatakan  bahwa, “diakui atau tidak, sebelum merdeka  atau setelah  merdeka, Indonesia sudah menjadi negara Islam, hanya belum  kaffah.  Buktinya, mayoritas penduduk Indonesia muslim, Presiden dan  Wakil  Presidennya pun muslim hingga saat ini.” demikian dikatakan Ustaz  Awit  dari DPP Front Pembela Islam (FPI) dalam sebuah Tabligh Akbar di  Bekasi.  Menurut Ustaz Awit, sebuah negara bisa dihukumi sebagai negara  Islam,  apabila penduduknya mayoritas Islam, dipimpin oleh orang Islam,   penduduk umat Islam tersebut diperbolehkan melaksanakan Syariah Islam.  Maka negeri bisa dikatakan sebagai negara Islam.
Konsep anti demokrasi bergaung di  seantero negeri berikut dalil-dalil pembuktiannya. Tetapi kalau bagi  saya pribadi, mau diganti sistem apapun akan tetap sama saja. Mungkin  saya akan setuju jika Kekhalifahan berdiri di negeri ini, alasannya bisa  jadi ikut-ikutan tren “menunggu juru selamat”, atau mungkin dikarenakan  sudah bosan dengar perdebatan soal bentuk negara sejak tahun jebot yang terus dibicarakan, sampai-sampai negara harus dikesankan seolah pintu surga.
Sesekali boleh juga sistem Khalifah diberi kesempatan, lalu kita lihat apa yang bisa diperbuat oleh  sistem yang katanya dibeking dan  disponsori oleh Tuhan ini. Kita lihat pula bagaimana “ahli-ahli” sistem  itu berkuasa, apakah meniadakan penyembelihan besar-besaran, apakah  memeratakan kesejahteraan, atau malah tetap memertontonkan para elit  yang ribut berebut kekuasaan tak jauh beda dengan orde-orde sebelumnya.
Khilafah islamiyah adalah sistem pemerintahan terbaik, karena umat
BalasHapusmuslim
akan hidup dengan damai di bawah naungan syariat islam, hal ini juga
bisa menjadi jawaban akan keterpurukan yang dialami oleh Inodnesia. more info http://transparan.id