Umat Islam Indonesia adalah umat yang suka bersilaturahmi. Saling berkunjung, saling menyapa dan saling berkomunikasi. Tetapi, mengapa tetap saja selalu menghadirkan kebencian, kedengkian dan konflik, padahal silaturahmi terus dijalin banyak pihak?
Kalau boleh dikatakan penyakit, penyakit itu adalah seringkali kita keliru menggunakan istilah kata. kita keliru menggunakan istilah silaturahmi. Padahal, yang betul adalah silaturahim.
Lantas, apa bedanya silaturahmi dengan silaturahim? Padahal susunan hurufnya sama saja. Ya, memang perbedaannnya ada pada akhiran yang ada pada huruf mim.
Pada dasarnya silaturahmi berasal dari dua kata, “silah” dan “rahmi”. Silah artinya menyambungkan. Sedang rahmi artinya rasa nyeri yang diderita para ibu ketika melahirkan. Hal ini tentu sangat berbeda rahim yakni menyambung rasa kasih sayang dan pengertian.
Itu sebabnya kebencian, kedengkian dan konflik masih saja ada meski silaturahmi terus terjalin. Sebab, yang kita sambung adalah rasa nyeri para ibu kita ketika melahirkan tadi.
Ungkapan lain yang seringkali kita gunakan, dan ternyata salah adalah membatalkan puasa. Seringkali pada saat-saat menjelang maghrib dan akhirnya adzan berkumandang, pada saat yang sama kita sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang harus selasai. Pada saat itulah salah seorang dari kita: mari kita batalkan puasa kita, ayo batalkan puasanya dulu.
Padahal, kalau ungkapan itu benar-benar diniatkan untuk membatalkan puasa, maka batal benar puasa kita. Batal dalam perspektif tidak ada ganjaran pahala sama sekali terhadap puasa kita itu. Padahal, kita telah menahan lapar, haus serta hal-hal yang membatalkan puasa. Lalu tiba-tiba ibadah kita itu batal hanya karena niat mem-”batal”-kan puasa kita.
Written by Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR RI)
Sumber: amimufid.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar